Nyemplung di Kanada Timur: Sekolah di “Antah Berantah”

3
4464
Tim St. Thomas untuk Harvard National Model UN 2012

Kebanyakan orang yang dengar kata-kata ‘New Brunswick’ biasanya bertanya, “dimana itu?” atau “kenapa kamu pilih sekolah di ‘antah berantah’?”

Ya, tahun 2013 kemarin saya lulus dengan Bachelor of Arts di jurusan Jurnalistik, serta Honours di jurusan Hubungan Internasional dari St. Thomas University, di Fredericton, New Brunswick, Kanada. Tepatnya Atlantic Canada – sebutan untuk provinsi-provinsi yang berbatasan atau berada di Laut Atlantik. Almamater saya sudah lebih dari seratus tahun umurnya, bertahan dengan spesialisasi di Liberal Arts untuk level S1, dan sekitar 2,000 hingga 3,000 murid per tahun.

New Brunswick sering di sebut ‘antah berantah’ atau ‘desa’ karena memang populasi nya kecil – tidak sampai satu juta orang dan Fredericton populasinya hanya sekitar 60,000 orang. Tapi saya sudah tinggal di provinsi ini lebih dari enam tahun, banyak yang bertanya, ‘memangnya enak tinggal di tempat kecil?’

Setiap tempat bagi saya punya sisi positif dan negatif. Dalam hal kuliah dan bekerja, saya menikmati sekali waktu saya disini. Beberapa poin mengenai kuliah akan saya ulas dibawah:

Fokus – Karena tinggal di Fredericton itu tidak seperti di kota besar, dimana banyak sekali pilihan kegiatan di luar sekolah yang bisa diikuti para pelajar. Di Fredericton juga banyak kegiatan dan saya orang yang suka bergaul, tetapi pilihannya lebih sedikit dibanding kota-kota metropolitan seperti Toronto, Montreal, atau Vancouver. Karena itu, saya jadi lebih mudah fokus terhadap pendidikan saya. Selain itu, di kota kecil pun banyak kesempatan berprestasi di kampus, misalnya dengan mengikuti program model UN, dimana murid-murid diseleksi untuk mewakili universitas di Harvard National Model UN.

Gampang Menabung – Karena di kota kecil seperti Fredericton pilihan pertokoan lebih sedikit, dan barang-barang paling unik biasanya bisa ditemukan di toko secondhand atau thrift store dengan harga murah, saya jadi bisa lebih mudah mengatur pengeluaran.

Komunitas yang Ramah – Komunitas kecil biasanya lebih ramah, sama juga di Fredericton. Sering sekali saya disapa orang tak dikenal yang sedang jalan atau lari pagi. Bukan hanya itu, networking pun lebih mudah karena banyak orang yang kenal satu sama lain dan saling memperkenalkan. Bantuan pun tidak susah didapat. Saya kenal dekat dengan professor-profesor saya, antara lain karena sering berpapasan juga.

Dekat dengan alam – Propinsi ini masih hijau sekali, sampai-sampai, waktu saya dan ibu saya akan mendarat untuk pertama kalinya, ibu saya panik. Dari atas pesawat baling-baling, yang dilihat hanya hijau. Ibu saya bertanya, “kamu yakin ada universitas disini?” Ternyata ada! Buktinya, sekarang saya sudah sarjana, hehehe. Tetapi, tanpa hutan beton, Fredericton justru memiliki sungai yang membagi  kota menjadi dua. Seru sekali bermain kayak dan canoe, dan berjemur di pantai di musim panas. Banyak sekali lahan hijau untuk sekedar tidur-tiduran menikmati udara hangat sambil mendegarkan musisi yang bermain dalam festival music lokal. Juga banyak jalan khusus melewati hutan dan perumahan untuk para pelari, pejalan kaki dan yang suka bersepeda.

Nyemplung dalam budaya unik Kanada – Walaupun budaya Kanada sangat multicultural dan beragam, di New Brunswick populasinya masih mayoritas penduduk-penduduk keturunan Eropa, khususnya Inggris dan sekitarnya, dan Prancis. New Brunswick juga tempat tinggal beberapa suku First Nations atau aboriginal Amerika Utara, seperti Mi’kmaq dan Maliseet. Disaat liburan natal dan paskah, saya sempat mencoba kemping di tengah hutan saat bersalju, bermain ski-doo, belajar ice skating, mencicipi sirup maple langsung dari pohonnya dan sebagainya. Sedikit sekali orang Indonesia disini. Waktu saya kuliah, di kampus saya dan kampus sebelah, University of New Brunswick yang hampir tiga kali lebih besar, hanya ada tiga murid Indonesia. Empat kalau menghitung murid blasteran yang hanya pernah tinggal di Indonesia dua tahun. Cari makanan Indonesia pun susah, kecuali Indomie dan kecap manis yang dijual di toko milik orang Malaysia. Jadi, mau tidak mau, saya pun bergaul dengan orang-orang dari berbagai negara, dari ujung Afrika sampai ujung Asia. Saya mencicipi makanan-makanan buatan teman-teman saya tersebut. Perspektif budaya saya tertantang dan pikiran saya tambah terbuka. Dan sekarang saya ketagihan makanan khas negara-negara Afrika barat!

Tapi, dingin! – Ya, di Fredericton lebih dingin daripada kota kota besar seperti Toronto. Saya sekarang sudah berekspektasi cuaca -30 derajat Celsius dan salju sampai setengah badan saya kalau musim dingin. Tapi untuk saya, musim dingin pun seru karena penuh dengan aktifitas seperti skating dan tobogganing (meluncur diatas papan dari atas bukit bersalju). Saat bunga-bunga mulai mekar kembali dan orang-orang mulai pakai celana pendek, rasanya nikmat sekali! Senyum sumringah, sampai merasa kepanasan di tengah musim panas, hehe.

Terjun di tempat baru itu bisa mengerikan dan membingungkan, tapi asal kita membuka diri, kota kecil pun bisa jadi sangat menyenangkan. Jangan sungkan mencoba belajar di New Brunswick atau ‘antah berantah’ lainnya, siapa tahu Anda jatuh cinta!

 

Photos:

Nyemplung di Kanada Timur: Sekolah di "Antah Berantah"

Tim St. Thomas untuk Harvard National Model UN 2012

 Nyemplung di Kanada Timur: Sekolah di "Antah Berantah"

Bersama mantan international student advisor St. Thomas, Judy Coates, dan ibu saya

 Nyemplung di Kanada Timur: Sekolah di "Antah Berantah"

Di halaman depan kampus bersama ibu dan adik saya

 

Photo Courtesy: Author’s Collection


BAGIKAN
Berita sebelumyaMembagi Waktu Antara Kelas, 2 Pekerjaan, dan Memimpin Organisasi Mahasiswa Selama Kuliah
Berita berikutnyaQ&A: Membawa Keluarga Saat Studi Lanjut di Luar Negeri
Inda Intiar currently works as an analyst in the market intelligence field in Moncton, New Brunswick, Canada. She graduated from St. Thomas University with a Bachelor of Arts degree in Journalism and an Honours in International Relations. She is the current co-President of Diaspora E-Class, a non-profit that uses technology to help Indonesian students practice speaking English with Indonesian diaspora volunteers worldwide. She is a member of the welfare committee at the local Muslim organization. Having lived in the Middle East, North America and Southeast Asia for most of her life, she is passionate about development, education and social welfare in those regions. You can reach her via email at khaintiar@gmail.com.

3 KOMENTAR

  1. halo inda mau tanya2 dong untuk kuliah disana apa bisa sambil kerja? apa mudah untuk mendapatkan kerja di sana?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here