Saya tidak begitu mengerti banyak tentang bagaimana menjalankan studi S3 dengan sukses. Ketika saya mendapatkan kesempatan untuk belajar di Washington University in St. Louis (Washu), jujur saja saya sangat excited tetapi juga ketakutan setengah mati. Saya baru saja lulus program S1 dari universitas di Amerika yang program ekonominya tidak begitu bagus. Salah satu Professor S1 saya juga mengatakan bahwa saya seharusnya mengambil master dulu agar tidak terlalu terkejut dengan program S3 ekonomi. Ia juga menyarankan bahwa apabila saya bisa masuk program master yang lebih bagus, program S3-nya juga mungkin bisa diterima di kampus yang rankingnya lebih bagus lagi. Waktu itu saya tidak ada biaya untuk melanjutkan program S2.
Program S2 ekonomi di Amerika hanyalah program persiapan dan adaptasi. Seseorang yang baru lulus S1 dari jurusan apa saja asal mempunyai background matematika yang kuat bisa mendaftar ke program S3 ekonomi langsung. Nanti selesai lulus program S3-nya, universitas akan memberikan S2 secara “cuma-cuma” juga. Terlebih lagi, banyak program S3 di Amerika yang gratis dibayarkan oleh universitasnya. Bahkan mereka akan memberikan uang saku untuk biaya hidup juga. Dengan pertimbangan ini, saya pun mencoba mendaftar sekolah-sekolah untuk program S3 ekonomi.
Tahun pertama dan kedua saya di sini penuh dengan stress, belajar sampai tengah malam di kampus, merasa tersesat selama pelajaran, dan berkali-kali merasa bodoh. Benar kata professor S1 saya bahwa saya akan kaget begitu saya masuk ke sini. Di akhir tahun pertama akan ada dua ujian kompetensi, bila tidak lulus kami akan dikeluarkan dari program kami. Washu cukup baik. Universitas memberikan kami uang saku yang cukup pada tahun pertama tanpa ada beban apa-apa. Di sekolah lain kadang siswa harus menjadi asisten dosen untuk mendapatkan assisten dosen. Professor saya juga bercerita di sekolahnya dulu di Ohio, bila nilai tidak bagus, uang sakunya akan dipotong. Di Washu tugas mahasiswa tahun pertama hanya satu: belajar dan kami tidak perlu mengkhawatirkan biaya hidup. Kami juga diberikan kesempatan kedua untuk mengikuti ujian kompetensi apabila yang pertama gagal (di kebanyakan sekolah lain, kesempatan kedua ini juga ada).
Saya bersyukur berhasil lulus ujian kompetesi (meskipun harus mencobanya dua kali), dan saya terus mencoba untuk survive di program ini. Jujur saja saya masih tidak tahu rahasia untuk bisa sukses menjalani program S3 (dan saya juga sudah mencoba meng-Google berbagai macam tips yang ada di internet). Untuk tips-tips general, google bisa memberikan berbagai articles dalam hitungan detik. Untuk tulisan ini, saya ingin berbagi saran-saran dari professor-professor saya yang sini. Satu hal yang bisa saya katakan dengan percaya diri sebagai salah satu kunci kesuksesan program PhD adalah punya professor yang peduli padamu. Belajar itu bukan hanya belajar dan mengobservasi, belajar itu adalah proses interaksi dan membagi pikiran dengan orang-orang di lingkungan studimu. Studi saya di sini tidak akan bisa sebaik ini tanpa dukungan dari para professor. Akan kuperkenalkan kepada kalian beberapa dari mereka (menggunakan nama inisial untuk menjaga privasi mereka).
Setelah ujian tengah semester tahun pertama, angkatan saya cukup depresi dengan nilai-nilai kami. Teman-teman angkatan saya datang dari berbagai latar belakang pendidikan, umur, dan pengalaman. Beberapa dari kami baru lulus dari S1 dan sangat kewalahan, kecuali satu anak Cina yang luar biasa pintarnya. Yang lain mempunyai S2 dan beberapa mempunyai pengalam kerja. Satu mempunyai latar belakang bekerja untuk bank pemerintah Korea, murid paling pintar di kelas kami. Karena latar belakang yang berwarna-warni, nilai-nilai kami juga bertebaran di mana-mana. Ada yang konsisten selalu mendapatkan nilai 90-100 dan ada juga yang konsisten mendapat nilai dibawah 30. Nilai saya sendiri melompat-lompat ke mana-mana. Jadi tentu saja kami cukup depresi. Dengan nilai seperti ini bagaimana kami bisa lulus ujian kompetensi?
Melihat mood kami yang jelek, Prof. N menanyakan apakah kami sedih karena nilai-nilai baru saja keluar. Dia tertawa melihat awan-awan gelap memenuhi ruangan. “Ini program S3, kalian harus membiasakan mendapatkan nilai jelek,” katanya. Ia juga mengatakan nilai itu tidak penting, yang penting adalah lulus ujian kompetensi. Setelah ujian kompetensi, kami bisa melakukan penelitian pada topik apapun yang kami mau. Untuk menyemangati kami, dia menceritakan masa S3-nya di Harvard. Gurunya waktu itu adalah Kakutani, seorang teoris matematika yang terkenal juga di kalangan ekonomi. Dia mengatakan bahwa hasil ujian biasanya seperti ini: Satu anak mendapatkan nilai 90an. Satu anak mendapatkan nilai 20an. Sisanya 0. “Dan saya salah satu yang mendapatkan nol,” katanya. Prof. N lalu mengatakan, mereka pernah melihat data dan mencoba menganalisis apakah ada korelasi antara nilai-nilai ujian tahun pertama dengan bagusnya pekerjaan yang murid-murid dapat setelah lulus program S3. Dia mengatakan bahwa tidak ada korelasi sama sekali. “Jadi janganlah berkecil hati, teruslah belajar.” Prof. N selalu mengemail kami setelah nilai keluar untuk meyakinkan kami untuk selalu berusaha. Ia selalu optimistis dan tidak pernah angkuh kepada kami (percayalah ada juga professor-professor yang angkuh terhadap mahasiswanya disini). Iya, tidak merasa malu bila tidak tahu atau salah di kelas (dan percayalah lagi bahwa ada professor yang ditunjukkan bahwa ia salah lalu marah-marah). Kami sangat menghormati dia.
Memasuki tahun kedua, angkatan saya bertemu Prof. A. Dia pria Italia pendek yang sangat sayang pada mahasiswanya. Saat saya berbincang di kantornya, dia mengatakan, “Kalian dari dulu sudah diprogram untuk peduli pada nilai dan mengejar nilai tertinggi. Sekarang kalian harus menghilangkan kebiasaan itu. Jangan khawatir soal nilai, kalian semua akan dapat A dari saya. Yang terpenting adalah pelajarilah topik yang kalian suka, ini penelitian kalian bukan penelitian saya. Kalian disini untuk belajar untuk berpikir dan melakukan research original kalian sendiri.”
Prof. A tidak berbohong, kami semua mendapatkan nilai A dari dia untuk kelasnya. Di kelasnya dia hanya memberikan kuliah dua minggu pertama lalu minggu-minggu berikutnya kami mempresentasikan paper dari journal yang kami pilih asalkan cocok dengan topik Money and Banking. Di tengah-tengah presentasi dia memberikan kami kritik dan pertanyaan. Kadang pernah dia tertidur, lalu kelas berikutnya dia memastikan dia membawa secangkir kopi ke kelas. Yang tidak pernah ia lakukan adalah mengatakan bahwa presentasi kami buruk. Dia bilang anggaplah sebagai latihan. Ada teman saya yang Bahasa Inggrisnya sangat belepotan sehingga presentasinya sangat susah untuk dimengerti. Professor saya tetap saja bertepuk tangan dan mengatakan teruslah latihan lagi.
Sosiaisasi dengan guru adalah kultur yang sangat penting di sekolah manapun kamu berada, tidak khusus di program S3 saja. Dan sosialisasi bentuknya bisa bermacam-macam. Setiap bulan departemen saya mengadakan makan-makan di restoran antara fakultas dan siswa S3 dan setiap semester kami juga selalu ada piknik departemen. Prof A. paling suka menghadiri acara-acara ini. Pernah sekali ini mengadakan beberapa kelas tambahan di malam hari dan ia merayu kami untuk datang dengan pizza. Ia datang ke seketaris departemen untuk menanyakan di mana dia bisa mendapatkan minuman untuk kami. Lalu dia memanggil saya untuk meminta diajarkan cara memesan pizza (lucu perasaan saya waktu itu ketika diminta menjelaskan sesuatu yang sangat trivial). Saya menunjukkan cara memesan delivery online. Dia sangat girang. “Aku mempelajari hal baru hari ini!” katanya.
Tidak terhitungkan cerita-cerita tentang professor-professor saya yang menginspirasi dan selalu membantu saya dalam proses pembelajaran ini. Tentu saja banyak juga kisah-kisah dari para professor yang kurang menyenangkan. Ada kisah-kisah professor yang menakutkan. Saya harus menghela nafas ketika akan mengirim email meminta kritik ide penelitian dari professor-professor yang wajahnya seram. Ada kisah-kisah professor yang unik. Ada satu professor yang tidak membolehkan kami memanggilnya professor tetapi harus memanggilnya Paman M. Lalu dia sendiri memanggil kamu Professor. Apabila anda akan memasuki program S3 ingatlah, para professorlah yang akan menjadi mentormu untuk berkembang. Bila kau menemukan yang cocok, selamat, kau sudah berhasil setengah jalan.
Saya ingin sekali untuk kuliah S3 di luar negeri, dan sudah ada bbrp informasi mengenai beasiswa S3 salah satunya Australia, namun sy msih sgt rendah diri, bhs inggris sy hncur2an, itu yg mmbuat sy msih kurang PD, tp setelah sy bca tulisan saudara,semangat sy kembali muncul dan Inshaallah bulan ini sy ingin mengambil les bhs inggris.. thanks atas masukan2ny.. mohon doa sy bisa jg sprt anda..
Keep inspiring as you’ve been doing since high school, Mbak Ardina! 🙂 Ditunggu artikel artikel berikutnya.
Ngakak abiz. Amin. Mas, saya jg pengen dapet profesor2 yg mantep. an buat saya guru is everything. apalgi, kalo kuliah di luar bkn kita saja yg harus bgus tp dosen dan pembimbing profesor jg harus bagus. agar kita tak sia2 dlm belajar, menuntut ilmu dan evaluasi diri.
I love the story of your professor A. Please send my greeting to him. He sounds a very warmhearted person 🙂
idea yang bagus kak,cerita ini memotifasi saya.heheh