Saat berada di luar negeri, tentunya kita ingin mengabadikan momen-momen berharga dan membagikannya di media sosial. Itu wajar. Tapi apakah kalian sadar, mungkin di foto-foto yang kalian bagikan di internet, ada wajah atau informasi orang lain yang mungkin sebenarnya tidak mau atau tidak suka data dirinya dijadikan komoditas publik. Di artikel ini, Suci Ariyanti berbagi pengalaman dan pelajaran tentang privasi yang ia dapatkan saat berkuliah di Swedia. Semoga pengalaman Suci bisa membuka mata kita tentang pentingnya melindungi data pribadi kita dan menghormati data pribadi orang lain.
***
Dunia media sosial sempat geger dikarenakan kasus Facebook dan Cambridge Analytica beberapa tahun lalu. Saat itu, kedua perusahaan ini diduga menggunakan data pribadi para pengguna Facebook dan memanfaatkannya dalam strategi terstruktur untuk memenangkan kontes politik dalam perebutan kursi presiden, tanpa seizin para individual yang memiliki data tersebut.
Saat itu saya sedang berada di Indonesia. Tren media sosial, khususnya di kota-kota besar, sudah bergeser dari Facebook ke Instagram. Banyak orang berlomba-lomba membagikan aktivitas kesehariannya. Baik berupa foto dengan pose cantik kala berwisata, ataupun menunjukkan skill masing-masing dalam memotret sebuah obyek.
Memiliki akun di hanya satu platform media sosial rasanya tidak cukup. Saya salah satunya, pengguna aktif di lebih dari tiga platform media sosial. Tapi kasus Facebook dan Cambridge Analytica terdengar hanya sekelebat di telinga saya.
Melanjutkan kuliah ke Swedia, saya mulai aktif dan intensif membuat berbagai macam video di YouTube. Video tutorial beasiswa, video jalan-jalan, video beraktivitas sehari-hari, video sendirian, dan tentunya, video bersama orang lain. Sampai di suatu ketika, salah satu kerabat terdekat menegur saya. Ia, yang adalah orang Indonesia, meminta video saya yang menampilkan istri dan anaknya, yang adalah orang Swedia, untuk dihapus. Permintaan tersebut datang dari istrinya, ia sebenarnya hanya menjadi perantara.
Lalu saya pun bertanya-tanya, salah saya dimana?
Pentingnya Meminta Izin
Sering rasanya di Indonesia, saya berceloteh kesal ketika teman saya meng-upload foto kami berkumpul bersama dan yang terlihat cantik hanya dia saja. ”Wajar, kan itu akun instagram dia sendiri” gumam saya. Sering juga rasanya di Indonesia, saya kesal ketika banyak nomor-nomor asing tidak dikenal menelepon saya di berbagai macam waktu. ”Palingan kartu kredit lagi” ujar saya sambil memencet tombol tolak panggilan.
Semua kekesalan ini tebersit lagi di benak saya ketika saya sadar, bahwa rasa kesal itu valid, punya hak untuk disuarakan, dan dilindungi oleh hukum di Eropa. Cerita permintaan video dihapus di atas menjadi awal bagi saya untuk memahami lebih jauh budaya Eropa terkait publikasi data pribadi di media sosial.
Teknologi berkembang sangat pesat. Wajah, sidik jari, bahkan retina, semuanya terekam dalam bank data digital untuk beragam transaksi kehidupan sehari-hari. Media sosial menjadi salah satu ladang dimana setiap orang dapat membagikan informasi dirinya di khalayak ramai.
Melalui observasi saya pribadi, banyak teman dan kerabat asli Eropa di sekeliling saya yang tidak merasa nyaman, dan tidak merasa aman, untuk membagikan data-datanya di media sosial. Dan itu sah saja. Saya kemudian mengerti, bahwa kuncinya adalah meminta izin sebelum membagikan hal-hal yang berisi bagian dari orang tersebut. Ketika mereka memperbolehkan, maka lanjutkan. Kalau tidak, maka jangan. Kalau kamu tetap melanjutkan, bersiap saja untuk kehilangan pertemanan. Karena mereka akan berfikir bahwa kamu tidak dapat menghargai ruang pribadi orang lain.
GDPR Eropa vs RUU PDP Indonesia
Tentunya, Eropa merupakan sebuah benua yang besar dengan berbagai macam negara dan budaya yang berbeda dari ujung utara ke selatan. Lalu kemudian komisi Uni Eropa menyadari bahwa hak asasi manusia terkait data milik mereka pribadi harus dilindungi sejalan dengan pesatnya perkembangan teknologi.
General Data Protection Regulation (GDPR) merupakan regulasi terkait perlindungan privasi dan data pribadi di negara Uni Eropa, yang ternyata aplikasinya juga menjangkau negara-negara lain terkait bisnis yang mungkin beroperasi di negara lainnya.
Penerapan perlindungan data pribadi tertuang dalam peraturan GDPR yang resmi diberlakukan pada Mei 2018. Teknisnya, setiap kegiatan apapun yang bersifat komersial dan memiliki rekaman visual dan data mewajibkan persetujuan dari sang subyek data (orang yang hadir harus memberikan tanda tangan persetujuan formulir.)
Di Indonesia, pembahasan mengenai data pribadi sesungguhnya sudah dibahas dan dilindungi dalam berbagai lapisan pasal di undang-undang spesifik tentang HAM, ITE, Perbankan, Kesehatan, dan bahkan KUHP. Semua pecahan undang-undang tersebut rencananya akan dirangkum secara umum dalam sebuah Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (atau dalam proses pengesahan disebut sebagai RUU PDP) oleh Kementerian Kominfo saat ini.
Dari sisi GDPR, salah satu pengecualian yang tertulis dalam regulasi adalah GDPR tidak berlaku pada kegiatan yang sifatnya non-komersial. Berarti, GDPR tidak akan melindungi aktivitas yang sifatnya pribadi antara orang yang bukan kepentingan bisnis.
Jadi kalau ada teman Eropa yang marah karena misal foto dirinya saya upload ke sosial media tanpa izin, sebenarnya dia tidak akan bisa menuntut saya. Karena aktivitas yang saya lakukan bersifat pribadi, bukan komersial. Namun, penting untuk dipahami, bahwa poin dari regulasi-regulasi ini adalah untuk menyadari pentingnya menjaga data pribadimu, dan belajar menghargai privasi orang lain.
Berbeda tapi tetap satu jua
Saya selalu percaya, bahwa pergi kuliah keluar negeri bukan hanya semata-mata menimba ilmu di kampus, tapi tentang bagaimana kita belajar memperkaya kehidupan sosial. Belajar membuka mata tentang banyaknya perbedaan di muka bumi ini dan menghargainya.
Mengutip dari RUU PDP, ”…Pergaulan internasional Indonesia turut menuntut adanya pelindungan atas Data Pribadi. Pelindungan tersebut dapat memperlancar perdagangan, industri, investasi yang bersifat transnasional.” Bahkan di level negara saja peduli loh sama yang namanya pergaulan internasional! Ditambah lagi dengan cepatnya perkembangan teknologi saat ini, kejahatan bisa datang dari berbagai sudut bumi.
Maka, regulasi perlindungan data pribadi ini ada di skala global sebagai salah satu pemenuhan hak asasi manusia. Penting bagi kita di level individu menyadari bahwa – sekalipun berbeda ras, budaya, agama – pada akhirnya kita semua tetap sama. Sama-sama manusia, yang memiliki hak untuk dilindungi privasinya.
Saya yakin, belajar untuk menghargai hak orang lain adalah kunci dalam semua aspek sosial, termasuk saat bersosialisasi dengan teman mancanegara saat studi di luar negeri. Hingga saatnya pulang tiba nanti, kita sudah mampu menyaring dan membawa hal baik yang dapat dibagikan, dan diaplikasikan di tanah air tercinta – Indonesia.
***
Foto-foto disediakan oleh Penulis