Menjalani hidup sebagai seorang difabel tidak pernah mudah. Selain kesulitan-kesulitan yang dihadapi selama berkegiatan, sering kali kaum difabel juga mendapat barier yang sangat besar dari lingkungan sekitar. Setidaknya itulah yang dialami Imam Kurniawan, seorang difabel yang kini tengah menjalani kuliah di New York University. Di artikel ini, Imam membagikan pengalaman pahit yang Ia lalui di masa lalu, hingga pada akhirnya Ia menemukan titik balik yang mengantarkannya kuliah di kota impiannya.
***
Saya terlahir sebagai seorang difabel. Namun, hal tersebut tidak menghentikan saya untuk memiliki impian. Sepanjang hidup, saya telah menjelajahi 17 negara berbeda seorang diri. Di antara semua tempat yang pernah saya kunjungi, hanya ada 3 tempat yang sampai saat ini bisa saya anggap sebagai home: Yogyakarta, Arizona, dan New York. Secara khusus, New York City adalah kota impian bagi saya, dan saya percaya bahwa semua orang, baik difabel maupun bukan, memiliki hak dan kesempatan yang setara untuk melakukan apa yang mereka impikan, termasuk untuk mengenyam pendidikan di salah satu kampus terbaik di dunia di kota New York.
Kita Sama di setiap Kesempatan yang Ada di Semua Belahan Dunia
Sebagai seorang difabel, saya telah melewati dua jenis pengalaman yang saling bertolak belakang: menyedihkan dan menakjubkan. Kekurangan yang saya miliki di tangan kiri saya jelas sekali terlihat. Setiap kali saya berjumpa dengan orang baru, pandangan mata mereka langsung tertuju kepada ketidaksempurnaan tangan kiri saya ini. Seperti yang banyak dialami oleh para kaum difabel, saya mengalami perundungan oleh teman – teman saya di SD hingga SMA, baik secara verbal dan nonverbal, yang berdampak negatif terhadap kondisi psikologis saya.
Satu hal yang pasti, untuk menjalani berbagai pengalaman yang tidak menyenangkan ini, saya memerlukan support system yang baik yang bisa memberikan saya semangat dan motivasi untuk melanjutkan hidup. Untungnya, keluarga saya di rumah selalu menjadi sumber perlindungan dan dukungan yang terbaik bagi saya, dan saya merasa ini merupakan sebuah privilege.
Memang, selama SD hingga SMA, hanya sedikit prestasi dan penghargaan yang saya bisa capai. Bahkan untuk mendapatkan ranking di kelas pun, saya hanya bisa mencapainya hingga level SMP saja. Salah satu momen yang menjadi titik balik dari kehidupan saya adalah saat di mana saya menjalani pendidikan S1. Pada masa ini, saya mendapatkan lingkungan baru yang tidak lagi ada perundungan—lingkungan yang membuat saya bertransformasi menjadi orang yang lebih optimis untuk meraih prestasi di luar bidang akademik.
Saya mulai bergabung dengan banyak organisasi, mengikuti perlombaan (dan meraih juara), menginisiasi banyak proyek sosial, memberikan kontribusi dalam internasional conference, serta mendapatkan fellowship ke luar negeri. Pengalaman – pengalaman tersebut telah membentuk kepercayaan dalam diri saya untuk merepresentasikan kesempatan yang setara bagi semua orang.
Eureka Moment dan Pengalaman Hidup di Amerika Serikat
Setiap orang, termasuk saya, pasti memiliki eureka moment. Bagi saya, momen ini saya alami ketika saya menginjakkan kaki pertama kali di Amerika Serikat untuk mengikuti program Academic Fellowship yang diadakan oleh US Department of State. Ada 15 pemuda dan pemudi dari Asia Tenggara yang terpilih untuk mengikuti kegiatan ini. Mereka semua membawa inisiatif yang telah mereka jalankan di negara masing – masing. Ketika itu, saya yang tengah mengerjakan skripsi mendapatkan kesempatan pergi ke Arizona State University untuk menjalani pelatihan dengan topik civic engagement.
Selama menjalani program fellowship tersebut, saya belajar tentang civic participation di dalam institusi pemerintahan serta inisiatif warga lokal yang telah memberikan dampak yang positif dan holistik terhadap lingkungan di sana. Saya pun menemukan satu pengalaman berharga sekaligus unik di sana. Ketika itu, mendapat kesempatan untuk mengunjungi sebuah organisasi non-profit di Arizona state. Ternyata, organisasi tersebut fokus pada pemberdayaan mantan narapidana melalui cara yang unik: pelatihan untuk mengembangkan urban farming, termasuk bagaimana cara merawat dan memanen sayuran hingga mendistribusikannya ke supermarket terdekat.
Kuliah di NYU & Kehidupan di dalamnya
Akumulasi dari pengalaman – pengalaman tersebut secara perlahan membangun tangga – tangga kecil untuk meraih kesempatan belajar yang lebih luas lagi. Petualangan saya terutama di bidang sosial dan community services menjadi fondasi bagi saya untuk melakukan refleksi tentang program studi apa yang akan saya ambil setelah lulus S1 dan bekerja. Pada akhirnya, saya menjatuhkan pilihan ke program studi Social Work di salah satu kampus terbaik di dunia, yaitu New York University atau NYU. Di kampus ini, saya mengambil program Master of Social Work (MSW) selama 2 tahun dengan dukungan finansial dari Beasiswa LPDP. Kemantapan keputusan untuk memilih NYU terbentuk dari pengalaman akademik, kegiatan kerelawanan, pengalaman kerja, serta persamaan nilai yang saya pegang, terutama tentang inklusivitas, dengan nilai yang dijunjung oleh NYU.
Program MSW di NYU menawarkan mata kuliah yang membahas tentang diversity, racism, oppression, serta privilege. Selain itu, saya juga memiliki kesempatan untuk belajar tentang bagaimana sebuah kelompok membangun privilege-nya masing – masing, serta memahami akar dari rasisme yang terjadi di seluruh negara, termasuk topik tentang social welfare di Amerika Serikat yang juga fokus kepada disabilitas. Di salah satu mata kuliah, saya mempelajari the Americans with Disabilities Act (ADA) yang memuat peraturan tentang larangan adanya diskriminasi bagi difabel di seluruh sektor, mulai dari pemerintahan, pendidikan, hingga tempat kerja. Satu hal yang menurut saya paling menarik dari program MSW di NYU adalah kesempatan untuk mengombinasikan kegiatan di kelas dengan kerja lapangan. Dengan menjalani fieldwork, saya bisa belajar mengimplementasikan teori – teori pragmatis yang saya peroleh di kelas di berbagai institusi melalui case studies.
Sebagai seorang difabel, peran profesor dan tema kelas sangat penting bagi saya, karena mereka lah yang selalu memberikan dukungan dan menawarkan pertolongan ketika saya berada dalam kesulitan. Lingkungan yang sangat suportif ini membuat saya bisa beradaptasi dengan cepat. Sama seperti yang dialami mahasiswa magister pada umumnya, saya juga dituntut untuk membaca banyak materi dan mengerjakan tugas esai. Hal ini sangat sangat membutukan skill manajemen waktu yang sangat baik, terlebih karena saya tinggal di lokasi cukup jauh dari kampus. Setiap pergi ke kampus, saya harus berjalan kaki menuju stasiun subway terdekat, yaitu di Elmhurst Avenue, Queens. Waktu tempuh yang saya harus lalui Queens ke NYU dengan subway ini adalah sekitar 35 menit.
Saya sendiri bersyukur bisa menemukan tempat tinggal di Queens. Keramaian dan kesibukan orang – orang yang ada di pusat kota Manhattan tempat kampus saya berada diimbangi dengan suasana sepi dan lingkungan yang ramah di Queens. Selain itu, salah satu keunggulan tinggal di Queens adalah harga sewa rumah yang murah, harga bahan makanan yang terjangkau, dan adanya restoran yang menjual makanan Indonesia.
Satu pesan yang ingin saya sampaikan untuk teman – teman difabel yang ada di Indonesia: difabel adalah privelege. Difabel adalah suatu identitas yang bisa menjadi kebanggaan untuk diri sendiri serta masyarakat.
***
Sumber foto: Imam Kurniawan