Setiap negara tentu memiliki kebiasaan unik tersendiri, begitu halnya dengan negeri sakura. Kontributor kami, Ardhina Mulya Lalita, bercerita tentang pengalamannya bersinggungan dengan konsep wasuremono gakari dan kejujuran orang Jepang.
Hampir setahun saya tinggal di negeri sakura, hampir setahun pula saya terus berdecak kagum dengan keistimewaan yang dimiliki oleh negara ini. Selain kedisiplinan terkait dengan ketepatan waktu, etos kerja dan kemauan belajar, satu hal yang saya amati lekat dengan masyarakat ini adalah kesadaran kolektif mengenai pentingnya menaruh sesuatu pada tempatnya. Hal tersebut diwujudkan salah satunya melalui sistem lost and found yang terorganisasi dengan baik dan dipatuhi oleh kebanyakan masyarakat.
Bukan hal aneh apabila mahasiswa seperti kami meninggalkan ponsel, dompet atau bahkan kartu mahasiswa kami di tempat-tempat yang tak terbayangkan. Toilet, bus, ruang kelas, atau bahkan restoran di pusat kota bisa jadi tempat kejadian perkara. Saya dan beberapa teman sesama mahasiswa di sekitar saya contohnya, sudah beberapa kali mengalami kehilangan dan terselamatkan oleh sistem lost and found tersebut. Seringkali, kami kehilangan barang di toilet. Ketika sudah sampai kelas dan duduk mendengarkan dosen, barulah si pemilik barang tersadar bahwa barangnya sudah tidak ada dalam radar jangkauan. Dalam banyak kasus, barang tersebut sudah tidak dapat ditemukan di tempat pertama kita meninggalkan. Jika begitu, pemilik akan datang ke wasuremono gakari. Wasuremono gakari biasanya berupa ruangan atau counter kecil yang berfungsi sebagai lost and found yang bisa didatangi di hampir setiap gedung atau institusi.
Lalu apa yang membedakan wasuremono gakari dengan sistem lost and found lainnya di luar Jepang? Bukan dari sistem lost and found-nya, sebetulnya. Lebih kepada sikap masyarakatnya yang tidak enggan untuk mengembalikan barang yang tertinggal di tempat tertentu dan langsung menyerahkannya ke wasuremono gakari. Kebiasaan tersebut seakan sudah melekat pada keseharian mereka.
Pentingnya memiliki kesadaran itu juga disampaikan kepada kami, para murid internasional yang tengah menimba ilmu di Jepang. Selama pekan orientasi awal, kami diberi penjelasan mengenai wasuremono gakari di Jepang, dan didorong untuk melakukan hal yang sama; untuk datang ketika menemukan barang tertinggal atau mencari barang pribadi yang hilang. Pada semester awal kelas Bahasa Jepang pun, dirancang satu bab khusus untuk mengajarkan kami, murid internasional, segala kemungkinan yang akan kita hadapi ketika kehilangan barang. Mulai dari ke mana kami harus pergi, kosa kata atau frase penting yang harus kami ketahui, formulir seperti apa yang harus kami isi, hingga urgensi mengembalikan barang yang terlihat ditinggalkan oleh pemiliknya kepada penjaga wasuremono gakari, sistem dan proses yang harus kami lalui ketika kehilangan barang, dan lain sebagainya.
Lalu apa sebenarnya imbalan dari hal baik tersebut? Guru Bahasa Jepang saya pernah menyampaikan bahwa ada sebuah peraturan yang tak tertulis bagi orang yang kehilangan dompetnya. Ketika dompetnya hilang dan ditemukan kembali oleh seseorang kemudian dikembalikan ke wasuremono gakari atau kantor polisi, orang yang memiliki dompet dianjurkan untuk memberikan sepuluh persen dari isi dompet kepada penemu dompet tadi. Misalnya dompet saya berisi Rp. 1.000.000,00 di saat saya kehilangannya. Saat saya menemukannya kembali di wasuremono gakari berkat diantarkan oleh seseorang, saya dianjurkan untuk memberikan Rp. 100.000,00 kepada orang yang sudah menemukan dan mengantarkan dompet saya ke wasuremono gakari terdekat. Meskipun hal tersebut tidak wajib tapi budaya ‘terima kasih’ tersebut nyata dan dilakoni oleh masyarakat setempat.
Pengalaman pribadi saya, saya pernah kehilangan ponsel pintar di stasiun Hakata, Fukuoka. Tepatnya di toilet, tepat di atas wastafel. Belum 1 menit saya meninggalkan toilet, saya menyadari bahwa ponsel saya sudah tidak ada di dalam saku baju ataupun tas saya. Saya akhirnya kembali menuju ke toilet dan tidak mendapati siapapun di sana. Ponsel saya pun sudah tak terlihat lagi keberadaannya. Saya kembali ke luar, sampai seorang ibu paruh baya mendekati saya, bertanya “Keitai? (Ponsel?)” saya langsung antusias mengangguk dan bertanya apakah dia melihat pnsel saya. Ia menunjuk konter biru di tengah ruangan dengan seorang penjaga berdiri penuh senyum di balik meja. Saya kemudian menuju ke sana dan menanyakan ponsel saya, yang tidak lama kemudian diambil oleh petugas dari loker khusus di belakangnya dan ditunjukkan kepada saya. Setelah saya mengisi form pengambilan berisi nama, alamat dan nomor ponsel, saya diminta untuk membuka kunci ponsel saya, memastikan bahwa itu benar kepemilikan saya. Karena itu memang milik saya, saya bisa membuka finger lock.
Beberapa teman saya pun mengalami hal yang sama. Dua kemungkinan yang akan terjadi, setiap kali barang yang tertinggal tersebut didatangi kembali ke tempat semula, barang tersebut sudah menghilang dan berpindah tempat ke wasuremono gakari. Atau, ada pula cerita, barang tersebut tidak sesenti pun bergerak dan masih aman di tempat si empunya meninggalkan meski banyak orang berlalu lalang.
Kesadaran mengenai kepemilikan barang dan keharusan menempatkan sesuatu pada tempatnya ini teraplikasikan pula dalam setiap transportasi umum, sebelum berhenti di halte atau stasiun, bus dan kereta akan memberikan peringatan “hati-hati jangan meninggalkan barang anda” kepada penumpangnya.
Hasil dari seluruh kesadaran tersebut, salah satunya adalah rendahnya tingkat kejahatan. Meski Jepang merupakan salah satu negara dengan tingkat kejahatan terendah di dunia, kita harus tetap waspada dan menjaga barang-barang milik kita. Sistem pengaturan kasus kehilangan barang menurut saya sudah teramat bagus di Jepang, dan sikap seperti ini sudah masuk ke daftar hal-hal yang akan saya terapkan bagi diri saya pribadi, ataupun lingkungan tempat tinggal saya ke depannya.