Memulai karir di negara baru bisa menjadi sebuah pengalaman yang sulit. Hal itulah yang dialami oleh Kontributor Indonesia Mengglobal Amarilla Nirmala. Berbekalkan gelar S2 dari Northumbria University dan pengalaman kerja di Oxford, ia pun mengalami kesulitan untuk memulai karir dan beradaptasi di Vienna, Austria. Namun, bermodalkan kegigihan dan kemauan untuk membangun hubungan dengan para profesional muda lainnya, pada tahun 2018 ia dan rekan-rekannya membangun sebuah startup dengan misi sosial: membantu para wanita pendatang di Vienna untuk memulai bisnisnya sendiri. Yuk, kita saksikan cerita Amarilla yang sangat inspiratif ini!
***
“Wah enak banget ya tinggal di Eropa”
“Iih lo sih enak tinggal disana…”
Kalimat-kalimat di atas adalah beberapa komentar dari teman dan kerabat yang baru tahu bahwa sudah lebih dari 12 tahun saya menetap di luar negeri.
Ya, saya lulus S2 jurusan Design Management dari Notrhumbria University, di sebuah kota di bagian utara Inggris, Newcastle Upon Tyne pada tahun 2008. Setelah selesainya perkuliahan, saya cukup beruntung langsung mendapat pekerjaan di kota Oxford.
Walau begitu, perjalanan karir saya tidak selamanya mulus. Tahun 2011, saya dan suami memutuskan untuk pindah dari Inggris Raya ke Austria, dengan alasan suami mendapat tawaran pekerjaan di kota kelahirannya ini. Dengan berbekal ijazah S2 dan pengalaman internasional, saya kala itu optimis dapat langsung ‘menaklukan’ Vienna, mengingat ukuran kotanya yang lebih kecil dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya.
Apa susahnya sih dapat kerja di Vienna? Begitu pikir saya.
Eksplorasi diri di tiga negara
Tak disangka, saya membutuhkan delapan bulan lamanya untuk mendapatkan pekerjaan pertama saya di Vienna, yaitu di IAEA, sebuah lembaga energi atom dibawah PBB. Delapan bulan mungkin bukan waktu yang lama bagi orang lain, tetapi bagi saya waktu itu terasa sangatlah kritis. Sebagai pendatang, perasaan terisolasi sungguh mencekam, tidak mempunyai teman, dan juga belum menguasai bahasa Jerman. Hari-hari terasa sepi dan suram, terlebih lagi ditambah perubahan drastis dalam kemandirian finansial, hingga perasaan tidak berguna saat kotak surel dipenuhi ratusan penolakan dari perusahaan perusahaan yang saya lamar.
Bahkan setelah mendapatkan kerja, ternyata perasaan itu tidak juga membaik, karena lalu faktor kesepian menjadi poin kedua. Hingga di suatu titik saya tidak menyukai Vienna, yang padahal dibangga-banggakan sebagai kota berperingkat pertama dalam kualitas hidup.
Akhirnya, selepas dari IAEA saya berpindah kerja ke Jakarta, yang lalu membawa saya pada kesempatan lainnya, yaitu membawahi satu divisi di sebuah institusi di Dubai, Uni Emirat Arab.
Permulaan baru di Vienna
Dari Dubai, saya pun diharuskan balik ke Vienna, Austria, karena anak kami akan mulai masuk sekolah dasar, dan kami menyepakati untuk menyekolahkannya dengan sistem pendidikan Austria. Tahun 2017 saya memulai kembali memanggil kota Vienna ini sebagai rumah, bukan lagi tempat transit sebelum berpindah negara.
Dengan berkaca pada pengalaman buruk di tahun 2011, saya lalu menganalisa poin-poin kegagalan terdahulu, lalu mengaplikasikan beberapa strategi agar tidak lagi membuang waktu. Dan benar saja, saya hanya membutuhkan waktu sebulan untuk mendapat pekerjaan baru, dan juga mulai mempunyai teman-teman baik di Vienna.
Tak sengaja, di akhir tahun 2017 saya berkenalan dengan seorang konsultan yang mengamini apa apa yang saya rasakan dahulu sebagai perempuan pendatang di Austria. Kami berpendapat bahwa di luar sana pasti banyak perempuan lain yang merasakan kesulitan yang sama.
Berbekal mimpi untuk saling membantu lainnya, maka di bulan Januari 2018, kami sepakat membuat KulturenReich, yaitu usaha sosial yang fokus membantu perempuan pendatang di Vienna.
Mengembangkan startup dengan misi sosial
Saat itu saya masih bekerja full time di sebuah perusahaan sebagai Regional Marketing Manager yang bertanggung jawab akan 10 negara, dan pada saat yang sama KulturenReich beruntung masuk ke dalam inkubator Playpark – Interreg Uni Eropa. Tanggung jawab untuk menyeimbangkan semua hal dalam waktu yang bersamaan ini, seperti mimpi-mimpi wirausaha, tugas kantor, menjadi ibu yang baik, serta menjalani kehamilan kedua merupakan sebuah tantangan terbesar bagi saya.
Walaupun begitu, dengan KulturenReich, saya banyak belajar banyak hal, melihat berbagai fragmen kehidupan sekitar kita, dan hal ini membuat saya merefleksi diri mengenai apa-apa yang penting dalam hidup. Terkadang kita terlalu sibuk mengejar ambisi sehingga lupa untuk berbagi, lupa untuk beristirahat, lupa untuk melihat sekitar, dan seterusnya.
Maka di tahun 2019 saya mantap untuk pindah jalur ke dunia wirausaha sosial. Di tahun ini juga kami menjadi partner resmi Vienna Business Agency dalam beberapa acara pengusaha wanita, masuk ke dalam inkubator Deloitte Austria – Impact Hub, menjalin kerjasama dengan INiTS, inkubator startup teknologi nomor satu terbaik di negara-negara Eropa berbahasa Jerman. KulturenReich juga membawa Startup Weekend pertama kalinya ke Austria dan membuka chapter kedua yaitu di kota tetangga Graz, memberikan workshop ke negara Balkan, dan sekitar, serta beberapa catatan lainnya yang cukup membanggakan.
KulturenReich fokus akan pemberdayaan perempuan, menguatkan mereka di saat sulit, memberi dukungan, serta komunitas yang suportif. Kami mengadakan workshop profesional, networking events, mentoring, dan focus groups. Tidak hanya untuk wanita pengusaha tetapi juga para profesional yang membutuhkan pengembangan diri.
Pada perjalanannya dari 2018 ke 2020, kami merasa bahwa sudah saatnya berkembang secara inklusif, tidak lagi fokus pada perempuan pendatang, tapi pada semua perempuan tak terkecuali. Maka di tahun 2020 KulturenReich berganti nama menjadi WeDO5. Angka 5 dipilih dari poin kelima butir-butir Social Development Goals yang dicanangkan oleh PBB, yaitu kesetaraan gender.
Maret 2020 yang lalu, WeDO5 merupakan salah satu organisasi yang diundang untuk menghadiri Hari Perempuan Internasional di gedung kepresidenan Austria. Kami berkesempatan menjelaskan usaha sosial ini dan mimpi-mimpi akan kesempatan yang merata bagi perempuan.
Mewujudkan mimpi misi sosial
Mengenai motivasi dan kemantapan berwirausaha sosial, tidak dipungkiri dari pertemuan saya dengan Kate Raworth, seorang dosen dari Universitas Oxford yang mencetuskan pemikiran akan Doughnut Economics, sebuah pemikiran akan bagaimana bisnis harus merubah fokus mereka di abad ke-21 ini. Dengan populasi manusia yang banyak, dan kekayaan alam yang menipis, kita harus memahami kembali apa itu ekonomi dan apa yang harus dilakukan. Apakah usaha yang kita jalankan membawa kerusakan pada bumi?
Apakah usaha kita memberi kebaikan bagi sesama? Pemikiran pemikiran seperti yang harus mulai ditanamkan agar suatu usaha dapat berkelanjutan di tahun tahun berikutnya.
Setelah malang melintang mencari arti kesuksesan lewat jabatan, gaji, dan jadwal dinas luar negeri, saya akhirnya menemukan WHY untuk kehidupan profesional. Saya ingin meninggalkan legacy atau warisan.
Jika bahkan hanya satu perempuan yang merasa optimis, terbantu, dan berjuang terus menjadi maju karena usaha sosial ini, maka itulah poin kesuksesan saya.
Dengan memberdayakan perempuan, kita memberdayakan seluruh masyarakat, dan meningkatkan kualitas generasi penerus.
Melangkah kedepan
Saat ini saya tidak hanya aktif membesarkan WeDO5, tetapi juga membangun sebuah merek mode berkelanjutan (sustainable fashion), dan juga sedang mengembangkan sebuah platform jasa untuk target pasar DACH (Jerman – Austria – Swiss).Saya juga aktif menjadi micro mentor bagi para pengusaha kecil di pedesaan Indonesia.
Mari berbagi dan sama sama membuat dunia yang lebih baik.
***
Foto-foto disediakan oleh Penulis