Paracetamol di Teluk Jakarta: Buah Karya Wulan Koagouw, Peneliti Indonesia di UK

0
1874
Wulan Koagouw, Research Fellow di University of Brighton, UK

Perempuan asal Manado, Wulan Koagouw, adalah salah satu peneliti di balik riset University of Brighton, United Kingdom, yang mengungkap pencemaran paracetamol di Teluk Jakarta baru-baru ini.

Memulai karier sebagai analis laboratorium di Sulawesi Utara, Wulan kini adalah Research Fellow di Centre for Aquatic Environment, Inggris.

Bagaimana pengalamannya jadi peneliti di kancah internasional? Apa harapannya bagi para peneliti Indonesia? Wulan berbincang dengan Kolumnis Indonesia Mengglobal, Rio Tuasikal.

Indonesia Mengglobal (IM): Halo Wulan, boleh ceritakan kesibukan saat ini dan perjalananmu sampai ke Inggris?

Wulan Koagouw (WK): Saya saat ini lagi postdoctoral sebagai Research Fellow di University of Brighton.

Saya bergabung dengan satu proyek, namanya REDPOL, yang didanai European Commission melalui Interreg tentang marine pollution. Kami melihat beberapa kontaminan yang kira-kira dicurigai memiliki efek kerusakan lingkungan.

Saya sebenernya anak kampung, saya dari Manado. S1 saya di Universitas Sam Ratulangi jurusan Biologi, jadi emang latar belakang sudah biologi dari dulu.

Paracetamol di Teluk Jakarta: Buah Karya Wulan Koagouw, Peneliti Indonesia di UK
Latar belakang studi biologi, pengalaman kerja sebagai analis lab, dan studi master telah membentuk ketertarikan mendalam Wulan terhadap bidang ecotoxicology. (Foto: Wulan Koagouw)

Pendidikan master dan PhD saya di University of Brighton. Topiknya sama, mengenai dampak pharmaceuticals ke marine organism atau biota laut. Salah satu pharmaceuticals yang saya tulis di paper kemarin adalah paracetamol.

Saya juga adalah bagian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sekarang sudah jadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Saya masuk LIPI sejak sebelum saya melakukan master. Di situ saya ditempatkan di Loka Konservasi Biota Laut Bitung di bawah Pusat Penelitian Oseanografi.

IM: Sejak kapan sih punya ketertarikan dengan biologi dan oseanografi? Apa sejak kuliah?

WK: Sebetulnya waktu kuliah saya nggak mengambil modul biota laut. Karena waktu itu minatnya masih ingin meneliti mikro-organisme.

Tapi sudah jalannya kali ya? Jadi setelah lulus itu, saya kerja di lab yang menganalisis kualitas air. Hal tersebut mulai membentuk minat saya ke masalah air. Sampai saya familiar dengan isu atau topik-topik analisis tentang kualitas air dan sebagainya.

Minat ke biota laut itu dimulai memang ketika saya direkrut sama LIPI. Yang rekrut kan Pusat Penelitian Oseanografi dan saat itu saya ditempatkan di Bitung, Sulawesi Utara, yang khusus untuk konservasi laut. Mulai dari situlah semuanya nyambung.

Jadi sama biota laut itu bukan jatuh cinta pada pandangan pertama. Lebih karena terbentuk. Jalannya emang kebentuk ke arah sana.

“Jadi sama biota laut itu bukan jatuh cinta pada pandangan pertama. Lebih karena terbentuk. Jalannya emang kebentuk ke arah sana.”

Terutama saat saya ambil master kemarin, dari situlah mulai ke arah marine pollution. Semakin saya pelajari kok semakin banyak pertanyaannya? Makin penasaran.

Kalau memang saya ingin jadi peneliti murni kan harus pilih topik yang menimbulkan rasa ingin tahu saya. Di situ saya sadar bahwa topik ini adalah niche saya.

IM: Keren banget perjalanannya! Boleh ceritakan soal riset pencemaran paracetamol di Teluk Jakarta yang kemarin rilis?

WK: Saat master, saya sudah meneliti soal efek pharmaceutics ke biota. Sebenarnya cukup simpel, hanya melihat efek dari metformin (obat diabetes) ke kerang biru. Pada saat mau PhD, saya masih tertarik ke topik pharmaceuticals.

Paracetamol di Teluk Jakarta: Buah Karya Wulan Koagouw, Peneliti Indonesia di UK
Riset mengenai paracetamol di Teluk Jakarta dia kerjakan dalam kurun waktu 2017-2019. (Foto: Wulan Koagouw)

Metformin itu kan obat anti-diabetes yang luas digunakan, tapi saya tahu ada obat yang digunakan lebih luas ketimbang metformin, salah satunya adalah paracetamol.

Paracetamol kan digunakan secara luas. Saya pengen melihat dong dampaknya ke kerang biru. Intinya melihat efek dan dampak paracetamol dan metformin ke kerang biru dewasa maupun early life stages, seperti itu.

Pada perkembangannya, saya kan cari studi literatur, tetapi memang agak sulit untuk mendapatkan data paracetamol dan metformin di Indonesia.

Kalau metformin saya nggak kaget karena memang belum digunakan di Indonesia pada saat itu.

Tapi paracetamol saya tahu itu sangat luas digunakan. Saya sendiri mengkonsumsi dan paracetamol banyak dijual bebas di seluruh dunia.

Pertanyaan kemarin di Teluk Jakarta itu simpel banget. ‘Apakah terdeteksi atau nggak?’. Sudah itu saja, sangat sederhana.

Saya juga mengumpulkan data riset dari negara-negara lain, di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, tapi saya nggak punya data dari Indonesia.

Karena saya dari Indonesia, jadi penasaran ‘kan. Hasilnya ternyata paracetamol memang terdeteksi.

Wulan Koagouw, Research Fellow di University of Brighton, UK
Wulan mengatakan, percaya akan kapastitas diri membantunya melalui imposter syndrome yang kadang ia rasakan. (Foto: Wulan Koagouw)

IM: Ini kan mendapat perhatian luas dari media dan publik di Indonesia, apa harapannya dengan merilis penelitian ini?

WK: Jadi saya amat mengapresiasi perhatian publik ke penelitian kami. Itu sangat luar biasa karena publik Indonesia sudah terbuka terhadap sains.

Saya kemarin juga sudah sempat bertemu secara virtual dengan para pemangku kepentingan terkait. Saya juga apresiasi karena mereka bersedia membuka diskusi.

Saya juga paparkan hasil penelitiannya, bukan hanya yang paracetamol di Teluk Jakarta saja, tapi penelitian utama mengenai dampak paracetamol terhadap kerang biru.

Di situ mereka responnya positif sekali. Mereka bisa jadi aware dengan apa yang terjadi saat ini dan kira-kira ke depannya harus apa.

“Di situ mereka responnya positif sekali. Mereka bisa jadi aware dengan apa yang terjadi saat ini dan kira-kira ke depannya harus apa.”

Tentu ini masih tahap awal kalau kita bandingkan dengan negara-negara lain yang sudah meneliti efek paracetamol terhadap biota laut sejak satu dekade lalu.

Itu pun mereka masih berlomba-lomba untuk mengumpulkan bukti supaya dapat menetapkan standar baku mutu jika diperlukan.

Kemarin publik di Indonesia sempat bingung kenapa nggak ada di baku mutu? Karena memang belum ada. Di negara-negara lain pun mereka masih mengumpulkan data.

Ini jadi tonggak awal di Indonesia untuk kita kejar ketertinggalan kita. Karena di negara lain sudah sangat sangat aware dengan pharmaceutical waste pollution.

IM: Bicara soal peneliti Indonesia, jika ada yang malu untuk bersaing dengan peneliti-peneliti dari luar negeri atau atau bergabung dengan riset skala internasional, apa pesanmu buat mereka?

WK: Jangan ragu. Saya mengerti dengan hal tersebut karena saya pun sebenarnya merasa demikian pada awalnya. Namanya imposter syndrome.

Kita merasa kita tuh yang paling kecil kalau ada rapat. Kita nggak bisa bicara, nggak bisa gimana-gimana.

WhatsApp Image 2021-10-14 at 11.27.26 PM
Wulan mengatakan, penelitiannya menjadi tonggak awal untuk memperbanyak penelitian mengenai pharmaceuticals waste pollution di Indonesia.

Kalau saya melihat hal tersebut jadi pemicu positif buat saya. Kenapa? Karena kalau saya kurang pede, saya persiapannya lebih banyak.

Yang ingin saya sampaikan kepada orang Indonesia yang mungkin merasa seperti itu: jangan ragu. Intinya kita lihat kapasitas kita.

Memang pada saat tertentu kita berpikir bahwa ‘oh kapasitas kita kurang mungkin karena kita orang indonesia’.

Tapi pada saat kita daftar untuk sesuatu, misalnya sekolah lanjut, research grant dan sebagainya, kalau saya prinsipnya cuma satu aja. Saya apply kan nggak akan kehilangan apa-apa. Nothing to lose.

Sesakit-sakitnya jawaban yang akan saya terima kalau belum berhasil adalah ‘no’. Well that’s fine, I am fine with that. Nggak akan nyakitin saya kok kalau ternyata idenya belum diterima.

It’s far better daripada kita nggak coba kirim aplikasi beasiswa dan sebagainya. Kalau saya kirim saya punya kemungkinan 50-50 untuk dapat. Jika tidak daftar, kemungkinan saya 0.

“Sesakit-sakitnya jawaban yang akan saya terima kalau belum berhasil adalah ‘no’. Well that’s fine, I am fine with that.”

IM: Apa harapanmu akan keterlibatan peneliti Indonesia di riset-riset internasional, terutama bidang ecotoxicology?

WK: Kapasitas orang indonesia, apalagi kalau sudah tersaring, sudah dibentuk, itu luar biasa sekali.

No matter dari pelosok mana saja dari Indonesia, apa saja latar belakangnya, mau laki-laki atau perempuan.

Ketika ada kapasitasnya, kita percaya kita bisa, dan kita menampilkan hal yang baik, itu sudah yakin deh akan berhasil suatu saat.

Saya berharap semakin banyak riset-riset ke depannya yang akan dibawa orang Indonesia ke kancah internasional.

Paracetamol di Teluk Jakarta: Buah Karya Wulan Koagouw, Peneliti Indonesia di UK
Wulan mengharapkan semakin banyak peneliti Indonesia, baik dari institusi riset maupun universitas, yang maju di kancah internasional. (Foto: Wulan Koagouw)

Karena kita punya kapasitas yang luar biasa dan kita nggak kalah dengan yang lainnya.

Asal kita mau berusaha dan bekerja sama. Mindset kita adalah untuk berkolaborasi bukan untuk saling menjatuhkan.

Harapan saya sangat besar, terutama untuk yang sudah terbuka matanya untuk riset ecotoxicology di Indonesia.

Saya sangat mengharapkan lebih banyak ilmuwan di Indonesia, bukan dari institusi riset saja, tapi juga dari universitas.

Saya harap makin banyak ilmuwan Indonesia yang riset ecotoxicology, berkolaborasi bersama dan bisa kita paparkan ke kancah internasional.

Pasti kalangan internasional juga sudah mulai melihat sekarang data sudah mulai banyak dari Indonesia. Harapan saya sangat besar.

*Foto-foto disediakan oleh narasumber.

**Penelitian Wulan Koagouw dkk dapat diakses melalui:

Koagouw, W., Arifin, Z., Olivier, G. W. J., & Ciocan, C. (2021) High concentrations of paracetamol in effluent dominated waters of Jakarta Bay, Indonesia in Marine Pollution Bulletin 169 (2021) 112558 https://doi.org/10.1016/j.marpolbul.2021.112558

Wulan Koagauw adalah Research Fellow di Centre for Aquatic Environment di University of Brighton, United Kingdom. Dia menamatkan PhD in Ecotoxicology dan, dengan dukungan beasiswa Chevening pada 2015, MRes in Biosciences—keduanya di University of Brighton. Sejak 2014, dia bergabung dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di bawah Pusat Penelitian Oseanografi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here