Ia ditakuti dan disegani kaum pelajar sejagat raya. Di ambang kelulusan yang dinanti-nanti mahasiswa, ia bak malaikat maut penjaga gerbang. Untuk dapat melewatinya dengan selamat sentosa, perlu minimal enam bulan kerja yang tekun, pikiran yang fokus, hati yang teguh, juga doa yang khusyuk. Tanpa itu semua, kiamat sudah. Sebut saja ia tesis, walau ia bisa juga skripsi atau disertasi. Tesis adalah teror. Ia adalah horor.
Tapi tidak demikian semestinya menurut Umberto Eco. “Menulis tesis itu sudah seharusnya asyik,” kata profesor dan novelis berkebangsaan Italia itu di bukunya How to Write a Thesis. “Ia seperti cinta pertamamu: sukar dilupakan.”
How to Write a Thesis terbit pada 1977 dalam bahasa Italia. Sejak itu, buku itu sudah dicetak ulang setidaknya 23 kali dan diterjemahkan ke 17 bahasa. Tapi baru pada 2015 buku itu diterjemahkan, oleh MIT Press, ke bahasa Inggris. Meskipun sudah hampir empat puluh tahun umurnya dan ditulis terutama untuk jurusan-jurusan bidang humaniora, ia rupanya masih relevan dibaca luas, dan tak hanya oleh mahasiswa. “A guide to thesis writing that is a guide to life,” begitu sebuah ulasan di New Yorker merangkumnya.
How to Write a Thesis tidak hanya sekadar panduan menulis yang mencerahkan: ia jahil juga jenaka. Eco, misalnya, berkata bahwa buku itu bukan buat mahasiswa yang menulis tesis ala sistem kebut semalam. Untuk orang semacam demikian, Eco menyarankan orang itu berhenti membaca bukunya dan ikuti satu dari dua kiat ini: a) Investasi uangmu buat menyewa jasa menulis tesis; b) Salin tesis yang ditulis beberapa tahun lalu untuk universitas lain. “Keduanya adalah langkah putus asa,” ucapnya.
Kiat itu hanya sebagian kecil dari How to Write a Thesis. Berikut kiat-kiat lain Eco yang layak dibagi.
1. Tesis adalah tentang perjalanan
Ingat percakapan Rangga dan Cinta di AADC2 soal beda traveling dan liburan? Yang menggenapkan traveling bukanlah destinasinya, melainkan perjalanannya, begitu kira-kira kesimpulan Cinta setelah mendengarkan celotehan Rangga. Sama halnya dengan tesis.
Tesis bukan tes. Ia bukan dimaksudkan untuk menguji apakah standar kompetensi seorang mahasiswa setelah lulus dari jurusan yang ia ambil. Ia bertujuan mendorong mahasiswa untuk dapat membuat sesuatu dari edukasi yang ia dapat. Tesis adalah perkara proses.
Itu sebabnya Eco berfokus pada bagaimana, tentang techne dalam menulis tesis, ketimbang pada pertanyaan ontologis apa itu tesis. Lika-liku perjalanan menulis tesis–dari jalan yang kamu tempuh hingga berbagai cara yang kamu jalani untuk sampai tujuan–akan jauh lebih penting dan berguna nantinya ketimbang produk akhir yang dihasilkan. Tesis nantinya tidak hanya memberikan bekal pengetahuan akademik, melainkan juga kemampuan profesional. Bagaimana mengidentifikasi topik, mengumpulkan data, menyusun dokumen, hingga menyampaikan pemikiran pada pembaca: memantapkan dan mengendapkan langkah-langkah itu akan berguna buat pekerjaan kamu selanjutnya, entah sebagai pemandu wisata atau direktur perusahaan.
2. Topik adalah urusan sekunder
Memikirkan topik adalah salah satu fase paling berengsek dalam menulis tesis. Kamu tentu ingin mencari judul yang brilian, yang memikat, dan jika bisa, yang berfaedah buat kehidupan jutaan umat manusia. Apalagi tesis juga seperti pacarmu: waktu berbulan-bulan akan kamu habiskan berdua dengannya.
Lalu angin bertiup, daun beterbangan, dan minggu demi minggu pun berlalu sampai kamu mulai panik dan memutuskan untuk ya sudahlah dengan topik kamu.
Oleh karena perjalanan menulis tesis itu sendiri lebih penting daripada tujuan, maka topik tesis bagi Eco tidaklah lebih penting daripada bagaimana kamu menuliskannya. “Topik adalah hal sekunder dibanding metode riset dan pengalaman aktual menulis tesis itu sendiri,” katanya. Ia lanjut mengingatkan, bahwa selama mahasiswa bekerja dengan giat, sesungguhnya tidak ada topik yang benar-benar jelek. Maka berhenti berlama-lama mencari ide topik yang cemerlang. Tentukan dan kerjakan.
3. “Kamu mesti menulis tesis yang bisa kamu tulis.”
Kiat ini terdengar mubazir. Tentu saja seseorang tidak mungkin menuliskan sesuatu yang tidak bisa ia tulis. Tapi sebetulnya begini maksud Eco: jangan memilih topik yang menyusahkan dirimu sendiri.
Topik yang kamu pilih, misalnya, akan jauh lebih memudahkan jika ia mencerminkan studi dan pengalaman kamu selama ini, sehingga kamu tidak perlu membangun pemahamanmu dari nol. Lalu, pertimbangkan akses atas sumber-sumber yang dibutuhkan. Alangkah sulitnya jika kamu jauh-jauh studi di Amerika lalu berencana membuat tesis tentang Indonesia, tapi kamu tidak berniat mengunjungi Indonesia selama studi padahal sumber-sumber primermu ada di Indonesia. Satu hal lagi: kamu mesti berpengalaman dengan kerangka metodologi yang akan kamu gunakan. Jika kamu berniat menganalisis karya-karya sonata Bach, misalnya, kamu semestinya sudah akrab dengan berbagai teori dan analisis yang umum dipakai di bidang musik.
4. Monograf versus survei, historis versus teoretis, dan lama versus kontemporer
Jawaban dari pilihan-pilihan ini hanya preferensi dan akan bergantung pada bidang studi yang dipilih. Bukan hal mutlak, tapi layak dipertimbangkan.
Monograf versus survei? Monograf. Salah satu godaan terbesar dalam menulis tesis adalah keinginan membuat survei yang luas. Misalnya: “Analisis Pengaruh Perkembangan Teknologi Digital di Abad ke-21” atau “Studi Arsitektur Kontemporer di Indonesia.” Judul-judul semacam itu bukan hanya terlalu luas, tapi juga mustahil ditulis. Sebaliknya, menulis topik yang spesifik pada satu atau dua tokoh, atau pada jangka waktu tertentu, tidak berarti tidak mengizinkan kamu untuk mengkaji hal yang lebih luas. “Studi Lokalitas Karya-karya Arsitektur Andro Kaliandi” akan mengharuskanmu memahami konteks arsitektur pada masa Andro berkarya, konteks tempat karya-karya Andro berada, dan konteks kultural tokoh Andro itu sendiri. Ia memberikan fokus studi tanpa mengorbankan kehausanmu akan pengetahuan yang luas.
Historis versus teoretis? Historis. Beberapa bidang studi mengharuskan topik yang teoretis. Topik-topik bidang matematika, misalnya, mungkin mengharuskan mahasiswa untuk menspekulasikan formula tertentu. Atau topik filsafat tentang asal-usul kehendak manusia dan eksistensi Tuhan. Tanpa bermaksud membatasi topik-topik semacam itu, Eco mengingatkan akan sulitnya mengembangkan pemikiran-pemikiran teoretis tanpa menjadikan pemikiran orang lain sebagai pijakan awal, kecuali kamu jenius tingkat dewa. Maka berangka dari studi historis, termasuk untuk hal-hal teoretis, misalnya “Asal-usul Kehendak Manusia berdasarkan Pemikiran Immanuel Kant,” akan menolongmu karena ia memberikan pijakan awal sambil memungkinkan kamu mengembangkan spekulasi-spekulasi teoretis di bab-bab lanjutan dan tanpa mengurangi bobot utama tesis itu sendiri.
Lama versus kontemporer? Lama. Eco memaksudkan “lama” bukan sebagai “jadul” atau “antik,” melainkan bahwa topik tersebut telah banyak dikaji oleh studi-studi lain. Tesis tentang hal-hal kontemporer menurutnya akan selalu lebih sulit dibanding topik lama yang kajiannya sudah solid, oleh sebab daftar bibliografi yang lebih tipis dan sumber data dan bacaan yang lebih sulit dicari. Topik soal arsitektur Andro Kaliandi, misalnya, akan lebih menyulitkanmu karena sekalipun karir Andro top dan karya-karyanya dahsyat (dan masih single), ia adalah sosok arsitek masa kini yang belum banyak dibahas. Otomatis, kamu harus bekerja ekstra untuk mengumpulkan data dan membangun pemikiranmu. Tapi tentu tak akan masalah jika kamu menyukai tantangan. Di sisi lain, tidak perlu pula cemas memilih topik-topik lama, meskipun terkesan usang dan membosankan. Topik tesis Karl Marx, misalnya, adalah tentang perbedaan pemikiran dua filsuf Yunani, Epikurus dan Demokritus. Studinya itu jadi modal ia mengembangkan pemikirannya mengenai materialisme.
Apa yang terjadi setelahnya, adalah sejarah.
Catatan: Bagian kedua tulisan ini akan diterbitkan bulan September oleh sebab saya mau memikirkan judul tesis dulu. Harap maklum.
Photo Courtesy: Author’s Collection
[…] lalu, saya mengulas buku Umberto Eco How to Write a Thesis. Ia sesungguhnya buku lama. Terbit pertama kali dalam bahasa Italia pada 1977. […]