Berkesempatan untuk menempuh studi di luar negeri tentunya menjadi impian bagi banyak orang, tidak terkecuali bagi sebagian kaum hawa. Dalam kultur Indonesia yang menjunjung tinggi budaya ketimuran, studi lanjut ke luar negeri seringkali menjadi salah satu keputusan hidup yang membutuhkan banyak pertimbangan. Tulisan ini saya buat berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya sebagai seorang perempuan, istri sekaligus ibu yang pernah menempuh studi lanjut di Australia.
Sejak kecil, meskipun dilahirkan dari keluarga kelas menengah, bersekolah ke luar negeri adalah salah satu impian saya. Saya pun menyadari bahwa sangat kecil kemungkinan orangtua saya mampu membiaya impian tersebut sehingga saya bertekad untuk mendapatkan beasiswa. Setelah lulus program S1 dari Universitas Gadjah Mada dan bekerja sebagai dosen muda di salah satu universitas swasta yang berkembang di kota Purwokerto (Universitas Muhammadiyah Purwokerto), akhirnya pada tahun 2009, melalui beasiswa Australian Development Study (ADS), saya berkesempatan untuk menempuh studi S2 di Australia.
Berhasil mewujudkan impian yang sejak lama didambakan tentunya membuat saya merasa bahagia. Namun, disisi lain saya harus menghadapi dilema yang cukup menguras pikiran dan emosi. Saat itu, Saya sudah menikah dan baru dikaruniai buah hati berusia 1,5 tahun. Mempertimbangkan kondisi keluarga saat itu termasuk pekerjaan suami dan tanggung jawabnya sebagai anak sulung dari sebuah keluarga yang sangat menjunjung tinggi falsafah Jawa, kami bersepakat bahwa saya akan berangkat sendiri ke Australia meninggalkan suami dan balita kami di Indonesia. Suatu keputusan yang tidak mudah sebenarnya bagi seorang ibu muda seperti saya. Masih lekat diingatan ketika saya menangis di dalam mobil sepanjang perjalanan Purwokerto-Jakarta ketika untuk pertama kali akan berangkat menuju Australia meninggalkan anak lelaki saya yang sedang tertidur lelap. Momen lain yang tidak bisa terlupakan adalah ketika harus berhenti memberikan ASI di saat balita saya saat itu baru berusia 1,5 tahun sesaat sebelum keberangkatan.
Saya menyadari bahwa bermacam emosi yang berkecamuk di hati tentunya merupakan konsekuensi dari sebuah pilihan yang saya ambil. Seringkali banyak pihak yang bertanya atau bahkan langsung menghakimi keputusan Saya. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa saya sangat ambisius dan egois sehingga tega meninggalkan tugas dan tanggung jawab sebagai seorang istri dan ibu. Selama 2,5 tahun saya menjalani pilihan hidup terpisah dari orang-orang yang paling saya sayangi, rasa ragu seringkali menghampiri sehingga saya tak jarang bertanya-tanya sudah tepatkah keputusan yang saya ambil. Saya baru menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut selepas saya kembali ke Indonesia setelah berhasil menyelesaikan S2. Obrolan dengan salah satu kolega perempuan di kampus yang juga harus meninggalkan 2 anaknya di Indonesia untuk menempuh studi lanjut di luar negeri, telah memantapkan keraguan saya selama ini. Dia menyampaikan bahwa tidak semua perempuan diberi kesempatan yang sama seperti yang telah kami dapatkan. Kami selayaknya bersyukur telah diberi kemampuan akademik yang lebih sehingga mampu mendapatkan beasiswa dan telah diberi keluarga yang mengerti dan mendukung impian kami. Dengan penuh keyakinan, kami berharap semoga pilihan ini membuat kami menjadi perempuan, istri dan ibu yang lebih baik dan mampu bermanfaat untuk orang banyak terutama orang-orang di sekitar kami.
Selama studi di Australia, saya melihat dari banyak perempuan Indonesia yang juga menempuh studi lanjut, tidak sedikit yang berstatus sebagai seorang istri dan ibu. Beberapa ada yang seperti saya (meninggalkan keluarga dan berjuang sendiri di negeri orang), adapula yang berstatus “single parent” yang hanya memboyong anak-anaknya sementara sang suami tetap tinggal di Indonesia untuk bekerja. Namun, tak sedikit pula yang berhasil memboyong seluruh keluarga (anak dan suami) untuk menemani. Apapun pilihan yang diambil tentunya bergantung pada kondisi keluarga masing-masing. Tentunya tidak ada satu pilihan yang lebih baik dari pilihan yang lain.
Secara umum, menempuh studi lanjut di luar negeri bagi seorang istri maupun ibu tentunya memerlukan perhatian khusus. Dukungan keluarga merupakan sesuatu yang krusial untuk mendukung kelancaran studi. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana saya mampu berkutat dengan berbagai eksperimen di laboratorium yang menyita banyak waktu jika saya tidak yakin bahwa ibu mertua dapat mengasuh anak semata wayang saya dengan baik. Selain itu, managemen emosi dan pikiran juga penting dikuasai. Bayangkan saja ketika anak kita sakit disaat yang bersamaan dengan tenggat waktu dikumpulkannya tugas mata kuliah atau presentasi laporan riset. Tiap orang tentunya punya cara unik untuk menata pikiran dan emosinya masing-masing dalam menghadapi suatu situasi dan biasanya kemampuan mengatasi masalah akan berbanding lurus dengan pengalaman.
Kemampuan mengatur waktu merupakan suatu keharusan bagi seorang istri ataupun ibu yang menempuh studi lanjut terutama di luar negeri. Di banyak negara maju seperti Australia, asisten rumah tangga merupakan suatu kemewahan sehingga hampir tidak mungkin terjangkau oleh kantong seorang mahasiswa. Oleh karena itu, para ibu yang sedang menempuh studi tentunya dituntut untuk harus tetap mampu melaksanakan kewajibannya mengurus keseharian rumah tangga tanpa bantuan asisten rumah tangga selayaknya yang lumrah dijalani saat di Indonesia. Saat di Australia, saya mengenal seorang perempuan Indonesia tangguh yang menjalani studi doktoral sambil mengasuh sendiri 3 orang anak usia sekolah. Saya membayangkan hari-hari sibuk sang ibu yang tidak hanya diisi dengan urusan domestik seperti mencuci, mamasak dan membersihkan rumah tetapi juga dengan urusan lain seperti mengantar jemput anak-anak ke sekolah dan menemani mereka belajar di rumah, sambil tentunya menghadiri kelas di kampus, menulis tugas dan mempresentasikannya, melaksanakan riset, hingga menyusun tesis dan artikel ilmiah. Semua itu dijalani sang ibu dengan lancar dan Ia pun dapat meraih gelar doktor tepat pada waktunya. Sang ibu tentunya harus dengan cermat mampu membagi waktu yang hanya 24 jam sehari sehingga semua tugas dan tanggung jawabnya dapat terselesaikan dengan baik. Hal ini tentunya harus diimbangi dengan kemampuan menentukan prioritas dari sekian banyak hal yang harus dikerjakan.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan buat para ibu yang akan memboyong anak saat studi lanjut adalah ketersediaan support system yang cukup seperti ketersediaan dana, fasilitas childcare dan sekolah anak. Tidak semua beasiswa memberikan tunjangan untuk keluarga, termasuk anak. Biaya hidup, asuransi kesehatan dan pendidikan untuk anak di luar negeri seringkali tidaklah murah. Namun jangan berputus asa, acap kali pemerintah negara maju seperti halnya di Australia akan membebaskan biaya pendidikan anak bagi penerima beasiswa seperti ADS. Akses terhadap child care dan sekolah anak tentunya perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan tempat belajar (universitas yang dituju) maupun lokasi tempat tinggal. Bagi yang juga membawa suami, tentunya harus dipikirkan pula aktivitas sang suami selama menemani istri studi lanjut, apakah suami akan bekerja atau bahkan ikut menempuh studi.
Semoga sedikit cerita yang saya tulis ini dapat memberi gambaran bagi para perempuan yang juga seorang istri dan ibu untuk tetap bersemangat meraih mimpi untuk dapat menempuh studi di luar negeri, karena saya percaya bahwa pengalaman yang didapat tidak hanya akan memperkaya kita secara profesional tetapi juga menjadikan kita seorang perempuan, istri dan ibu yang lebih baik. Saya pun masih berencana untuk melanjutkan studi doktoral di luar negeri. Saya bersyukur telah berhasil lolos seleksi beasiswa Endeavour dari Pemeritah Australia dan juga beasiswa dari Islamic Development Bank. Kali ini, saya berencana memboyong suami dan anak untuk bersama-sama berwisata akademik di negeri orang. Semoga saya akan kembali bertemu banyak perempuan Indonesia tangguh yang sedang berburu ilmu demi kemajuan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
===========================================
Content Director: Steven Tannason
Photo Credits: ”City Centre” courtesy of Wikipedia
Salam kenal mbak,insipiratif ceritanya, saya juga berencana melanjutkan phd di uni of melbourne Desember 2016 dan berencana membawa keluarga.Sekarang saya lagi persiapan seleksi beasiswa lpdp. Semoga kita bisa lebih intens tukar pikiran ya