“Sudah banyak cerita yang kita dengar dari mereka yang berkuliah di Auckland dan Wellington, tapi bagaimana dengan pengalaman studi di kota-kota lainnya di Selandia Baru?”
“Rasa penasaran ini menuntun saya untuk mewawancarai Amalia Sustikarini, Ph.D. Beliau adalah alumni University of Canterbury, di Christchurch, New Zealand. Tidak tanggung-tanggung, beliau menyelesaikan program Master of International Law and Politics (MILP) dan studi doktoral di bidang Political Sciences dari kampus yang sama dengan pendanaan dari New Zealand Development Scholarship untuk kedua jenjang tersebut. Simak hasil wawancara saya dengan beliau berikut ini.”
Mengapa memilih untuk berkuliah di University of Canterbury dan Selandia Baru?
Saya sebetulnya mencoba juga beberapa skema beasiswa dari negara-negara lain seperti Inggris, AS dan Australia. Tapi cerita seorang sahabat baik tentang kehidupan di Selandia Baru, terutama tentang alamnya dan lingkungannya yang multikultural, membuat saya jatuh hati dan secara sangat serius mempersiapkan untuk mendaftar beasiswa ke negara itu. Saya kemudian berhasil dan berangkat tahun 2007.
Untuk program kajian politik Asia Tenggara khususnya Indonesia, Selandia Baru memang belum semaju negara negara lain, khususnya Australia atau AS. Namun, saya berprinsip bahwa ilmu selalu berkembang dan kita bisa maju di mana saja kita belajar. Waktu mencari program studi yang cocok, kebetulan University of Canterbury menawarkan program yang sesuai minat saya dalam bidang politik dan hukum internasional dan saya mendapatkan pembimbing disertasi yang sangat baik dan supportive. Semua hal ini menjadi alasan saya untuk kembali apply beasiswa S3 di Selandia Baru dan di universitas yang sama pada tahun 2011.
Khusus untuk program S3, peran supervisor sangat penting, dan karena saya sudah bekerja sama dengan baik saat penyelesaian S2, saya memilih supervisor yang sama, yaitu Associate Professor James Ockey. Pada tahun 2011, Christchurch mengalami gempa bumi yang sangat besar dan merusak. Di awal saya sempat ragu ragu, apalagi saya berencana membawa anak saya. Akan tetapi, saya diyakinkan oleh supervisor bahwa proses studi tidak banyak terpengaruh dan lingkungan sekitar kampus juga cukup aman. Akhirnya saya memutuskan untuk tetap melanjutkan S3 di University of Canterbury.
Ketika pertama kali tinggal di Christchurch, kesan kuat apa yang dirasakan mengenai kota tersebut dan masyarakat sekitar?
Christchurch adalah kota terbesar di South Island, Selandia Baru, yang ideal bagi saya karena kotanya memiliki fasilitas lengkap dan menjadi hub South Island, tapi juga tidak terlalu ramai sehingga menciptakan situasi yang nyaman untuk belajar. Masyarakatnya cukup ramah terhadap pendatang, ikatan kekeluargaan antara sesama masyarakat Indonesia cukup kuat, dan perkumpulan pelajarnya juga saling mendukung.
Kesan lain yang saya sangat rasakan tentang komunitas di Christchurch adalah tingkat resiliensinya yang kuat karena kota ini mengalami beberapa kali bencana, seperti gempa bumi besar di tahun 2010 dan 2011 serta penembakan massal oleh teroris yang dilakukan di dua masjid pada tahun 2019. Selain kerusakan fisik, bencana ini tentu membawa dampak psikologis yang dalam pada komunitas di kota ini. Namun, masyarakat Christchurch tetap dapat menjalani proses rekonstruksi dan pemulihan trauma setelahnya dan malah mempererat kohesivitas sosial antara komunitas di sana.
Bagaimana gambaran kehidupan sehari-hari sebagai mahasiswi S2 dan S3 di Christchurch?
Terkait tempat tinggal, saya punya banyak pengalaman, mulai dari flatting di asrama mahasiswa, menyewa kamar di luar kampus dengan sesama orang Indonesia dan non-Indonesia, serta menyewa rumah bersama-sama teman dari Indonesia. Semuanya tentu ada kelebihan dan kekurangannya tapi semuanya adalah pengalaman yang menyenangkan. Saat menjalani studi S2, saya tinggal sendirian, tidak bersama keluarga, dan program studi saya relatif singkat dan cukup menyita waktu sehingga waktu lebih banyak saya habiskan untuk studi, di samping membantu beberapa acara PPI dan tentunya menikmati alam NZ bersama teman-teman.
Saat kuliah S3, ada tahun di mana saya tinggal sendiri dan tahun-tahun saya tinggal bersama anak lelaki semata wayang saya. Saat tinggal sendiri, saya cukup aktif di PPI Canterbury dan bahkan menjadi salah satu ketuanya (kami menganut sistem presidium dengan tiga ketua), menjadi kordinator PPI Selandia Baru dan ikut Kongres PPI Sedunia di Kuala Lumpur Malaysia. Sebagai informasi, kegiatan PPI Canterbury cukup beragam, seperti gathering secara berkala, pertunjukan budaya Indonesia, symposium hasil riset, dan acara jalan-jalan. Saya juga berkegiatan dengan sesama mahasiswa di kampus, misalnya, dengan menghadiri potluck lunch atau dinner serta presentasi riset dalam bentuk brownbag. Ada juga acara pengajian perempuan yang digagas oleh para pelajar Indonesia.
Saat tinggal bersama anak, saya tidak lagi aktif di kegiatan mahasiswa karena berkonsentrasi untuk kuliah dan merawat anak. Kala itu saya berusaha sangat disiplin membagi waktu dengan menulis tesis dari jam 9-15.00 saat anak saya di sekolah dan menghabiskan akhir pekan untuk berekreasi bersama anak. Selama dua minggu libur sekolah anak, satu minggu pertama biasanya saya habiskan dengan bertamasya bersama anak dan pekan berikutnya saya daftarkan anak ke holiday program agar saya tetap bisa menulis tesis. Singkatnya, saya berusaha membagi waktu sebaik-baiknya antara studi dan keluarga.
Yang pasti, setelah lulus S3 dan meninggalkan Christchurch, ada banyak hal yang saya rindukan, terutama pola hidup yang relatif laid back, jadwal yang teratur, dan kualitas lingkungan hidup yang sangat baik. Support system kelembagaan juga tersedia dengan lengkap sehingga memudahkan saat kita membutuhkan bantuan professional untuk kesehatan fisik atau psikis.
Bagaimana kehidupan beragama sebagai seorang Muslim di Christchurch?
Tidak ada masalah yang berarti dalam kehidupan saya sebagai muslim di Selandia Baru. Christchurch memiliki masjid, dan kampus menyediakan prayer room. Ada juga butcher yang menyediakan daging halal walau restaurant halal memang tidak terlalu banyak. Memang saya pernah mendapat perlakuan kurang baik saat S2, yakni diteriaki di jalan oleh anak-anak muda yang saya duga berkaitan dengan jilbab yang saya pakai. Tapi seiring berjalannya waktu, situasi membaik. Apalagi setelah kejadian terorisme di masjid di Christchurch tahun 2019, perhatian dan penghormatan terhadap Islam semakin baik.
Apa saja tantangan yang dialami selama bertahun-tahun menimba ilmu di sana?
Tantangan paling besar adalah menerapkan manajemen waktu secara efektif, terutama saat menjalankan S3. Saya juga sempat mengalami homesickness saat tinggal sendirian tanpa anak saya. Meski begitu, tantangan lebih besar justru saya rasakan saat saya harus melanjutkan menulis tesis di Indonesia karena beasiswa saya hampir habis dan saya kehabisan energi untuk membagi waktu antara bekerja full time, menulis tesis, dan mengurus anak. Akhirnya studi saya mengalami suspension cukup lama. Ketika situasi berangsur membaik, saya mengajukan permohonan untuk melanjutkan penulisan tesis, yang disetujui oleh pihak kampus dengan dukungan dari supervisor. Saat itu saya merasa bahwa kampus saya berlaku dengan sangat bijak dan manusiawi dan menjalankan keluhuran institusi pendidikan dengan memberi kesempatan bagi saya melanjutkan studi dan memahami kesulitan yang saya alami.
Adakah pesan singkat untuk teman-teman yang tertarik untuk studi di University of Canterbury atau yang ingin mencari beasiswa ke Selandia Baru secara umum?
Siapkan waktu yang cukup untuk melakukan riset tentang program studi, kehidupan di negara tujuan, calon supervisor, dan lain-lain. Banyak sekali informasi yang bisa kita dapatkan dari internet. Saya cukup banyak menerima pertanyaan tentang beasiswa atau studi ke NZ. Walau saya dengan senang hati menjawabnya, beberapa pertanyaan sebenarnya dapat dicari jawabannya di internet. Kemandirian, kemampuan riset, serta kemauan membaca akan sangat penting saat menjalankan studi di luar negeri.
***
Amalia Sustikarini, Ph.D adalah seorang Research Associate di CBDS Binus University dan Podcaster, serta Doktor dalam bidang Ilmu Politik dari University of Canterbury, New Zealand. Selain berpengalaman selama 10 tahun sebagai pengajar di Departemen Hubungan Internasional di FISIP UI dan Binus University, beliau menjadi peneliti studi studi konflik dan pembangunan perdamaian, demokratisasi, dan populisme, serta seorang pegiat agenda pluralisme dan toleransi.
Semua foto adalah dokumentasi pribadi Amalia Sustikarini, Ph.D