Ketika saya diterima di Kampus Ganesha, Bandung, hal yang pertama terpatri di otak saya adalah bagaimana saya bisa mendapatkan sebanyak dan seberagam mungkin pengalaman dengan titel saya sebagai seorang mahasiswa. Alasannya sederhana, waktu saya menjadi mahasiswa itu terbatas sehingga saya mau memanfaatkannya semaksimal mungkin.
Salah satu pengalaman yang paling berkesan, dan paling saya syukuri, dalam hidup saya adalah ketika saya mengikuti program pertukaran pelajar ke Shanghai, China, melalui AIESEC di kampus saya. Pertukaran pelajar dari AIESEC ini cukup unik karena tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk melakukan kegiatan volunteer di negara tujuan, bukan untuk belajar di kelas. Semangat yang ditularkan adalah agar anak muda bersama-sama membangun dunia dengan melakukan pertukaran budaya. Saya mengikuti program Explore China at Shanghai International Studies University yang membawa misi untuk mengenalkan budaya China ke orang asing. Saat itu saya menjadi volunteer di Minsheng Art Museum dan Hanlin Bian’e Museum.
Pengalaman pertukaran pelajar semasa kuliah ini merupakan salah satu momen paling penting di hidup saya. Oleh karena itu saya ingin sekali menularkan semangat yang sama ke teman-teman yang lain. Pada paragraf-paragraf di bawah ini, saya akan menjelaskan 5 alasan mengapa mengikuti pertukaran pelajar ketika masih kuliah itu sangat penting untuk pengembangan diri teman-teman.
1.Keluar dari rutinitas kuliah di negeri sendiri
Rutinitas kuliah di Indonesia bisa jadi sangat mudah ditebak. Pilihannya antara pergi ke kelas, ke lab, atau ke sekretariat organisasi. Saat awal-awal saya berkuliah di kampus gajah, kegiatan saya banyak diisi dengan menjadi panitia kegiatan kampus, selain tentu saja untuk belajar. Momentum saya muncul ketika AIESEC membuka sebuah stand di dekat kantin. Buat yang belum tahu, AIESEC (Association Internationale des Etudiants en Sciences Economiques et Commerciales) adalah organisasi mahasiswa terbesar di dunia, yang tersebar di lebih dari 100 negara di dunia. Saya sendiri sangat tertarik dengan konsep melakukan kontribusi sosial untuk menyebarkan perdamaian dunia dengan memahami dan merasakan budaya baru. Dan tanpa berpikir panjang, saya langsung mendaftarkan diri untuk ikut seleksi AIESEC.
Benar saja, kegiatan pertukaran pelajar selama 2 bulan yang saya ikuti sangat menyegarkan otak dan memberikan saya perspektif lain bahwa sebetulnya masih banyak hal yang bisa saya lakukan selain ikut kepanitiaan dan belajar di 4 tahun perkuliahan tahap sarjana yang singkat. Sangat banyak wadah pengembangan diri yang bisa diikuti. Bahwa berkuliah itu bukan terbatas di Kampus Ganesha yang padat, tapi berkuliah berarti memaksimalkan kesempatan yang datang untuk mendapat pelajaran yang sebesar-besarnya.
Di sisi lain, pengalaman bertukar pikiran dengan mahasiswa dari berbagai belahan dunia yang lain juga sedikit banyak membuka mata saya mengenai sistem pendidikan di negara-negara lain. Seorang teman saya dari Mesir menceritakan bagaimana modern-nya sistem pendidikan di sana yang mengacu banyak ke kurikulum Amerika, dan bagaimana mahasiswa di sana diarahkan untuk lebih banyak ikut proyek-proyek sosial. Tentu berbeda dengan di Indonesia yang masih fokus dengan kegiatan internal kampus.
2.Jejaring internasional yang bisa menjadi teman seumur hidup
Mengikuti program pertukaran pelajar juga berarti menemukan banyak teman baru. Program pertukaran yang saya ikuti di Shanghai ini diikuti oleh kurang lebih 8 partisipan. Ada yang dari Belanda, Brazil, Korea Selatan, India, Singapura, dan bahkan sesama orang Indonesia!
Sewaktu mengikuti program, kami semua tinggal di sebuah hostel yang sama selama 2 bulan. Namanya Blue Mountain Hostel Shanghai. Hostel tersebut memang biasa ditempati oleh orang-orang yang ikut program yang sama dengan kami. Keharusan untuk bertemu setiap hari selama program, aktivitas kami selama di hostel, dan perasaan senasib sepenanggungan untuk bertahan di negeri orang membuat kami menjadi sangat dekat dan berteman dengan baik hingga sekarang.
Jejaring dan ikatan semacam ini yang sulit kalian temukan di Indonesia dikarenakan kesempatan yang terbatas dan juga tentu saja tekanan yang berbeda dari lingkungan sekitar. Tidak ada yang tahu kan kalau justru jejaring internasional ini yang akan membantu urusanmu di masa mendatang? Minimal kalau mau traveling, jadi punya teman untuk disinggahi.
3.Membuka wawasan
Pertukaran pelajar merupakan ajang mengenal dan memperkenalkan budaya-budaya yang ada di dunia. Saya sebagai representatif dari Indonesia tentu harus mengenalkan Indonesia yang ramah dan santun ke teman-teman saya. Saya juga mendapat banyak ilmu (dan bahkan cinderamata) dari teman-teman saya yang berasal dari negara lain. Juga tentu saja, saya jadi tahu banyak mengenai budaya dan keragaman di China.
Contoh yang paling membuka mata saya adalah ketika saya baru tahu bahwa pemerintah China memiliki jaringan restoran makanan halal yang tersebar di berbagai kota di China. Koki dan pelayannya pun orang muslim China semua! Mereka selalu tersenyum jika melihat sesama muslim datang. Rasa yang enak dan harga yang murah juga mendorong orang non-muslim China datang ke restauran ini. Hal ini tentu jarang sekali dibahas di media yang ada di Indonesia.
Contoh lainnya adalah orang China itu ternyata rata-rata punya nama alias. Mereka bilang bahwa nama mereka sulit diucapkan orang asing, sehingga ketika sudah beranjak dewasa, mereka memilih nama barat mereka sendiri. Yang paling saya ingat, teman saya memilih nama “Yellow” karena dia senang dengan warna kuning.
Masih banyak lagi hal-hal aneh bin ajaib yang membuka wawasan kita mengenai dunia luar. Wawasan-wawasan yang bisa kita pelajari untuk kita terapkan nanti di Indonesia.
4.Menemukan jati diri
Alasan nomor 4 ini yang menjadi salah satu titik balik terpenting dalam kehidupan saya. Sebelum saya ikut program pertukaran pelajar ke China, saya pernah mengikuti program serupa di masa SMA ke Australia. Namun bedanya di SMA itu saya tinggal di keluarga angkat yang memperlakukan saya layaknya anak sendiri. Sehingga, saya tetap merasa berada di ‘rumah’.
Di Shanghai, saya dituntut untuk menjadi independen. Saya harus menyelesaikan semua masalah saya sendiri, karena mau bergantung ke siapa lagi? Meski saya mengikuti program, saya hanya diberi pelatihan di awal, namun selanjutnya saya harus melakukan kegiatan yang dijadwalkan seorang diri. Buddy (teman saya dari AIESEC Shanghai) hanya datang sesekali untuk mengecek, bukan menemani.
Alhasil, saya yang buta aksara mandarin ini dipaksa untuk melebur menjadi warga lokal. Saya harus pergi ke tempat makan warga lokal dengan menu berbahasa Mandarin dan pemilik restauran yang tidak mengerti bahasa inggris, saya harus menawar di pasar tradisional menggunakan kalkulator dan bahasa tubuh, saya harus berinteraksi dengan bos di tempat saya menjadi volunteer menggunakan google translate, saya harus meminta maaf pakai bahasa Mandarin seadanya ke supir bus yang marah karena saya membuat dia telat, dan masih banyak pengalaman lain yang menarik.
Kejadian-kejadian itulah yang membuka mata saya mengenai siapa saya sebenarnya. Saya kira dulu saya adalah seorang perencana detail, namun ketika sampai di Shanghai ternyata itu malah menjadi kelemahan saya. Saya kira dulu saya orang yang penakut, ternyata saya cukup berani untuk jalan-jalan ke kota kecil di negara asing seorang diri. Saya kira saya orang yang kaku dan tidak mudah menerima perbedaan, nyatanya saya bisa berteman dengan baik dengan orang-orang yang berbeda latar belakang, mencoba makanan aneh, bahkan mengunjungi tempat-tempat yang tidak mungkin saya kunjungi di Indonesia.
Semua penyadaran diri ini muncul hanya karena saya mengikuti sebuah program pertukaran pelajar. Bayangkan jika dulu saya tidak jadi berangkat, mungkin sampai saat ini saya tidak bisa mengenali diri saya yang sebenarnya.
5.Mendapatkan inspirasi dari negara lain
China, khususnya, benar-benar terkenal dengan kreatifitasnya yang luar biasa, kadang malah kita sendiri takjub dengan barang-barang buatan China. Di Shanghai lah pertama kali saya melihat pengendara motor yang pakai sarung tangan yang menyerupai sarung tangan untuk memasak. Katanya, ampuh untuk menahan angin. Ternyata benar saja, 5 tahun kemudian saya melihat barang yang sama dipakai oleh pengendara motor di Indonesia!
Contoh lainnya, musim dingin di Shanghai lumayan menusuk karena menyentuh 0 derajat. Ketika saya jalan-jalan ke negara lain di musim dingin, kedai minuman biasanya menjual minuman panas mendidih, sehingga jika kita mau minum ya tunggu agak dingin dulu. Di China, kedai minuman itu menjual minuman hangat. Jadi, pas beli bisa benar-benar langsung diminum. Inovasi sederhana yang sangat tepat sasaran.
Sebenarnya, satu pengalaman yang paling menginspirasi saya soal bagaimana sebuah negara, yang dari segi ukuran dan jumlah penduduk sangat masif, ternyata bisa maju, adalah ketika saya mengunjungi rumah buddy saya di sebuah kota kecil bernama Xin’an River. Kota ini bukan Xi’an yang notabene masih salah satu kota wisata di China. Kota Xin’an River berukuran kecil, dimana kita masih bisa lihat penduduknya menggunakan air sungai Xin’an untuk kebutuhan sehari-hari. Awalnya, saya skeptis soal kota ini karena saya sering baca di berita bagaimana menderitanya orang-orang China yang tidak tinggal di kota besar. Namun, ternyata saya salah.
Tata kota, sistem transportasi, dan sistem pendidikannya lebih canggih dari Jakarta! Tata kota Xin’an River sangat cantik. Ada jembatan pelangi yang menjembatani kedua sisi kota yang dibelah sungai. Di pinggir sungai ada deretan pertokoan dan juga semacam teras besar tempat orang bersantai menikmati makanan dan indahnya pinggiran sungai. Daerah perumahan dan daerah bisnis memiliki batas yang jelas, sehingga daerah perumahan sangat kondusif dan nyaman untuk ditinggali.
Kota sekecil Xin’an River memiliki sistem bus yang rapi, jadi setiap orang hanya bisa berhenti di halte tertentu. Di sisi lain, Xin’an River memiliki sekolah-sekolah yang sangat besar (luas tanahnya mencapai beberapa hektar) dengan adanya kolam renang di setiap sekolahnya. Kata Sherry, buddy saya, pemerintah memang mengatur agar setiap sekolah mendapat fasilitas yang sama.
Pengalaman singkat selama kurang lebih 3 hari itu lah yang membuat saya lebih bersemangat lagi untuk berkontribusi untuk Indonesia yang lebih baik di masa mendatang. Karena jika mereka bisa, kenapa Indonesia tidak?
Selain alasan-alasan di atas, tentu saja masih banyak alasan lain mengapa ikut pertukaran pelajar ketika masih kuliah dapat menjadi poin penting untuk pengembangan dirimu! Di sela-sela program, kamu bisa mengunjungi berbagai tempat wisata di negara tujuan, menikmati kulinernya, dan tentu saja membeli barang-barang unik yang tidak ada di Indonesia. Semoga artikel ini bisa menyemangati teman-teman yang ingin mengikuti pertukaran pelajar ya! Selamat mengglobal, teman-teman setanah-airku!
Menarik dan bermanfaat sekali mas artikelnya. Terima kasih ya.
Kayanya asik ya bisa nambah2 pengalaman 😀
Nutrisi Anak
Volunteer ini self funded kah?
How to join?