Inspirasi untuk Memulai Gerakan Circular Economy dari Pengalaman Studi di Program Erasmus Mundus

0
1481
Yulia, Salah Satu Penerima Beasiswa Industrial Ecology dari Erasmus Mundus. Sumber: Dokumentasi Pribadi
Yulia, Salah Satu Penerima Beasiswa Industrial Ecology dari Erasmus Mundus. Sumber: Dokumentasi Pribadi

Yulia Ratnasari, lahir dan besar di Surabaya. Setelah menyelesaikan S1 di Universitas Surabaya dengan jurusan International Business Networking, dan melanjutkan S2 MBA di Taiwan pada tahun 2015. Setelah itu, Yulia bekerja di UNICEF sebagai financing, Danone Waters sebagai management trainee, dan kemudian membuka beberapa bisnis di Surabaya, seperti cafe/restoran dan toko tanaman. Saat ini,  sedang menyelesaikan master kedua dalam bidang Industrial Ecology dan Circular Economy di bawah program Erasmus Mundus Joint Master Degree.  Pada tahun ini, Yulia dipilih sebagai delegasi untuk ASEAN pada isu renewable energy dan green economy.

Latarbelakang Keinginan Studi di Luar Negeri

Awalnya, Yulia ingin punya dunia yang lebih besar. Waktu itu Yulia merasa dunia kecil, hanya tinggal dan kenal orang-orang di Surabaya. Terlebih lagi, selama ini, Yulia tinggal di rumah orang tua, jadi ingin lebih mandiri.

Tapi sebagai mahasiswa umur 20an dan belum bekerja, pastinya ada kendala finansial, terutama untuk biaya akomodasi dan hal-hal diluar dugaan. Walaupun beasiswa pertama di NTUST (National Taiwan University of Science and Technology) dan kedua dari Erasmus Mundus memberi tunjangan hidup per bulan, hal-hal tidak terduga perlu diperhitungkan.

Tantangan kedua adalah pindah-pindah negara dan sistem administrasinya yang agak ribet. Saat pindah ke Belanda, lalu ke Austria dan Cina, Yulia perlu registrasi ulang untuk residency, mencari housing, buka bank, dan sebagainya.

Dan tips yang penting di awal, kita harus tahu cara appointment dokter, dan kontak emergency negara yang baru.

Awal Ketertarikan Terjun ke Bidang Circular Economy

Sewaktu Yulia bekerja di Danone, departmen tempatnya bekerja sedang berinovasi untuk menciptakan botol 100% recycle PET, yang merupakan botol pertama di Indonesia yang terbuat dari 100% sampah plastik daur ulang. Aqua Manifesto membuatnya tertarik pada isu-isu seputar lingkungan dan social empowerment, dan ingin berkontribusi pada sustainability.

Tapi Yulia sadar, sustainability itu mutidimensi: gabungan dari ilmu sosial dan teknik. Yulia ingin memperluas disiplin yang sebelumnya, yang lebih mengarah ke keilmuan sosial dan diplomasi internasional, untuk ke arah ekologi, teknik lingkungan, dan tentunya, coding. Yulia belajar sendiri (self-learned), tapi merasa membutuhkan adanya kurikulum jelas, networking, dan lingkungan yang mendukung. Sayangnya, untuk studi lebih lanjut, pada umumnya membutuhkan, background S1 yang sama dari disiplin yang mirip. 

Luckily, Yulia diterima program Erasmus Mundus dalam bidang Industrial Ecology / Circular Economy, yang mayoritas universitasnya fokus pada ilmu teknik. Program ini melibatkan empat universitas di tiga negara: Leiden University dan TU Delft di Belanda,University of Graz di Austria; dan terakhir Yulia memilih Tsinghua University di Tiongkok, untuk memahami bagaimana negara manufaktur dan emerging dapat menerapkan sirkular ekonomi.

Tidak mengeneralisasi, tapi di kampus Yulia lebih result-driven, lebih menekankan pada hasil daripada hanya kehadiran mahasiswa di kelas. Tidak ada nilai untuk kehadiran atau “ongkos tulis”. Nol ya nol.

Yang menarik, debat antara murid dengan profesor sangat normal.. tidak ada budaya senioritas berlebih yang tidak substantif. Disini profesor dan murid serasa memiliki derajat yang sama dan hubungannya dua arah. Bukan mendikte. Mereka lebih terbuka untuk berdiskusi dan eksplorasi bersama. Tidak ada yang malu mengakui kalau tidak tahu, termasuk profesornya. Ini sangat penting, karena hanya dari ketidaktahuan dan rasa penasaran, pengetahuan bisa berkembang. Kelas menjadi hidup dan kelas menjadi ajang kontes mini untuk menguji hipotesa dan paham-paham baru. 

Inspirasi untuk Memulai Gerakan Circular Economy dari Pengalaman Studi di Program Erasmus Mundus

Aktivitas Penanaman Manggrove. Sumber: Instagram Karbon Biru

Pengalaman yang Dipelajari untuk Dibawa Kembali 

Circular economy adalah disiplin baru yang mengeliminasi konsep sampah.. berbeda dengan linear ekonomi yang cuman “ambil, konsumsi, lalu nyampah”’.

Banyak orang di Indonesia familiar dengan tiga R: recyling, reduce, dan reuse, dan terbatas pada plastik. Namun, konsep sirkular ekonomi itu sangat luas, mencakup sembilan R, dan diterapkan pada semua kategori produk, termasuk biomasa, furnitur, air, gas dan semua material di Bumi. Ini menunjukkan bagaimana circular economy berbeda dari linear economy, di mana produk hanya dikonsumsi dan dibuang. Dalam circular economy, sampah dinilai sebagai ‘resource berharga’, atau input, menutup siklus industri.

Yulia belajar banyak hal teknis di TU Delft dan Leiden, seperti coding dan perhitungan emisi dalam produksi. Misalnya, membandingkan emisi antara botol plastik dan botol kaca dari produksi hingga akhir hayat produk. Selain emisi, juga memperhitungkan dampak manusia dan lingkungan lainnya. Semuanya dihitung dalam life cycle  assessment (LCA).

Inspirasi untuk Memulai Gerakan Circular Economy dari Pengalaman Studi di Program Erasmus Mundus

Menanam Mangrove, Salah Satu Blue Trees Penyerap Karbon Dioksida. Sumber: Instagram Karbon Biru

Di China, Yulia memilih mengambil tesis yang relevan dengan Indonesia. Pada tahun 2021, UNDP (United Nations Development Programme) Indonesia dan Bapennas menerbitkan asesmen tentang dampak transisi sirkular ekonomi, dan karena terbukti berdampak positif, Indonesia berkomitmen untuk menerapkan sirkular ekonomi. Tesis Yulia merancang proposal monitoring framework untuk mengawasi transisi dan dampak implementasi sirkular ekonomi di Indonesia, sebagai langkah selanjutnya untuk Indonesia. Banyak negara yang sudah menformalisasi monitoring framework ekonomi sirkular, seperti Eropa, China, Kolombia, dan Jepang; dan Yulia belajar dari Tsinghua University yang menjadi partner institusi pemerintah untuk mengevaluasi penerapan ekonomi sirkular. Walaupun sudah banyak diadopsi, sistem indikator ini tidak bisa langsung copy-paste karena setiap negara memiliki kondisi dan prioritasnya sendiri.

Yulia menerapkan metode Economy-wide Material Flow Analysis (Ew-MFA), di mana melihat Indonesia dari sisi material: aliran masuk dari import atau ekstraksi dari alam, tertimbun dan dipakai di masyarakat, dan keluar ke alam atau ke negara lain dalam bentuk produk, sampah, dan emisi. Ew-MFA menjadi dasar kesiapan Indonesia dalam menerapkan ekonomi  sirkular dari sisi mass balance fisika. Pengalaman dan pembelajaran dari research ini diharapkan dapat dijadikan acuan untuk perencanaan dan implementasi ekonomi sirkular di Indonesia.  

Inisiasi Komunitas Karbon Biru yang Berfokus untuk Pengurangan Emisi Gas Karbon Dioksida

Perubahan lingkungan terjadi gradual dan kadang tidak disadari, khususnya terkait kondisi air dan erosi tanah. Selama di Eropa, Yulia belajar tentang biogeochemical cycle, termasuk carbon, hydrogen, nitrogen, phosphorus cycle. Yulia tertarik pada konsep Carbon Capture and Sequestration (CCS), di mana karbon dioksida yang terjebak dalam bentuk gas diambil dan disimpan di dalam tanah atau digunakan untuk keperluan lain (Carbon Capture and Utilization, CCU). Yulia juga sangat passionate tentang limbah air.

Indonesia memiliki akses pesisir yang besar sebagai negara maritim, dan pesisir yang dibiarkan telanjang itu berbahaya. Dampak negatifnya bisa ke siklus karbon, dan tentunya erosi dan bencana alam. Mangrove (blue trees) memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menyerap karbon, rata-rata 5-10x lebih besar daripada pohon hijau dan menyimpan karbon ke dalam biomassa dan sekuestrasi ke tanah melalui akarnya yang kuat dan menusuk-nusuk. Akarnya juga dapat memecah ombak dan filter udara dengan kadar garam tinggi.

Daripada investasi ke gray infrastructure, beberapa daerah di Indonesia sangat relevan, murah, dan menguntungkan untuk menggunakan mangrove sebagai ‘pagar’ alam untuk menopang ekonomi biru. Yulia memilih nama Karbon Biru agar konsep ini bisa mencakup lebih dari sekadar mangrove, tapi juga termasuk spesies lain seperti seaweed dan seagrass.

Yulia mendapatkan dana sebesar €10.000 sebagai kompetisi “INNO Challenge 2022” yang diadakan oleh WWF (World Wildlife Fund) Belanda.

Inspirasi untuk Memulai Gerakan Circular Economy dari Pengalaman Studi di Program Erasmus Mundus

Aktivitas Karbon Biru di Surabaya. Sumber: TIMES Indonesia

Saat ini, proyek Karbon Biru baru memiliki chapter di Indonesia. Fokus utama kami adalah berkolaborasi dengan pemilik tambak, sehingga kami dapat menanam mangrove di area tambak untuk mengurangi erosi dan meningkatkan kualitas air. Proyek ini berfokus pada penerapan solusi berbasis alam (nature-based solutions) untuk memperbaiki lingkungan dan mendukung ekonomi biru.

Selama ini, kami lebih banyak berkolaborasi dengan mitra di kota-kota besar seperti Surabaya. Namun, ke depannya, kami ingin menjangkau daerah-daerah di luar kota untuk memberikan dampak yang lebih nyata. Sebagai contoh, ketika air masuk ke dan keluar dari tambak, mangrove yang ditanam dapat menjernihkan air dari kotoran dan menyerap nitrogen dan fosfor. Kepiting dan kerang pun bisa tumbuh baik di area bakau, dan pemilik tambah mendapatkan pendapatan ganda.

Yulia dan tim berusaha mengubah pandangan masyarakat tentang lingkungan. Banyak orang berpikir bahwa pembangunan dan ekonomi harus selalu berbanding terbalik dengan konservasi alam. Namun, kami ingin menunjukkan bahwa solusi berbasis alam seperti Karbon Biru dapat menciptakan manfaat ganda, yaitu melindungi lingkungan, masyarakat, dan mendukung pertumbuhan ekonomi lokal.

Pesan Penutup untuk Semangat Studi ke Luar Negeri dan Menerapkan Ekonomi Sirkular

Untuk teman-teman pembaca artikel ini, Yulia memiliki beberapa pesan. Pertama, bagi yang berencana melanjutkan studi ke luar negeri, peluang ada banyak, dan kadang kita miskin informasi. Mengetahui peluang dan meningkatkan kualifikasi adalah kuncinya. Dan jangan capek ditolak.

Kedua, jangan puas dengan pencapaian yang mediocre. Banyak dari kita ingin memperbaiki hidup, tertapi tidak mau bergerak dari zona nyaman. Kerja keras tidak akan menghkianati hasil. 

Ketiga, bagi pelaku bisnis, jangan terjebak dalam pikiran hitam atau putih mengenai bisnis yang sustainable. Sustainability itu bukan konsep binary, tetapi lebih ke sebuah tingkatan atau taraf (degree). Kita bisa mengevaluasi business model kita, dan mengadopsi prinsip ekonomi sirkular ke salah satu blok business model.

Terakhir, Yulia berharap anak muda Indonesia bisa menjadi long-life learner (pembelajar sepanjang hayat) yang menghargai pengetahuan. Anak muda bisa menjadi generasi yang dapat mencapai hal-hal yang besar, yang membuat dunia lebih baik. Jangan hanya ngeksis di media sosial, ya!

***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here