Perjalanan, Petualangan, dan Perjuangan Kuliah S2 di Afrika Selatan

0
822
Durban Natural Science Museum
Durban Natural Science Museum. Sumber: Dokumentasi Pribadi

Tidak banyak mahasiswa Indonesia yang mendapatkan kesempatan untuk belajar hingga ke Afrika Selatan. Bayu Tri Murti adalah salah satu orang yang berkesempatan untuk menempuh jenjang S2 di sana. Yuk, baca kisah perjalanan Bayu di Durban University of Technologyy, Kota Darwin, mulai dari kedatangan, adaptasi budaya, penelitian, menginisiasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PII) AfrikaSelatan, hingga berkolaborasi dengan mahasiswa asing lainnya

***

Pertama-tama, bolehkah Mas Bayu memperkenalkan diri, latar belakang dan aktivitas secara singkat kepada pembaca?

Nama saya Bayu Trimurti, dari Jawa Timur, Indonesia. Saya anak pertama dari dua bersaudara dan sudah menikah. Latar belakang pendidikan saya adalah lulusan S1 Farmasi dari Universitas Jember. Setelah itu, saya bekerja selama kurang lebih dua tahun di salah satu perusahaan farmasi di Jakarta sebagai formulator. Kemudian, saya melanjutkan studi S2 di Afrika Selatan dari tahun 2015 hingga 2017. Saat ini, saya sedang melanjutkan studi S3 di TMU (Taipei Medical University) dalam bidang teknobiomedik sejak tahun 2019.

Mas Bayu pernah menyebutkan bahwa tidak menyangka bisa sampai di Afrika Selatan. Bisakah Mas Bayu menjelaskan kronologisnya dan bagaimana hal ini berpengaruh pada hidup?

Ceritanya bermula ketika saya bekerja di Jakarta selama dua tahun setelah lulus dari Universitas Jember. Saat itu, saya memiliki impian untuk melanjutkan pendidikan S2, dan salah satu profesor pembimbing saya, Prof. Bambang Kuswandi, memberi dorongan kepada saya untuk melanjutkan studi di luar negeri. Karena pada saat itu kampus kami belum memiliki program studi apoteker, saya memutuskan untuk bekerja terlebih dahulu. Namun, saya tetap menyimpan mimpi untuk melanjutkan pendidikan.

Saat bekerja di Jakarta, saya memanfaatkan waktu luang pada akhir pekan untuk mengunjungi pameran beasiswa yang sering diadakan di sana. Sambil bekerja, saya juga mencoba mengirim email kepada beberapa profesor di luar negeri, baik di Asia, Eropa, maupun Australia, yang memiliki minat penelitian yang sama dengan saya, yaitu bidang biosensor. Salah satu profesor dari Swedia, yang aslinya berasal dari India, merespons email saya. Dia tertarik dengan penelitian saya dan mengajak untuk menjadi mahasiswanya. Namun, dia memberi tahu bahwa saya harus mencari beasiswa S2 sendiri.

Pada saat itu, profesor tersebut sedang menghadiri konferensi di Thailand. Di sana, dia bertemu dengan seorang kolega dari Universitas Darwin di Afrika Selatan. Kolega tersebut menawarkan kesempatan beasiswa S2 di Afrika Selatan kepada saya melalui email. Saya membutuhkan waktu tiga hari untuk memikirkannya. Dan setelah melakukan penelitian tentang kondisi di Afrika Selatan, saya menyadari bahwa ini adalah kesempatan yang sangat langka. Meskipun ada beberapa masalah dan konflik yang terjadi di Afrika Selatan saat itu, saya memutuskan untuk menerima tawaran beasiswa tersebut.

Jadi, itulah bagaimana proses perjalanan saya menuju Afrika Selatan terjadi. Saya diperkenalkan kepada profesor dari Swedia, Thailand, dan akhirnya ke Afrika Selatan.

Dalam proses pengambilan keputusan ini, apakah Mas Bayu juga berdiskusi dengan keluarga dan mempertimbangkan pendapat mereka?

Tentu, saya meminta izin dari orang tua saya sebelum mengambil keputusan ini. Saya mencari persetujuan dan dukungan mereka. Orang tua saya sangat mendukung dan memiliki pikiran yang terbuka. Mereka menginginkan saya untuk mengambil tanggung jawab atas pilihan saya sendiri. Jadi, mereka mendukung keputusan saya untuk melanjutkan studi di Afrika Selatan.

Menaklukkan Drakensberg dan Tabletop Mountain
Menaklukkan Drakensberg dan Tabletop Mountain. Sumber: Dokumentasi Pribadi

Bagaimana pengalaman adaptasi Mas Bayu di sana? Apakah Mas Bayu mengalami culture shock?

Ketika saya sampai di Afrika Selatan, perbedaan budaya sudah mulai terasa, baik dari segi orang-orang maupun cara berbicara mereka. Saat mendarat di bandara O.R. Tambo di Johannesburg, kota terbesar di South Africa, saya merasa sedikit tersesat. Proses di sana sangat berbeda dengan di Asia. Misalnya, jika kita melakukan connecting flight di Asia, biasanya kita tidak perlu check-in ulang, tetapi di Afrika Selatan, saya harus melakukan check-in ulang meski saya hanya memiliki waktu 50 menit antara kedatangan dan keberangkatan. Saya berpikir seharusnya tidak perlu check-in ulang karena hanya sekitar satu jam perjalanan dari Johannesburg ke Darwin, Durban. Namun, ternyata saya harus melakukan check-in ulang.

Di sana, tidak banyak petunjuk arah dan orang yang bisa ditanyai seperti di bandara-bandara di Indonesia. Meskipun mayoritas orang di sana bisa berbicara bahasa Inggris, mereka cenderung cuek dan tidak terlalu responsif ketika ditanya. Akibatnya, saya ketinggalan pesawat yang seharusnya. Saya berteriak meminta pintu pesawat dibuka kembali, tetapi pintu sudah ditutup dan saya harus menerima kenyataan itu.

Setelah itu, saya merasa capek karena perjalanan selama 15 jam dari Surabaya ke Hong Kong, lalu ke Johannesburg. Saya merasa ragu dengan makanan di pesawat karena pada saat itu saya masih menganut pola makan idealis. Saya hanya makan telur yang bisa memberikan energi yang cukup.

Setelah kejadian tersebut, saya mencoba menghubungi salah satu mahasiswa S1 dari profesor saya yang berasal dari India. Saya mengeluhkan masalah yang dihadapi ke maskapai penerbangan melalui telepon. Namun, saya hanya diarahkan untuk naik pesawat berikutnya setelah menunggu selama 30 menit. Saya harus pasrah dan menunggu. Akhirnya, saya dapat naik pesawat berikutnya. Kejadian tersebut membuat saya berpikir, “Bagaimana lagi yang bisa saya lakukan?”

Untungnya saya tidak perlu membayar lagi. Saya sangat bersyukur atas hal itu. Saya tidak tahu apakah prosedur tersebut berlaku di Indonesia atau tidak, tetapi di sana, saya tidak perlu membayar lagi. Saya diikutsertakan dalam penerbangan berikutnya tanpa biaya tambahan.

Setelah tiba di bandara tujuan, saya dijemput oleh teman dan sampai di apartemen. Di sana, saya menghadapi tantangan budaya, terutama dengan teman sekamar saya yang berasal dari Ukraina. Dia sangat menjaga kebersihan dan menuntut semua orang untuk menjaga kebersihan di toilet yang kita gunakan bersama. Hal ini menyebabkan beberapa konflik di awal. Namun, teman saya dari India menjadi penengah dan mengajari saya untuk bersabar dan mencoba memahami budaya mereka. Dalam waktu sekitar dua bulan, saya mulai memahami budaya di apartemen dan interaksi dengan teman-teman Afrika Selatan yang mayoritas berkulit hitam.

Terkait dengan adaptasi selama dua bulan, bagaimana Mas Bayu menghadapinya? Baik di apartemen, dalam interaksi dengan orang-orang di sana, transportasi, makanan, atau cuaca?

Pertama, terkait dengan budaya orang-orang di sana, ada satu hal yang unik di Afrika Selatan, terutama bagi orang asing. Ketika saya tiba di sana pada tahun 2015 sekitar bulan April atau September, ada isu xenofobia yang menyebabkan beberapa orang asing meninggal di gunung. Beberapa orang lokal merasa cemburu dengan kehadiran orang asing karena mereka merasa orang asing mendapatkan pekerjaan yang layak dan menduduki posisi yang seharusnya menjadi hak mereka. Namun, masa-masa itu telah berlalu ketika saya tiba di sana.

Selama hampir dua tahun di sana, kami disarankan untuk tidak keluar di malam hari setelah pukul 18:00 karena risiko kejahatan yang tinggi. Meskipun demikian, orang-orang di sana sangat ramah dan suka menolong. Mereka memiliki semangat tinggi untuk membantu jika ada kesulitan.

Terkait dengan makanan, saya baru mengetahui bahwa Darwin adalah salah satu kota dengan komunitas Muslim terbesar di Afrika Selatan. Makanan halal cukup mudah ditemukan di sana, terutama dengan citarasa India dan Pakistan yang dominan. Jadi, saya tidak mengalami kesulitan dalam menemukan makanan yang sesuai dengan kebutuhan saya.

Jadi, pada akhirnya, semua itu menjadi hikmah bagi saya setelah tiba di sana. Awalnya, saya hanya nekat dan berpikir ala orang Surabaya, tetapi setelah tiba di sana, saya mulai memahami dan menghargai pengalaman yang didapatkan satu per satu.

Research Sharing
Research Sharing. Sumber: Dokumentasi Pribadi

Apakah ada perbedaan signifikan dalam sistem perkuliahan dibandingkan dengan sebelumnya di Jember?

Ya, ada perbedaan yang cukup signifikan. Di Jember, umumnya kuliah dilakukan secara penuh, dengan jadwal kuliah yang tetap. Namun, di Darwin, tipe kuliah saya adalah full research. Itu berarti selama dua tahun penuh saya fokus pada penelitian dan tidak ada kuliah sama sekali. Sehari-hari, saya lebih banyak melakukan penelitian di laboratorium dari pagi hingga sore. Hal ini membutuhkan kesabaran karena penelitian tidak selalu berhasil dengan cepat. Jadi, tidak ada kuliah dan waktu harian saya diisi dengan penelitian.

Saya tertarik dengan biosensor. Penelitian saya di Afrika Selatan menggabungkan biosensor dengan komputasi kimia. Jadi, sebagian besar penelitian saya sekitar 85% berfokus pada komputasi kimia dan 15% pada biosensor. Itu adalah kombinasi antara eksperimen di laboratorium dan eksperimen berbasis komputer. Salah satu alasan saya memilih untuk belajar di sana adalah karena Afrika Selatan memiliki keunggulan dalam penelitian komputasi. Mereka memiliki pusat riset komputasi dengan superkomputer tercepat di dunia. Itu disebut CHPC (Center for High Performance Computing), yang memiliki daya yang sangat besar. Saat ini, superkomputer tercepat tidak hanya ada di Tiongkok dan Amerika Serikat, tetapi juga di benua Afrika. Afrika Selatan memiliki fasilitas riset komputasi yang cukup baik. Jadi, itulah salah satu alasan saya memilih untuk belajar di sana.

Proses riset memang tidak bisa diprediksi, kadang berhasil, kadang tidak. Jadi, jika sebuah eksperimen tidak berhasil, saya harus mengulangnya hingga berhasil. Perbedaannya adalah di S2, mereka mengharapkan hasil penelitian dan publikasi. Selama studi S2 saya, saya berhasil menulis satu bab buku dan dua paper yang menjadi dasar penelitian saya saat ini. Jadi, kegiatan sehari-hari saya diisi dengan penelitian di laboratorium, yang kadang-kadang bisa membuat jenuh, tetapi prosesnya perlu dinikmati.

Apakah Mas Bayu datang ke laboratorium setiap hari dari Senin hingga Jumat dan apakah ada kegiatan ekstrakurikuler atau kegiatan lain di luar perkuliahan?

Tidak, tidak ada kegiatan di luar akademik di sana. Yang menarik adalah ketika saya pertama kali datang ke Afrika, tidak ada Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) sama sekali di sana. Tidak ada komunitas yang bisa saling bertanya dan berinteraksi. Jadi, kami memulainya dengan membuat jaringan komunikasi melalui grup WhatsApp dengan mahasiswa Indonesia yang ada di Afrika Selatan. Kemudian, kami berhasil mendirikan PPI Afrika Selatan untuk saling berkomunikasi dan menjalin silaturahim. Alhamdulillah, PPI tersebut masih ada hingga sekarang.

Kami merasa sulit untuk berkomunikasi dan saling berdiskusi tanpa adanya PPI. Kami merasa ada kesulitan dalam mendapatkan informasi. Jadi, pada akhirnya, kami memiliki visi dan misi yang sama, dan dengan itu, kami mendirikan PPI Afrika Selatan. Kami memulainya secara online karena jarak antara kami yang cukup jauh, seperti di Johannesburg, Kempton, Pretoria, dan daerah lainnya. Waktu itu, kami berusaha untuk mengumpulkan informasi dan mendiskusikannya dengan adanya PPI tersebut.

With Friends and Faculty Members. Sumber: Dokumentasi Pribadi
With Friends and Faculty Members. Sumber: Dokumentasi Pribadi

Mas Bayu menjadi perintis PPI Afrika Selatan kalau begitu ya?

Ya, ada sekitar 7 hingga 8 orang yang menjadi perintis PPI Afrika Selatan. Ada beberapa yang kuliah S2, ada juga yang kuliah S3, dan ada juga teman-teman dari pelatihan pilot. Kami merumuskan instrumen DRT (Dokumen Rencana Tindak) untuk mengatur kegiatan kami.

Pada tahun 2016, kami mengajukan permohonan terlebih dahulu ke PPI Pusat. Kami dibantu oleh PPI kawasan, yang kemudian menginduk ke PPI Timur Tengah dan Afrika. Kami berkomunikasi dengan ketua PPI kawasan, salah satu teman dari PPMI Madinah. Beliau menyambut baik dan memberikan dukungan serta panduan kepada kami. Kami juga mendapat dukungan dari ketua PPI dunia, yaitu Mbak Intan Irani. Semua pihak mendukung dan memudahkan kami dalam membentuk PPI Afrika Selatan.

Kemudian, kami membentuk jaringan komunikasi di setiap daerah, seperti di Darwin, Johannesburg, dan daerah lainnya. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak orang yang bergabung dengan PPI. Kami memiliki data tentang jumlah mahasiswa dan siswa Indonesia yang sedang kuliah di sana. Kami berusaha untuk membangun sistem komunikasi dan keorganisasian yang lebih baik. Salah satu kendalanya adalah beberapa teman dari madrasah tidak diperbolehkan membawa atau menggunakan handphone saat jam sekolah. Jadi, kami harus berkomunikasi melalui WhatsApp pada malam hari. Namun, akhirnya kami berhasil mendirikan PPI Afrika Selatan dan alhamdulillah, saya bisa lulus bersama teman-teman dan membangun PPI yang masih eksis hingga sekarang.

Makan Malam Bersama. Sumber: Dokumentasi Pribadi
Makan Malam Bersama. Sumber: Dokumentasi Pribadi

Selain dengan anggota PPI, bagaimana interaksi dengan mahasiswa asing di sana?

Interaksi dengan mahasiswa asing sangat kondusif. Kami saling membantu dan memahami satu sama lain. Komunikasi berjalan dengan baik. Kami juga tergabung dalam suatu asosiasi mahasiswa internasional, di mana kami dari berbagai negara berinteraksi.

Namun, ada satu isu yang membuat kami semakin bersatu, yaitu peningkatan biaya asrama secara sepihak. Harga asrama hampir dua kali lipat tanpa alasan yang masuk akal. Karena menghadapi isu yang sama, kami berkumpul hampir setiap hari di asrama untuk mendiskusikan apa yang harus dilakukan. Kami memutuskan untuk menghadap rektor untuk menurunkan biaya tersebut. Kami mengumpulkan data dan alasan-alasan yang kuat. Prosesnya memakan waktu sekitar dua bulan. Hingga akhirnya biaya asrama turun, meskipun tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan. Interaksi kami di asrama membuat kami merasa seperti satu keluarga.

Kami bersatu karena tujuan yang sama. Karakter setiap negara berbeda-beda. Ada yang lebih ekspresif, ada yang lebih tenang dan cenderung mencari jalan keluar dengan cara damai. Saya sangat menghargai pendekatan diplomasi dalam menyelesaikan masalah. Ketua asosiasi kami sangat baik dalam diplomasi dan komunikasi. Dia berasal dari Nigeria. Jadi, saat itu kami meminta pendapat satu sama lain dan bersepakat untuk menggunakan jalur diplomasi dalam menurunkan biaya asrama. Kami menyelesaikannya tanpa melakukan demonstrasi atau kekerasan apa pun. Saya menghargai sikapnya. Saat ini, dia bahkan mencalonkan diri sebagai calon gubernur di Nigeria. Saya sangat menghormati dia.

Bersama mahasiswa asing, kami saling mengundang untuk makan bersama saat merayakan festival, dan saya juga mencoba memasak makanan khas Indonesia untuk mereka. Selain itu, kami juga mengadakan acara budaya untuk memperkenalkan budaya dari masing-masing negara. Semuanya sangat menarik dan saya masih merasa seperti satu keluarga hingga sekarang.

Kegiatan Bersama Mahasiswa Internasional. Sumber: Dokumentasi Pribadi
Kegiatan Bersama Mahasiswa Internasional. Sumber: Dokumentasi Pribadi

Pengalaman Mas Bayu menyatukan kekuatan untuk menyelesaikan masalah dengan cara damai sangat berkesan! Selain itu pelajaran terbesar apa yang Mas Bayu dapatkan selama menempuh studi di sana?

Ya, kami belajar untuk bertahan di negara yang sedikit populasi mahasiswa Indonesianya. Kami belajar untuk bertahan dan menghadapi tantangan.

Selain itu, pelajaran terbesar yang saya dapatkan adalah belajar untuk pasrah dan tawakal, sambil tetap berusaha dan berdoa. Saya menghadapi banyak tantangan selama studi di sana, seperti memiliki tanggungan hutang pada asrama. Pada awalnya, saya ragu apakah saya bisa menyelesaikannya. Namun, saya pasrah sepenuhnya kepada Tuhan dan memberikan yang terbaik dalam segala hal. Akhirnya, banyak keajaiban terjadi di akhir studi saya. Hutang asrama saya tiba-tiba dilunasi tanpa saya tahu siapa yang melakukannya. Selain itu, saya juga mendapatkan penghargaan cum laude dan penghargaan sebagai mahasiswa terbaik dari dekan. Semua itu terjadi setelah saya pasrah sepenuhnya kepada Tuhan. Pelajaran tentang tawakal dan ikhtiar sangat berkesan bagi saya.

Apakah Mas Bayu memiliki pesan untuk para pembaca yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri?

Pesan saya adalah jangan pernah menganggap masalah sebagai penghalang, tetapi jadikan masalah sebagai tantangan. Saya yakin, terutama di Indonesia, tidak semua orang berasal dari kota besar dan memiliki akses yang luas terhadap informasi tentang studi di luar negeri. Jadi, pesan saya kepada teman-teman yang mungkin memiliki keterbatasan akses adalah tetap semangat dan jaga impian untuk belajar di luar negeri. Saat ini, aksesnya sudah jauh lebih mudah daripada beberapa tahun yang lalu, terutama dengan adanya komunitas seperti Indonesia Mengglobal dan inisiatif lainnya. Jadi, manfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin dan jangan pernah membiarkan keterbatasan menjadi penghalang. Jadikan keterbatasan tersebut sebagai motivasi tambahan untuk mencapai impian teman-teman.

***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here