Terinspirasi oleh pesan seorang guru yang menjadi panutannya, Ulfa berbagi pengetahuannya tentang bahasa dan budaya Indonesia dengan warga Amerika Serikat. Selama menjalani tugas mengajar, Ulfa mendapatkan berbagai pengalaman berharga, baik dari segi profesional seperti bagaimana ia harus pandai mengatur waktu maupun dari segi personal seperti bagaimana ia memperluas wawasannya akan beraneka ragam budaya dunia. Apa saja momen-momen yang paling berkesan untuk Ulfa dan mengapa? Mari kita simak ceritanya berikut ini.
***
Menjadi seorang guru adalah cita-cita yang sudah saya miliki sejak saya remaja. Pada saat saya bersekolah di SMA 4 Takengon, guru Kimia yang menjadi panutan saya, Bapak Risnaidi (almarhum) berpesan, “Kalau mau jadi guru, jangan jadi guru biasa-biasa saja. Jadilah guru yang mendunia.” Siapa sangka pesan itu terwujud di tahun 2021 melalui program beasiswa Foreign Language Teaching Assistant (FLTA) dari Fulbright.
Pada tahun 2020, senior yang telah menjadi alumni program FLTA mendorong saya untuk ikut mendaftar program tersebut. Saat itu, saya sedang menjadi pengajar bahasa Inggris dan manajer program Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) di SMP dan SMA Pesantren Modern Internasional Dea Malela, Sumbawa Besar. Sebelumnya, saya telah menjadi instruktur bahasa Inggris di Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia selama satu tahun. Berbekal pengalaman tersebut, saya pun memberanikan diri untuk pertama kalinya mendaftar program FLTA.
Program FLTA merupakan salah satu dari banyak beasiswa yang diberikan oleh pemerintah Amerika Serikat melalui Fulbright. Beasiswa non-degree ini ditujukan bagi pengajar bahasa Inggris atau BIPA untuk mengajar Bahasa Indonesia di kampus-kampus ternama Amerika Serikat. Melalui program ini, kita tak hanya mengajar, tapi juga bisa mengambil beberapa mata kuliah di universitas tempat kita ditempatkan selama satu tahun akademik atau kurang lebih sembilan bulan.
Seperti program beasiswa pada umumnya, program FLTA diawali dengan pendaftaran dan seleksi administrasi yang dilakukan secara daring melalui situs aminef.or.id (AMINEF Indonesia). Biasanya program ini dibuka pada bulan Februari hingga April. Setelah seleksi administrasi, ada lagi seleksi wawancara yang juga dilakukan secara daring. Peserta yang lulus tahap ini kemudian akan diminta untuk mengikuti tes TOEFL iBT. Tes TOEFL iBT yang saya kerjakan merupakan home edition, yaitu tes secara daring dan dikerjakan menggunakan perangkat komputer pribadi.
Setelah melalui serangkaian proses tersebut, akhirnya sekitar bulan Mei saya mendapatkan surel yang menyatakan bahwa saya akan ditempatkan di Arizona State University (ASU) di kota Tempe. Saya berangkat di bulan Agustus 2021, saat musim panas. Seharusnya para FLTA menghadiri Summer Orientation di salah satu universitas di Amerika sebelum memulai program di universitas masing-masing. Namun, dikarenakan pandemi Covid-19, Summer Orientation luring di tahun saya ditiadakan dan dialihkan menjadi kegiatan persiapan keberangkatan daring (Online Pre-departure Orientation).
Menjadi Pengajar Bahasa Indonesia di Arizona State University
Arizona State University terletak di kota Tempe dan merupakan salah satu universitas publik terbesar di Amerika Serikat. Dalam segi bahasa, ada berbagai mata kuliah bahasa yang disediakan oleh Critical Languages Institute (CLI) di Melikian Center kampus ini, salah satunya kelas bahasa Indonesia.
Sebagai seorang FLTA, tugas utama saya di ASU adalah untuk menjadi asisten dosen utama kelas bahasa Indonesia. Tugas saya termasuk menjadi pengajar utama bila dosen utama berhalangan, menyusun materi ajar, memeriksa tugas-tugas mahasiswa, dan mengadakan kegiatan untuk mempromosikan bahasa dan budaya Indonesia. Di bawah pengawasan Dr. Peter Suwarno—supervisor saya, saya berkesempatan mengajar kelas bahasa Indonesia tingkat pemula, tingkat madya, dan tingkat akhir. Jumlah mahasiswa yang saya ajar selama dua semester di ASU berkisar enam orang. Jumlah yang terbilang sedikit dibandingkan dengan kelas-kelas yang biasa saya ajar di Indonesia. Menghadapi kelas kecil memiliki tantangannya sendiri. Sebagai pengajar, saya harus dapat mengelola waktu dan materi yang diajarkan. Namun, dengan kelas kecil, pemelajar dapat menggali pengetahuan per topik yang diajarkan lebih dalam karena waktu yang tersedia banyak untuk jumlah pemelajar yang sedikit. Selain itu, saya juga dapat mengenal mahasiswa dengan lebih baik karena intensitas komunikasi yang lebih sering. Dalam hal pengajaran, saya juga sering mengganti lokasi kelas. Tidak hanya di ruang kelas, perpustakaan, taman kampus, dan gedung kegiatan mahasiswa pun tak jarang menjadi tempat kami belajar. Hal ini bertujuan untuk membuat pemelajar dapat menikmati suasana baru saat belajar. Ini juga merupakan sisi positif mengajar kelas kecil.
Selain mengelola kelas bahasa Indonesia, FLTA juga bertugas untuk mempromosikan bahasa dan budaya Indonesia. Kegiatan Meja Bahasa (language table) merupakan kegiatan tahunan untuk memperkenalkan barang-barang dari Indonesia dan budaya Indonesia. Sayangnya, walau kelas-kelas di ASU sudah diizinkan untuk diadakan secara hybrid—sebagian daring dan sebagian luring, kegiatan ini dialihkan menjadi seminar daring pada tahun saya menjadi FLTA dikarenakan pandemi Covid-19. Untuk mengantisipasi keadaan ini, saya beberapa kali mengadakan kegiatan memasak makanan tradisional dengan para pemelajar bahasa Indonesia. Saya juga bekerja sama dengan FLTA dari universitas lain untuk merealisasikan seminar tentang Takengon—daerah asal saya, dan budayanya yang dibuka untuk umum secara daring.
Menjadi Mahasiswa di Arizona State University
Salah satu hal yang menarik minat saya untuk menjadi bagian dari beasiswa Fulbright FLTA adalah kesempatan untuk tak hanya mengajar namun juga belajar di universitas tempat saya ditempatkan. Para FLTA diberikan kesempatan untuk mengambil dua hingga empat mata kuliah audit atau pun kredit sesuai dengan kebijakan universitas masing-masing. Di ASU, saya dapat mengambil dua mata kuliah audit setiap semester—total empat kelas selama satu tahun akademik. Artinya, saya tidak perlu mengerjakan tugas dan ujian untuk kelas-kelas yang saya ambil karena saya tidak mendapatkan kredit (nilai) di penghujung semester.
Untuk menunjang profesionalisme saya sebagai seorang guru, saya mengambil mata kuliah Educational Psychology for Future Teachers dan Childhood and Adolescence. Saya sangat senang dapat belajar di dua kelas ini karena begitu banyak materi yang relevan bagi saya yang selama ini fokus mengajar remaja. Kedua kelas ini saling berhubungan karena membicarakan tentang teori-teori psikologi pendidikan, analisis kepercayaan dalam mengajar, pertumbuhan anak dan remaja, serta teori pendidikan anak dan remaja.
Para FLTA diharuskan untuk mengambil minimal satu mata kuliah yang berhubungan dengan Amerika—budaya, politik, agama, dll. Oleh karena itu, saya juga mengambil mata kuliah American Studies dan Religion and the Modern World. Di kelas American Studies, kami banyak menganalisis banyak elemen yang berasal dari Amerika, seperti pidato, puisi, musik, dialog dan lainnya. Sedangkan di kelas Religion and the Modern World, saya banyak belajar tentang sejarah perkembangan agama di Amerika. Kelas ini saya ambil karena ketertarikan saya untuk mendalami perkembangan agama yang terpupuk sejak menjadi pendidik di Pesantren Modern Internasional Dea Malela.
Walaupun semua kelas yang saya ambil tidak menuntut saya untuk mengerjakan tugas, saya memilih untuk tetap mengerjakan beberapa tugas dan turut aktif dalam kegiatan presentasi kelompok. Hal ini saya lakukan karena tugas-tugas tersebut merupakan kesempatan emas untuk berdiskusi dengan profesor-profesor Amerika dan berbaur dengan orang-orang di kelas saya. Alhasil, saya pun beberapa kali diberi kesempatan untuk berbagi cerita tentang program Fulbright, Indonesia, dan bahkan berbagi tahu isi yang saya siapkan sendiri—tentu dengan izin dari profesor yang mengajar kelas tersebut. Uniknya, banyak mahasiswa Amerika yang tidak mengetahui tentang beasiswa Fulbright—program pemerintah Amerika. Banyak pula yang tidak kenal dengan Indonesia—tapi tahu tentang Bali.
Ulfa bersama profesor dan anggota kelompok presentasi di kelas Childhood and Adolescence. Sumber: Dokumentasi pribadi.
Menjadi mahasiswa terasa belum sempurna tanpa kegiatan organisasi mahasiswanya. Oleh karena itu, selama di ASU saya ikut bergabung dalam berbagai kegiatan yang diadakan ASU Muslim Students Association, seperti kegiatan sukarela membungkus mainan untuk anak-anak imigran, membagikan makanan untuk buka puasa di bulan Ramadan, berpartisipasi dalam workshop cara menggunakan henna, juga berkesempatan menghadiri pertunjukan drama monolog oleh Rohina Malik—wanita muslim, penulis, dan storyteller dari Amerika.
Berbagi untuk Indonesia Selama di Amerika
Keberadaan saya di Amerika untuk menjalankan tugas sebagai FLTA, membuka peluang bagi saya untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman saya kepada para siswa di Indonesia. Saya diberi kesempatan untuk menjadi pengisi acara pada Virtual Field Trip yang diadakan oleh Darul Hikam Integrated School (DHIS) Primary. Saya mengajak anak-anak Sekolah Dasar DHIS untuk mengunjungi Kebun Binatang Phoenix (Phoenix Zoo) dan Masjid Tempe yang merupakan pusat kegiatan muslim di kota Tempe (baca lebih lengkap).
Ada pula DHIS Lower Secondary (SMP) yang turut mengundang saya menjadi pemateri dalam rangka memperingati Isra Mi’raj. Di kesempatan itu, saya berbagi cerita tentang pengalaman beribadah di Amerika dan pengalaman menjadi minoritas di Amerika.
Penutup
Menjadi seorang guru, pengajar, dan pendidik menuntut kita untuk terus berinovasi dan menambah wawasan demi anak didik kita. Fulbright FLTA membuka banyak sekali pintu bagi saya untuk belajar tentang dunia melalui orang-orang yang saya temui, meningkatkan keterampilan mengajar, dan memberikan kesempatan saya untuk membangun hubungan dengan masyarakat global. Semua itu adalah oleh-oleh yang menjadi hadiah saya untuk anak didik saya di masa depan. Melalui tulisan ini, saya berharap dapat memotivasi para guru dan pendidik Indonesia untuk dapat mencoba program Fulbright FLTA dan terus berkarya.
Ulfa bergaya di Grand Canyon National Park. Sumber: Dokumentasi pribadi.
Disclaimer:
This is NOT an official U.S. Department of State website, and the views and information presented here are my own and do not represent the Fulbright Program or the U.S. Department of State.