Perkenalkan, nama saya Citta Widagdo. Saya adalah mahasiswa LLM in Criminal Justice, Family, and Social Welfare Law di University College London (UCL), dengan mengambil kekhususan bidang hukum kesehatan dan bioetika. Dalam tulisan ini saya hendak berbagi pengalaman personal saya mengenai kuliah di luar negeri sebagai mahasiswa dengan disabilitas.
Saya memiliki beberapa penyakit kronis (chronic illness) yang sudah saya derita selama beberapa tahun, salah satunya adalah fibromyalgia syndrome (FMS). FMS adalah kondisi jangka panjang yang menyebabkan widespread pain di seluruh tubuh, serta berbagai sindrom lainnya seperti kelelahan, kekakuan otot, gangguan tidur, dan gangguan konsentrasi (“fibro fog”) (NHS, 2015). Sejauh ini belum diketahui apa penyebab pasti FMS, tetapi penjelasan umum adalah adanya ketidakseimbangan level kimiawi yang abnormal di otak dan gangguan dalam proses penyampaian pain messages oleh central nervous system (NHS, 2015). Ada berbagai level FMS, mulai dari yang ringan hingga yang parah, yang menyebabkan seseorang mengalami kesulitas mobilitas yang serius. Saya sendiri memiliki FMS dalam tahap ringan. Gejala yang paling utama adalah sakit punggung kronis (chronic back pain) dan kelelahan. Saat saya di Indonesia, saya mengikuti fisioterapi rutin, terapi dengan trigger point injection, meminum beberapa daily oral medications termasuk untuk penyakit saya yang lain, dan secara rutin menemui ahli saraf dan psychotherapist saya. Meskipun saya sendiri masih beraktivitas sehari-hari dengan normal tanpa ada gangguan yang serius, ada hari-hari dimana saya mengalami kesulitan beraktivitas karena nyeri dan rasa lelah yang kronis.
Ketika melakukan aplikasi pendaftaran UCL, tersedia kolom disabilitas apabila memiliki berbagai kondisi seperti specific learning difficulties (disleksia atau dyspraxia), kerusakan pada penglihatan dan pendengaran, kesulitan mobilitas, kesulitan dalam kesehatan mental, autistic spectrum, dan masalah kesehatan jangka panjang seperti diabetes mellitus. Hal ini cukup mengejutkan bagi saya karena pengalaman saya sebelumnya, apabila mendaftar pekerjaan dan lain-lain, saya beberapa kali dimintakan surat keterangan sehat – yang memberikan kesan bahwa seolah-olah memiliki penyakit atau disabilitas dapat menjadi kendala untuk memperoleh pengetahuan atau pekerjaan, walaupun itu tidak selalu benar. Namun, pada saat mendaftar, saya tidak mencantumkan penyakit saya karena saya berpikir bahwa saya tidak mengalami gangguan mobilitas jadi saya merasa tidak perlu mendaftarkan kondisi saya.
Setelah saya diterima di UCL, sebelum saya berangkat saya menghubungi UCL untuk menanyakan izin yang saya butuhkan dari Pemerintah Inggris untuk membawa obat-obatan saya untuk persediaan selama satu tahun. Pihak Disabilitas UCL menanyakan kondisi saya dan menawarkan untuk memasukkan saya kedalam Disabled Students’ Network, yang saat itu saya tolak karena saya merasa tidak dalam kondisi yang serius. UCL dengan baiknya mengingatkan saya untuk membawa surat-surat dokter karena banyak keuntungan yang bisa saya dapatkan jika terdaftar sebagai disabled student.
Alangkah terharu dan kagetnya saya saat menemui pihak disabilitas UCL dan menemui Graduate Officer dan Personal Tutor di program LLM. Setelah didaftarkan, saya dapat mendaftar untuk memperoleh ujian khusus atau special exam arrangements. Sehingga, apabila pada saat ujian berlangsung selama 3 jam saya mengalami serangan (pain attacks) atau gangguan lainnya, waktu akan diberhentikan sementara hingga saya pulih. Salah satu teman saya yang memiliki gangguan panik juga mendapat kesempatan ini. Selain itu, karena pihak UCL harus melapor ke UK Border Agency mengenai absensi mahasiswa (minimum 70% kehadiran setiap termin bagi seluruh pelajar), apabila saya tidak masuk karena sakit, saya bisa mendapatkan izin. UCL juga menyediakan fasilitas mentoring setiap minggu dengan seorang pekerja kesehatan mental. Di luar UCL, saya juga mendapat bantuan dari National Health Service (NHS), yang merupakan sistem layanan kesehatan universal di Inggris, mendapat rujukan dari dokter umum (General Practicioner) ke rheumatologist, dan selama beberapa bulan saya mengikuti kelas rutin pilates mingguan gratis untuk mengelola rasa sakit (pain management). Bahkan, bagi warga negara Inggris, teman saya dapat mendaftarkan dirinya untuk memperoleh Disabled Students’ Allowance untuk mendukung perkuliahannya. Dengan seluruh dukungan yang saya dapatkan, saya mengikuti perkuliahan dengan baik, mengumpulkan seluruh tugas dan ujian tepat waktu, dan tetap memenuhi 80% kedatangan di setiap termin.
Saya juga menemukan banyak mahasiswa lain dengan disabilitas, seperti mereka yang memiliki asperger’s syndrome, panic disorder, hearing impairment, dan osteogenesis imperfecta. Teman saya ada yang menggunakan kursi roda dan kuliah LLM sambil bekerja untuk Pemerintah Inggris. Bahkan, di badan mahasiswa UCL Union, setiap tahun ada seorang Disability Officer, yaitu mahasiswa dengan disabilitas yang menjadi jembatan antara pelajar dengan UCL. Ia dipilih melalui proses kampanye dan voting yang sama persis seperti pemilihan pengurus badan mahasiswa lain. Melalui jaringan ini, saya juga berkesempatan untuk mendaftar dan mengikuti proses seleksi di Change100 yang diadakan oleh Leonard Cheshire Disability, program yang menempatkan disabled students di perusahaan besar seperti Barclays, BBC, SABMiller, P&G, dan lainnya. Meskipun tidak berhasil lolos di tahap terakhir, selama proses seleksi saya menemui mahasiswa UK lainnya yang merupakan mahasiswa berprestasi lulusan Oxford, Cambridge, Sussex, Imperial College dari berbagai jurusan dan melihat bagaimana kami semua tetap dihargai dan mendapatkan kesempatan yang sama untuk beraktivitas dan bekerja tanpa dipandang sebelah mata. Alih-alih memastikan surat sehat dan tes fisik yang disamaratakan bagi seluruh peserta, misalnya, pertanyaan pertama adalah fasilitas/akses bantuan apa yang dibutuhkan supaya proses penilaian dan seleksi berjalan lancar.
Kata-kata yang paling berkesan datang dari dosen bioethics saya, Professor Jonathan Montgomery, yang juga merupakan Chair di Nuffield Council on Bioethics dan the Health Research Authority, di hari pertama saya mengikuti kelas beliau dan beliau sudah diinformasikan mengenai penyakit saya. “Your life seems complicated, so how can I help to make it easier for you?”
Saya ingin berbagi pengalaman ini karena hak-hak pelajar dengan disabilitas perlu diakomodir oleh universitas di Indonesia. Saat saya mendaftar di UCL, pihak universitas menanyakan kepada saya sebelum saya tiba di London: “Citta, can you please let us know the kind of service and facilities provided to you during your previous studies in Indonesia so we can arrange the same facilities for you here in London?” Wah, bagi saya ini merupakan pertanyaan yang sangat penting untuk mengingatkan kita semua bahwa hak-hak penyandang disabilitas belum sepenuhnya dilindungi di Indonesia.
Di universitas saya sebelumnya, saya memiliki teman yang sungguh berprestasi. Ia menyandang tunanetra, mendapat bantuan selama perkuliahan dan berhasil lulus dengan nilai yang bagus. Tapi sepanjang pengetahuan saya pribadi, proses pendaftaran S1 di Indonesia, misalnya, tidak memiliki formulir isian untuk disabilitas dan sebagian besar universitas tidak memiliki jaringan untuk siswa penyandang disabilitas. Berbagai gedung juga belum memiliki lift atau akses untuk pengguna kursi roda. Kondisi masalah kesehatan mental juga masih memiliki stigma yang melekat. Banyak teman saya yang malu dan menutupi kondisinya. Bahkan dalam program ospek yang masih terjadi di berbagai sekolah dan universitas, masih ada tes fisik seperti push-up, sit-up, makan cepat yang bebannya disamaratakan bagi seluruh peserta.
Disini pun, saya pernah merasa kesal ketika saya menolak ajakan teman saya untuk datang ke sebuah pesta dengan alasan rasa lelah, dan ia mengatakan, “I don’t know how someone who’s only 23 year old can feel tired.” atau ketika teman saya yang lain mengatakan pada saya “Try not feel the pain, it’s not an excuse.”. Namun, tentunya mereka mengatakan hal tersebut karena tidak mengetahui rasanya sakit. Inilah yang kemudian mendorong perlunya kesadaran. Patut diingat dan dicontoh, UCL Psychological Service terus-menerus sepanjang tahun membagikan brosur, menaruh leaflet di berbagai gedung, dan ada support group misalnya untuk penderita eating disorder atau bagi seluruh mahasiswa yang mengalami stress ketika ujian. Kampanye yang besar tentunya membantu menciptakan suasana penuh pengertian dan anti-stigma negatif di universitas; contohnya, selama saya di UCL saya sempat membantu menerjemahkan pamflet UCL Psychological Service ke bahasa Indonesia dan menjadi kontributor dalam proyek dokumenter mengenai penyakit kronis yang dibuat oleh mahasiswa UCL.
Bagi saya, pertanyaan yang diajukan pihak UCL penting untuk mengingatkan kita akan pekerjaan yang kita miliki untuk Indonesia, yang pertama kali harus dimulai dengan memiliki mindset menghargai kesempatan yang setara untuk penyandang disabilitas. Indonesia perlu terus-menerus berusaha menerapkan dan menerjemahkan UU Penyandang Disabilitas dalam bentuk program yang nyata. Menurut saya, akan baik sekali apabila sekolah dan universitas mengalokasikan sumber daya untuk mengakomodir hal ini sehingga semua orang memiliki kesempatan yang sama dalam beraktivitas. Yang lebih penting lagi adalah memberikan pendidikan dan kampanye untuk dosen, guru-guru, karyawan universitas, dan sesama pelajar mengenai berbagai kondisi yang dapat dikategorikan sebagai disabilitas agar dapat memiliki pengetahuan dan membentuk kesepakatan yang sama, serta memberantas stigma yang melekat dengan berbagai kondisi kronis. Bagi Indonesia yang terkenal ramah-tamah dan gotong-royong, tentunya menghargai penyandang disabilitas adalah sama dengan nilai-nilai budaya tersebut.
Teman-teman saya yang menyandang disabilitas adalah mereka yang antara lain merupakan pekerja keras dan orang yang paling bahagia yang pernah saya temui. Selain sama-sama berjuang dalam perkuliahan dengan mahasiswa lainnya, mereka juga tidak bisa bermalas-malasan karena ada banyak perawatan yang mereka lakukan dan waktu bisa hilang apabila sedang dalam kondisi sakit . Sudah waktunya bagi sekolah dan universitas di Indonesia untuk memiliki mindset mengenai pentingnya mulai memberikan kesempatan bagi mahasiswa dengan disabilitas untuk mengikuti pendidikan. Menurut saya, ide mengenai adanya Disabled Students’ Network sebagai jejaring advokasi dengan Student Officer seperti badan mahasiswa sendiri, menyelenggarakan aktivitas kampanye, seminar, diskusi, dan lainnya perlu difasilitasi dan diterapkan. Perusahaan-perusahaan besar di Indonesia juga baik sekali apabila suatu saat bisa menginisiasi program seperti Change100.
Walau kata ‘disability’, memiliki kata ‘dis’ didepannya, seperti kutipan Robert M. Hensel, hal ini tidak mengurangi ‘ability’ (kemampuan) siapapun untuk berkarya. Seperti kata-kata Profesor Jonathan Montgomery kepada saya di UCL, saya rasa sudah waktunya bagi universitas di Indonesia, untuk mulai bertanya: “How can I help to make life easier for students when facing with physical and mental difficulties?” Tentunya penerapan kebijakan seperti ini membutuhkan waktu dan sumber daya yang banyak dan implementasi jangka panjang, tetapi yang paling utama sekarang adalah memulai dengan niat dan determinasi untuk membuat suatu perubahan.
Terakhir, pesan saya bagi para calon pelajar Indonesia yang hendak menempuh pendidikan di luar negeri, jangan pernah malu dan minder apabila mempunyai kesulitan fisik atau mental karena ada banyak bantuan dan fasilitas yang bisa didapatkan! Selama saya di UCL, saya rasa pengalaman terbaik saya adalah lebih dari sekadar studi, tetapi lebih ke bagaimana saya hidup di kondisi yang sangat memanusiakan, penuh tenggang rasa dan kepedulian dan saling menghormati satu sama lain; dan ini sudah menjadi salah satu pengalaman terbaik yang saya dapatkan dalam hidup – yang mungkin tidak akan pernah saya dapatkan apabila saya tidak pergi ke Britania Raya untuk kuliah. Ada banyak hal yang dapat kita pelajari, yang tentunya berbeda-beda bagi setiap orang, yang dapat memberikan motivasi dan tujuan baru dalam hidup.
Semoga sukses, teman-teman, dimanapun kalian berada!
—
Acknowledgements:
My greatest gratitude for all health care professionals that have been taking care of me, in Indonesia and at University College Hospital; and for my Professors, colleagues and Disability Service staff at University College London.
Referensi:
Leonard Chesire Disability, Change100 [Online] Available from: <https://www.leonardcheshire.org/what-we-do/change100#.VUNY3WTBzGc> accessed 1 May 2015
National Health Service, Fibromyalgia [Online] Available from: <http://www.nhs.uk/Conditions/Fibromyalgia/Pages/Introduction.aspx> accessed 1 May 2015
University College London, Student Disability Services [Online] Available from: <https://www.ucl.ac.uk/disability> accessed 1 May 2015
Foto diatas adalah Thank You Board untuk health care professionals, diambil di ruang fisioterapi University College Hospital, London, UK, 13 Maret 2015.
Baru baca Tulisannya Citta. i really proud of you, Citta.
Jadi makin pengen ngambil master.
Terima kasih sharingnya and good luck for your master, Cit.
Saya sedang mencari bahan karya tulis ilmiah siang hari ini. karena saya seorang mahasiswi psikologi, otomatis keyword yang saya berikan yaa ada psikologi psikologinya lah. Membaca tulisan ini, membuat saya merasa kecil, ternyata permasalahan2 yang berkaitan dengan psikologi masih lebih besar di luar sana. Saya hanya ingin mengucapkan terimakasih, karena telah membuka mata saya dan membakar semangat saya untuk terus berjuang menjadi agen sehat mental di Indonesia. Sukses terus, Cita dan anda mendapatkan salam dari langit cerah Indonesia hari ini 😀