Ada berbagai cara yang bisa dipilih para mahasiswa Indonesia di luar negeri untuk berkontribusi pada Tanah Air. Mengingat begitu banyaknya jalur untuk ikut berkontribusi mengharumkan nama Indonesia, masih haruskah para mahasiswa menunggu kelulusan dari bidang studi masing-masing sebelum melakukan hal tersebut? Ratih berhasil membuktikan bahwa memberikan sumbangsih pada negara kita bukanlah sesuatu yang harus ditunda. Mari simak kisah Ratih seputar bagaimana kecintaannya pada seni tari Bali membuka pintu untuk menggaungkan nama Indonesia di panggung internasional.
***
Ketika menulis esai untuk melanjutkan studi, baik dalam aplikasi beasiswa maupun kampus tujuan studi, sering kali kita diminta menjelaskan apa rencana kontribusi kita pada lembaga pemberi beasiswa maupun pada keberagaman akademik di tempat tujuan. Pertanyaannya bisa dalam bentuk yang berbeda-beda, tapi kuncinya sama: penilai ingin tahu mengapa kita unggul dari pelamar lainnya. Tak hanya dalam seleksi administrasi tertulis, pertanyaan serupa juga kerap kali muncul dalam wawancara– dalam formulasi pertanyaan yang disesuaikan.
Jawaban yang diberikan setiap orang pastinya berbeda-beda, dengan hasil yang juga berbeda. Seringnya kita berangan-angan pada hari yang belum terjadi, setelah kita menyelesaikan studi. Karakter kita suatu hari nanti setelah mendapat kesempatan mengepakkan sayap di tempat yang tinggi. Tentu tidak salah. Tapi saya punya pandangan alternatif yang mungkin bisa juga dicoba– berkontribusi dimulai dari sebelum kita melanjutkan studi, tetap dilakukan ketika kita menempuh studi, dan diteruskan setelah kita menyelesaikan studi.
Kontribusi yang kita lakukan bisa dalam berbagai wujud dan skala, secara konsisten, dan dengan tujuan membagikan ilmu pengetahuan. Dari sana kita membangun jati diri, sebagai pebelajar seperti apakah kita ingin dikenal? Jawaban dari pertanyaan ini dinamis, bisa berubah maupun berkembang melalui interaksi dengan lingkungan dan kontemplasi yang mendalam. Sebaiknya dilandasi kejujuran, sehingga pengejewantahannya tidak membebani diri sendiri dan jejak sejarahnya terkonfirmasi ketika dilakukan pemeriksaan silang.
Bagi saya, menempuh studi di luar negeri adalah kesempatan untuk mempelajari apa yang menjadi keunggulan di kampus tujuan sambil gencar mengenalkan kearifan lokal yang penuh dengan nilai kebijaksanaan, jika kita kaji dengan makin mendalam. Sambil beradaptasi di lingkungan dan budaya baru, saya tak lupa menempatkan diri sebagai duta bangsa untuk mengenalkan wajah akademis Indonesia yang bisa berkompetisi di panggung global. Singkatnya, studi di luar negeri bukan hanya untuk kepentingan kita yang belajar dari mereka; dunia butuh kita untuk memahami nilai-nilai lokal Indonesia. Itulah yang menjadi keunggulan kita dalam memperkaya khasanah pengetahuan di kampus tujuan.
Media promosi saya ada dalam bentuk tari tradisional Bali. Lahir dan besar di Bali, saya belajar menari sejak umur lima tahun — ketika saya duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Awal mula menari karena lolos seleksi di lingkungan RT setempat untuk mengisi acara 17-an, lama-lama ditekuni sebagai hobi dan siapa sangka membuat saya berada di panggung-panggung yang tak terbayangkan sebelumnya.
Ratih Menarikan Tari Cendrawasih dalam Gelar Budaya Utrecht Indonesian Day 2014, Ketika Menempuh Master di Utrecht University. Sumber: Dokumentasi Pribadi.
Semakin dilakoni, makin banyak yang saya kagumi dari menari. Walaupun tidak semahir penari profesional, saya menikmati saat-saat menari dan ingin membagikan nilai-nilai kearifannya pada dunia. Menari bukan hanya soal menggerakkan tubuh, ada pesan didalamnya, ada presisi dalam setiap hentaknya. Penari bukan hanya gemulai dan rupawan di pentas, kami juga cerdas dan arif. Dengan tekad tersebut, saya kemudian menekuni bidang penelitian tari dan matematika, di bawah payung embodied cognition— meninggalkan dogma bahwa proses kognitif hanya terjadi di pikiran dan membuka ruang bagi pebelajar untuk berinteraksi dengan lingkungannya dalam membangun makna. Lengkapnya akan saya bagikan nanti, ketika hasil penelitian saya sudah bisa dipublikasikan.
Saat ini, saya adalah satu-satunya orang Indonesia yang menempuh studi di Berkeley School of Education. Teman-teman saya banyak yang baru pertama kali mengenal seseorang yang berasal dari Indonesia atau bahkan Asia Tenggara. Ada banyak tantangan ketika saya mengenalkan bahasan tari tradisional Bali dalam mata kuliah ataupun diskusi di kelas, karena saya harus memberikan gambaran latar belakang yang cukup panjang. Belum lagi tari Bali selalu terkait dengan budaya dan nilai-nilai tradisi yang tidak mudah dipahami orang-orang yang tidak familiar dengan kehidupan sehari-hari di Bali.
Meskipun demikian, ada rasa puas ketika melakukannya. Tak jarang saya jadi belajar lebih banyak tentang kebudayaan yang saya pikir sudah saya kenal baik-baik hanya karena saya menjalaninya secara alami. Lalu setelah digali lebih dalam, semakin saya antusias menekuninya. Contohnya ketika saya melihat akomodasi dalam berpartisipasi pada tari Rejang Renteng. Tari yang dewasa ini gencar ditampilkan dalam upacara keagamaan di Pura Desa memiliki makna tersendiri bagi saya. Penarinya adalah perempuan-perempuan di desa, umumnya yang sudah berumah tangga. Sebagai salah satu tari wali atau tari yang ditujukan untuk kepentingan upacara keagamaan, gerakannya halus dan sederhana; fokusnya ada pada rasa tulus ikhlas menari sebagai bentuk persembahan. Oleh karena itu, tari ini bisa ditarikan walau seseorang tidak punya latar menari sebelumnya ataupun bentuk dan kapasitas tubuh telah berubah karena faktor usia. Pakaian tarinya pun diatur sedemikian rupa untuk menonjolkan keanggunan, sehingga nyaman bahkan untuk perempuan berusia lanjut. Bagi saya ini adalah bentuk perjuangan– melawan eksklusivitas bahwa menari hanya untuk mereka yang berusia muda, aktif, dan lincah. Ah, ternyata begini salah satu cara mencintai tanah air dari jarak yang jauh.
Salah Satu Cuplikan Poster Mata Kuliah yang Mengangkat Topik Tari (Isi Disensor Terkait Perizinan)
Mengangkat topik tari tanpa mengenalkan seperti apa tarinya tentu kurang greget. Beruntungnya, selain bisa mempromosikan tari secara bidang keilmuan, saya juga berkesempatan untuk menari di panggung sosial dan budaya. Awalnya saya secara kebetulan terhubung dengan Gamelan Sekar Jaya (GSJ), sebuah komunitas tari dan gamelan Bali yang berlokasi di Berkeley. Bersama GSJ, saya menari dalam beberapa kesempatan terkait dengan kebudayaan Asia. Salah satunya, kami mempromosikan tari Joged dengan iringan musik Jegog.
Promosi Joged Sesuai Pakem di Berkeley, Amerika Serikat. Sumber: Dokumentasi Pribadi.
Tari Joged adalah tari sosial yang ditujukan untuk hiburan. Umumnya, penari akan menari dalam gerak bebas dan mengundang penonton untuk turut serta. Tarian ini merakyat, penuh suka cita. Sayangnya, tujuan tari yang baik kadang kala dimanfaatkan untuk tindak asusila, sehingga muncul judul-judul terkait Joged yang provokatif di media sosial, seperti YouTube. Tak jarang, penari Joged pun jadi terkena stigma negatif, hasil imbas beberapa oknum. Tentu sudah banyak seniman yang berusaha meluruskan perilaku yang tak layak ini. Sebagai bagian dari komunitas tari yang mempromosikan budaya Indonesia khususnya Bali, kami juga memanfaatkan kesempatan panggung global untuk memperkenalkan Joged yang sesuai pakem aslinya, santun dan menghibur. Nyatanya, tanpa dibumbui gerakan-gerakan yang tak patut, Joged tetap menghibur dan diminati khalayak.
Ratih Menarikan Joged dengan Iringan Jegog di Nevada City, Amerika Serikat. Sumber: Dokumentasi Pribadi.
Dari keikutsertaan dengan komunitas tari GSJ, saya juga terhubung dengan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di San Fransisco yang kemudian mengundang saya untuk mewakili Indonesia dalam beberapa acara budaya resmi. Saya sering kali terharu, panggung yang besar, penonton yang merupakan tamu negara, dan sambutan yang meriah– puluhan tahun lalu ketika saya mulai belajar menari, tak pernah akan menyangka kesempatan ini akan datang.
Ratih Menarikan Pahnyembrahma di San Francisco, Tari Pertama yang Dipelajari Puluhan Tahun Lalu
Menari untuk Indonesia. Selain berlatih menari dan mempelajari nilai-nilai historis budaya didalamnya, saya juga ‘dipaksa’ menguasai segala teknis persiapan mulai dari berias hingga berpakaian sendiri. Walau sudah lama menari, sebelum pindah ke Amerika Serikat untuk menempuh program PhD saya selalu dikelilingi orang-orang yang bisa membantu saya berhias. Tapi kali ini, sepertinya saya harus memampukan diri untuk melakukannya sendiri. Hasilnya belum maksimal, tapi juga tidak buruk — namanya juga belajar.
Ratih Berhias untuk Menarikan Tari Klasik Candra Metu dalam Sebuah Festival Budaya Asian American, Native Hawaiian and Pacific Islanders (AANPHI) 2023 di San Fransisco, Amerika Serikat
Begitulah salah satu cara saya tetap terhubung dengan akar budaya saya ketika studi, sambil tetap berkontribusi dalam kemampuan saya yang hari ini. Jadi, bagaimana dengan rencana kontribusimu?