Belajar Linguistik di Taiwan: Apa dan Mengapa?

0
3779

Salam hangat teman-teman pembaca blog Indonesia Mengglobal. Melalui tulisan ini saya ingin membagi pengalaman pribadi saya saat mempelajari linguistik di Taiwan, salah satu negara berbahasa Mandarin yang letaknya tidak jauh dari pulau paling utara Indonesia.

Tahun 2014, saya lulus dari Program Studi Cina FIB UI setelah sebelumnya sempat belajar selama setahun di Chinese Language Center National Chengchi University (CLC NCCU) dengan beasiswa “Huayu Enrichment Scholarship” yang disponsori Kementerian Pendidikan Taiwan. Saat ini, saya sedang menjalani studi magister di Graduate Institute of Linguistics National Taiwan University (GIL NTU) dengan beasiswa “Taiwan Scholarship” dari sponsor yang sama.

Menilik latar belakang saya sebagai lulusan Program Studi Cina, tentu tidak mengherankan bila saya melanjutkan studi di Taiwan, karena Taiwan adalah salah satu negara yang bahasa resminya Bahasa Mandarin. Kalau kata teman-teman saya, “Kan bisa sekalian memperlancar Bahasa Mandarin!”. Ya, itu memang ada benarnya. Namun sebenarnya saya punya alasan lain untuk menjawab pertanyaan “Mengapa Taiwan?”, atau lebih spesifiknya, “Mengapa GIL NTU?”

Fokus Kajian

Ada 2 bidang yang menjadi fokus kajian GIL NTU, yaitu Bahasa Mandarin dan bahasa-bahasa Austronesia yang ada di Taiwan, atau yang dikenal dengan istilah Formosan languages atau bahasa-bahasa Formosa. Sebelumnya perlu diketahui bahwa Taiwan sebenarnya juga memiliki keanekaragaman bahasa. Di samping Mandarin yang merupakan bahasa resmi serta beberapa bahasa lain yang masih terhitung dekat seperti Hakka dan Hokkian Taiwan (Min Selatan), ternyata ada juga bahasa-bahasa lain yang dituturkan suku asli pulau ini, seperti Atayal, Bunun, Amis, Kanakanavu, Kavalan, Saisiyat, dsb. Menariknya, bahasa-bahasa ini sebenarnya masih satu keluarga dengan Bahasa Indonesia, Bahasa Melayu, dan bahasa-bahasa daerah lain di Indonesia, seperti Bahasa Jawa, Bahasa Bali, Bahasa Minang, Bahasa Bugis, dll. Mereka semua termasuk dalam rumpun Bahasa Austronesia. Posisi bahasa-bahasa Austonesia yang ada di Taiwan menjadi penting sebab mereka semua termasuk dalam 9 subkelompok utama dari induk keluarga bahasa Austronesia (Proto Austronesian atau PAn), sedangkan bahasa-bahasa Austronesia lain yang berada di luar pulau Taiwan termasuk ke dalam 1 subkelompok utama lain, yaitu Melayu-Polinesia. Pengetahuan mengenai bahasa-bahasa Austronesia yang ada di Taiwan inilah yang saya perlukan untuk mendukung penelitian mengenai akar kata (etimologi) yang sementara saya kerjakan dalam tim yang dibentuk Badan Bahasa Kemdikbud dengan Laboratorium Leksikologi-Leksikografi Departemen Linguistik FIB UI.

Pendekatan yang Dipakai

Di samping itu, GIL NTU menggunakan pendekatan kognitif yang menempatkan pengetahuan bahasa sebagai bagian dari kognisi atau kemampuan berpikir manusia. Perilaku berbahasa dengan kemampuan kognisi lainnya seperti berpikir, mengingat, dsb dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dengan pendekatan semacam ini, bahasa dapat dikaji secara lebih holistik karena disiplin ilmu lain seperti psikologi, neurologi, filsafat, antropologi, hingga ilmu komputer juga turut dilibatkan.

Dosen dan Mahasiswa

Di antara teman-teman seangkatan program magister, saya menjadi satu-satunya mahasiswa asing karena GIL NTU memang hanya membuka masing-masing 1 kuota untuk mahasiswa asing di program magister dan doktoral. Jumlah mahasiswa yang tidak terlalu banyak di satu sisi memberikan keutungan tersediri karena rasio perbandingan jumlah dosen dan mahasiswa menjadi ideal sehingga interaksi di antara keduanya dapat berlangsung sangat intens. Dari kelas-kelas yang saya ikuti, jumlah mahasiswa yang terbanyak adalah 12 orang, bahkan ada juga yang hanya 4 orang. Dosen-dosen di GIL NTU menurut saya sangat serius, disiplin, dan punya etos kerja tinggi. Mereka juga sangat mudah ditemui dan bersedia meluangkan waktu bila mahasiswanya butuh masukan atau ingin berdiskusi. Di samping itu, setiap dosen juga memimpin satu kelompok riset berdasarkan subbidang keahliannya masing-masing, dan mahasiswa diwajibkan menjadi anggota dari salah satu grup sesuai dengan minat dan topik tesis/disertasi yang akan dikerjakannya. Ada 7 kelompok riset: kelompok pertama membidangi topik-topik seperti metafor, kognisi, dan budaya; bahasa, media, dan politik; multimodal metaphor; dan simbolisme bunyi (sound symbolism). Kelompok kedua mencakup analisis wacana dan pragmatik. Kelompok ketiga khusus menaungi topik-topik yang berhubungan dengan Bahasa Formosa; korpus Bahasa Formosa dan aplikasinya; serta tipologi bahasa (language typology). Yang keempat adalah grup fonetik yang membawahi soal bunyi-bunyian dan korpus lisan (speech corpus). Grup kelima menaungi topik perbandingan bahasa, yang di dalamnya termasuk membahas kaitan antara bahasa dan budaya. Grup keenam memiliki nama khusus, yaitu “LoPE” yang merupakan singkatan dari Lab of Ontologies, Language Processing, and E-Humanities. Topik yang dibahas dalam grup ini antara lain linguistik komputasional dan natural language processing (NLP). Kelompok terakhir adalah Brain and Language Processing Lab yang menaungi topik-topik seperti psikolinguistik, neurolinguistik, dan bilingualisme. Pertemuan diadakan secara teratur di mana mahasiswa berkesempatan mempresentasikan laporan perkembangan proyek yang sedang dikerjakan, atau melontarkan ide-ide baru maupun memberi masukan terhadap temuan-temuan yang dipaparkan teman lainnya. Kultur riset yang kondusif seperti ini menurut saya sangat baik untuk melatih mahasiswa menjadi lebih jeli melihat “celah-celah” yang bisa digali dari setiap subbidang yang akan menjadi kepakarannya.

Sekilas tentang Dinamika Perkuliahan

Mengenai dinamika perkuliahan, meskipun ini sudah merupakan kedatangan yang kedua kalinya, ternyata saya masih cukup kagok juga saat hadir di kelas perdana pagi itu. Begitu sampai di kelas, saya tambah kaget karena tahu bahwa tiga dari empat kelas yang saya ambil ternyata pesertanya dicampur dengan mahasiswa S3. Saya hanya bisa tertawa miris membayangkan harus berdiskusi menggunakan kosakata akademis dan istilah-istilah linguistik dalam Bahasa Mandarin dengan teman-teman yang pengetahuan dan pengalamannya tentu sudah jauh di atas saya. Dan benar saja, kuliah tatap muka yang didominasi presentasi individu dan diskusi materi betul-betul membutuhkan kesigapan telinga untuk menyimak isi diskusi dan lidah yang licin untuk merespon pertanyaan-pertanyaan yang kapan saja bisa dilemparkan ke kita. Masih segar dalam ingatan, di minggu-minggu awal kuliah saya hanya bisa diam seribu bahasa menyaksikan teman-teman sekelas saya presentasi dan diskusi tanpa rasa gugup sama sekali. Rasanya takut sekali mau buka mulut buat angkat bicara. Saya takut kalau kosakata yang saya pakai kurang tepat atau terlalu sederhana. Saya takut ditertawakan. Saya takut diremehkan. Tapi di atas itu semua, yang paling saya takutkan adalah saya dianggap bodoh! Logikanya, orang mana sih yang ingin dianggap bodoh? Tentu tidak ada. Tapi logika ini sebenarnya tidak sepenuhnya cocok dalam dunia belajar. Saat masih belajar, jangan pakai mental sang juara, karena tanpa disadari mental ini membuat kita menjadi terlalu fragile, sensitif, salah sedikit saja sudah takut “gelar juaranya ternodai”, padahal kesalahan justru merupakan “nafas” yang bisa membuat proses belajar kita menjadi selalu “hidup”. Pembalap sepeda yang sudah berkali-kali juara biasanya sering merasa lebih frustrasi saat dia tergelincir. Sedikit saja tergelincir bisa membuatnya merasa ada “cacat” dalam prestasinya, padahal dia lupa saat masih amatiran dulu berkali-kali jatuh pun ia tidak terlalu merasa “sakit” karena dia tahu dia masih dalam proses belajar, dia masih amatiran. Jadilah dia bangkit lagi, naik sepedanya lagi, dan latihan lagi. Dalam konteks ini, mental si amatiran justru lebih kuat, atau bahasa Jawanya lebih kendel, daripada mental sang juara. Mental si amatiran yang tidak takut “terluka” itulah yang membuat dia bisa berkembang. Berangkat dari refleksi ini, dengan menggunakan mental si amatiran, saya pun kembali melangkahkan kaki ke kelas sambil berkata dalam hati: “Sikat saja Rin! Pasti bisa!”

Sekian penggalan cerita saya mengenai pengalaman belajar linguistik di Taiwan. Bagi teman-teman yang ingin melanjutkan studi di bidang ini, ada baiknya untuk mencari tahu terlebih dahulu fokus kajian dan pendekatan apa (formal, fungsional, kognitif, dsb) yang digunakan di kampus yang teman-teman minati. Mempertimbangkan ranking jurusan/universitas memang penting, tetapi jangan jadikan itu satu-satunya pertimbangan, sebab linguistik memiliki subbidang yang tidak sedikit dengan pendekatan yang juga beragam. Saran saya, pilih kampus yang fokus kajian serta pendekatannya sesuai dengan tujuan dan minat teman-teman. Selamat berjuang!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here