Belajar Melalui Bicara

1
2561

Ketika memulai kuliah pascasarjana di Amerika Serikat, satu hal yang menjatuhkan mental belajar saya adalah kelas seminar. Saya memahami seminar sebagai bentuk penyampaian materi satu arah dari pemateri ke para peserta. Ia biasanya cenderung formal, diadakan di ruangan yang relatif besar, dan diikuti oleh puluhan hingga ratusan peserta. Sesi tanya jawab, sekalipun hampir selalu jadi menu wajib di seminar, hanyalah semacam santapan pencuci mulut setelah pemateri menyajikan segala buah pikirannya.

Saya mulai curiga saat membaca silabus yang diberikan dosen di kelas hari pertama. Di lembar kertas itu tertulis bahwa penilaian proses belajar akan dilakukan dengan menimbang dua aspek: 50% partisipasi kelas dan 50% paper akhir. Jika seminar bersifat satu arah, bagaimana bisa dosen menilai partisipasi mahasiswa? Silabus kelas-kelas lain menyertakan hal yang kurang lebih sama, malah dengan ekspektasi akan “partisipasi” yang lebih rinci:

Vigorous, collegial, and well-prepared participation is expected in all class meetings. Liveliness, insight, and generosity are vital parts of a good seminar atmosphere.”

Selepas kelas saya bertanya ke teman yang pernah kuliah di Amerika Serikat. Pastilah ia heran melihat saya kebingungan. Kelas seminar, jelasnya dengan perlahan agar saya dapat mencernanya, mengutamakan diskusi sebagai kunci pembelajaran. Tiap peserta harus melahap segala materi yang sudah diberikan jauh-jauh hari. Jangan terlalu berharap dosen akan menyuapi kita dengan segudang pengetahuan. Hampir tidak akan ada paparan panjang dari dosen apalagi presentasi Powerpoint. Di kelas, para pesertalah yang bertukar wawasan dan pemikiran. Setiap pertemuan akan diisi dengan diskusi, diskusi, dan diskusi.

Bayangan saya sebelumnya akan kelas seminar runtuh di tempat. Buat saya ini kabar buruk. Persoalannya, tiga dari empat kelas yang saya ambil adalah kelas seminar. Saya lelet dalam membaca, sementara di setiap pertemuan tiga hingga lima bacaan menanti. Tapi untuk perkara ini, saya pikir dengan agak berat hati saya masih bisa menebus waktu membaca dengan waktu tidur. Yang paling bikin runyam adalah jika saya mesti bicara. Modal kosakata bahasa Inggris saya pas-pasan. Kemampuan gramatikal saya berantakan pula. Belum lagi sejumlah tes karakter sudah membuktikan bulat-bulat bahwa saya berwatak pendiam. Paripurna sudah seluruh hal yang akan membuat saya bungkam seribu bahasa di kelas. Bagaimana bisa saya melewati semester ini dengan damai tenteram sentosa?

***

Model kelas seminar sangat umum di dunia akademik Amerika Serikat. Metode pembelajaran ini sering juga disebut Socratic seminar. Nama ini merujuk pada Sokrates, filsuf Yunani yang kerap kali mengandalkan dialog untuk menggali pemikiran lawan bicaranya. Serupa dengan model investigasi Sokrates, tujuan kelas seminar adalah menstimulasi pemikiran kritis melalui proses dialektika antar peserta.

Apa yang hendak dicapai di kelas seminar bukanlah satu fakta tunggal. Malah, transmisi fakta bukan hal yang utama; lebih penting dari itu adalah eksposisi pemikiran masing-masing peserta akan fakta tersebut. Dengan mengungkap pemikiran beserta segala argumentasi yang menyertainya, tanya-jawab, sahut-menyahut, hingga bantah-membantah pun terjadi. Tak jarang, ketidaksepakatan satu sama lain membuat suasana jadi intens. Tetapi kontestasi pemikiran ini adalah untuk mendudukkan—bukan menundukkan—pendapat. Tiap peserta berkesempatan mengungkap serta menantang ulang segala nilai, prinsip, dan argumen yang ia pegang. Dengan demikian, setiap peserta bisa memahami baik pemikirannya sendiri maupun pemikiran-pemikiran lain, serta mematangkan sikapnya dengan lebih kritis.

Peran dosen dalam kelas seminar bukan sebagai kunci jawaban. Dosen, sekalipun bertugas memandu diskusi, hanyalah salah satu peserta diskusi. Sebaliknya tiap mahasiswa, sekalipun hanya salah satu peserta diskusi, berperan aktif membangun dialog yang produktif. Posisi duduk diatur dalam komposisi melingkar agar setiap orang memiliki jarak yang relatif sama. Baik dosen maupun mahasiswa lantas bertanggung jawab untuk mendorong percakapan ke arah yang lebih dalam sekaligus terbuka. Kata “terbuka” di sini amat penting, sebab kelas seminar, sekali lagi, bukan ditujukan untuk menghasilkan jawaban yang esa.

Metode ini terdengar amat ideal untuk pembelajaran di jurusan saya yang bukan ilmu eksakta. Tapi sungguh, bulan-bulan awal perkuliahan saya serupa masa-masa menjalani neraka tujuh tingkat. Saya memahami tak sampai setengah dari seluruh percakapan di kelas karena kendala bahasa, apalagi yang digunakan adalah bahasa pascasarjana dengan istilah-istilah ala GRE yang selalu sukses bikin dahi saya mengernyit. Di kelas, saya nyaris tak bicara. Teman-teman saya amat mulus dalam menyampaikan pemikirannya. Mereka tanpa ragu mengutarakan pendapat yang berlawanan dengan orang lain. Kultur diskusi tampaknya sudah jadi makanan sehari-hari mereka. Sementara saya tergagap-gagap buat bicara satu kalimat saja. Mau bicara pun pakai angkat tangan segala. Performa terbaik saya hanyalah tiga-empat kalimat sepanjang dua jam pertemuan di tiap kelas, itupun biasanya hanya mengulang apa yang ada di bahan bacaan—minim pendalaman.

Di tengah segala kepusingan saya, saya mendapatkan anjuran yang sedikit banyak menolong agar tidak tertekan dengan keadaan. Forget about the good. Tips ini saya baca dari buku orientasi yang diberikan oleh kampus saya. Sebetulnya saya malas betul membaca tips-tips, tapi gara-gara anjuran itu begitu kontekstual dengan situasi, saya jadi mengingatnya dan rupanya lumayan terbantu berkatnya. Penjabaran tips itu begini:

Good is what we all agree on. Growth is not necessarily good. Growth is an exploration of unlit recesses that may or may not yield to our research. As long as you stick to good, you’ll never have real growth.”

Belajar Melalui Bicara
Forget about the good. Anjuran berharga yang saya temukan di buku orientasi kampus.

Saya mulai mengarahkan ulang orientasi belajar saya. Saya memikirkan berbagai strategi untuk berkembang ketimbang untuk cemerlang di kelas.

Salah satunya, saya menyiasati cara saya belajar. Saya membuat catatan dari setiap bacaan, dan dalam format yang lebih sistematis dari cara saya mencatat biasanya. Beberapa bacaan saya telusuri dua kali: yang pertama agar saya memahami dan yang kedua kali agar saya dapat membangun pemikiran saya sendiri dari merespons bacaan tersebut. Setelah semua bacaan saya tuntaskan, saya menyisakan sedikit waktu lagi untuk mematangkan poin-poin yang menurut saya potensial untuk diangkat di kelas.

Di kala rehat, saya mulai biasakan menonton siaran-siaran televisi Amerika, selain untuk relaksasi haha-hihi, juga untuk melatih kemampuan mendengar. SNL, The Daily Show, The Tonight Show, The Late Show, dan berbagai show lainnya saya langgani di Youtube. Kadang-kadang kalau sedang berjalan sendirian, saya kerap juga monolog di jalan dalam Bahasa Inggris, sekadar buat latihan bicara. Tentu saat tidak ada orang lain di sekitar, agar tidak disangka gila.

Lambat laun, saya mulai menikmati kelas seminar. Proses membaca prakelas dan diskusi selama kelas membuat pengetahuan yang saya dapat lebih mengendap. Saya mulai memahami percakapan yang terjadi di kelas dengan lebih utuh. Walaupun gramatika bahasa saya masih tetap salah-salah, saya mulai lebih aktif dan percaya diri dalam mengutarakan pendapat. Selama semester pertama yang telah saya lewati, proses pembelajaran ini, saya kira, lebih berarti ketimbang hasil akhir yang saya dapati.

Saya memasuki semester kedua dengan lebih woles. Saya memberanikan diri untuk mengambil kelas seminar untuk semua kelas saya. Kadang-kadang di kala melamun, saya teringat lagi anjuran itu. Forget about the good. As long as you stick to good, you’ll never have real growth.

 

Photo Courtesy: Author’s Collection


BAGIKAN
Berita sebelumyaGet Away from Me: Managing Homesickness as an International Student
Berita berikutnyaHelp Us Make IM Better!
Robin Hartanto graduated from Universitas Indonesia in 2012 and currently studies Critical, Curatorial and Conceptual Practices in Architecture at Columbia University. His practices examine the roles of exhibition and publication in contemporary architectural discourses. He co-curated the Indonesia Pavilion in Venice Biennale (2014), “A Conservation Story”—an exhibition of Five awardees of UNESCO Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation in Indonesia (2014), and Universitas Pelita Harapan Architecture Triennial “Waktu Adalah Ruang” in Kota Tua, Jakarta (2015). Previously, he worked as a junior architect at Avianti Armand Studio, a writer at Yahoo! Indonesia, and a lecturer at UPH.

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here