Menjadi mahasiswa Muslim di Eropa, terutama di era skeptisme terhadap Islam, merupakan pintu petualangan baru. Kompleksitas global, mulai dari dari isu terorisme, konflik politik antarnegara, serta konflik antara nilai-nilai yang berlaku di masyarakat memberikan latar belakang yang cukup menantang dalam kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang saat ini dialami seseorang bernama Dinda yang berusia 23 tahun. Baginya, berkuliah di University of Bern, Swiss merupakan salah satu life-changing decision di usia 23 tahun ini karena ia harus meninggalkan Indonesia sementara waktu dan bermuara di Benua Biru sebagai rumah kedua.
Begitu banyak pelajaran baru yang didapatkan Dinda selama berkuliah di Eropa karena ia berkeliling ke beberapa negara di Eropa. Bagaimanakah kisah Dinda sebagai mahasiswa muslim yang menempuh kuliah di Swiss dan perjalanannya keliling negara-negara di Eropa?
Simak pengalaman lengkap Dinda di artikel di bawah ini.
***
Benar kata Bung Rhoma Irama dalam lagunya “Kalau sudah tiada, baru terasa”. Kenikmatan mudahnya menjadi muslim di Indonesia, dengan fasilitas ibadah, dukungan dalam beragama, dan kemudahan lainnya, baru terasa saat berada di Eropa. Eksistensi Tuhan diakui di Indonesia melalui Pancasila, berbeda dengan sebagian besar negara di Eropa yang jarang mengatur kehidupan beragama secara eksplisit. Kehidupan beragama di sini menjadi masalah pribadi yang terpisah dengan kehidupan sosial dan profesional. Mahasiswa Muslim dihadapkan pada tantangan seperti jadwal sholat yang tidak selalu cocok dengan jadwal perkuliahan serta perubahan musim yang dapat mempengaruhi ibadah. Tak hanya mengenai kehidupan beragama, cuaca dan iklim, tetapi juga aspek lainnya. Maka tidak heran kalau banyak mahasiswa Indonesia yang merasa nasionalisme dan kedekatannya dengan Tuhan jauh lebih meningkat setelah belajar di luar negeri.
But as people said, “every cloud has a silver lining”. Kesempatan untuk menempuh pendidikan di Swiss selama kurang lebih dua tahun menjadi “cahaya” untuk “fantasyiruu fil ardhi” —bertebaran di muka bumi. Maka, setelah menyelesaikan ujian semester pertamaku di University of Bern (Spring Class 2023), pikiran penuh dengan keinginan untuk istirahat dari kebisingan buku dan kepadatan jadwal perkuliahan. Saatnya untuk memperkaya pembelajaran dari keindahan alam, budaya, dan sejarah yang luar biasa, juga meresapi “kematangan” spiritual dalam hidup.
Perjalanan memperkaya wawasan ini dimulai ketika summer break 2023. Aku memutuskan untuk eksplorasi jalur darat menggunakan Interrail Global Pass yang dapat menjelajahi lebih dari 30 negara, hemat biaya dan fleksibilitas waktu serta jadwal perjalanan tanpa khawatir ketinggalan kereta. Hanya 264 euro untuk mengelilingi 5 negara! Cocok untuk kantong mahasiswa!
Prague, Republik Ceko: Jelajah Jantung Eropa
Perjalanan dimulai di Prague, kota yang dikenal paling indah sejak abad pertengahan. Sering disebut sebagai “Kota 100 Menara” atau “Jantung Eropa”. Saat memasuki alun-alun kota dengan cobbled streets dan bangunan abad pertengahan yang menakjubkan, aku merasa terhanyut dalam aura kejayaan peradaban Islam, yang tercermin dalam bentuk seni dan arsitekturnya yang menawan. Charles IV dan Jan Hus, seorang pejuang keadilan dan kebebasan beragama, menjadi figur penting di Prague dan diabadikan di atas alun-alun Old Town Prague. Tak hanya itu, ada jam astronomi dan museum yang didedikasikan untuk tokoh terkenal lainnya termasuk Franz Kafka. Terakhir, yang tak kalah terlewatkan dari Prague ialah makanan khasnya seperti Trdelník yang manis dan gurih cocok untuk menemani perjalanan!
Wina, Austria : Harmoni 99 Cahaya di Langit Eropa
Dari Prague, berlanjut ke Wina, dengan arsitektur klasik, musik (Mozart, Beethoven), dan sejarah Kaisar Leopold I, memberikan pengalaman harmoni seni dan kekaisaran. Bukit Kahlenberg dikenal sebagai A Place of Remembrance tidak hanya menawarkan pemandangan yang memukau dari atas, tetapi juga menyimpan sejarah perang melawan ekspansi Turki Ottoman yang dipimpin oleh Kara Mustafa Pasha pada 1683, hingga menjadi simbol penghormatan pada peristiwa bersejarah. Tak hanya itu, aku juga mengunjungi perpustakaan University of Vienna yang menjadi lokasi syuting Film 99 Cahaya di Langit Eropa.
Salah satu ciri khas yang membanggakan bagi Wina selain arsitektur bergaya barok yang megah ialah kafe-kafe yang ramai seperti Cafe Central. Setiap hidangan, dari wiener schnitzel hingga apfelstrudel, menyisakan rasa ingin kembali lagi ke Wina!
Paris, Perancis : Garis Lurus Menuju Ka’bah
Tak ingin melewatkan perjalanan ke kota cinta yang memikat, ialah Paris, yang memainkan peranan penting dalam Revolusi Perancis pada 1789. Awal abad ke 19, Napoleon Bonaparte berhasil mendirikan Kekaisaran Perancis hingga menjadi pusat kekuasaan dan kemewahan. Menara Eiffel yang dirancang oleh insinyur Gustave Eiffel dalam peringatan 100 tahun Revolusi Perancis akhirnya dapat kulihat dengan mata kepala sendiri hingga memberikan rasa haru di dada. Amazing!!! Ditambah, Museum Louvre yang memamerkan banyak koleksi seni dan artefak, termasuk lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci dan Bunda Maria. Tak cukup sehari untuk menyusuri seluruh bagian Louvre, guys! Juga, Monumen Arc de Triomphe yang dibangun untuk menghormati kemenangan tentara Prancis. Surprisingly, tampaknya monumen tersebut memiliki garis lurus imajiner (Axe Historique) yang tepat membelah kota Paris. Jika garis tersebut ditarik lurus sampai ke timur, maka garis tersebut tepat mengarah ke Ka’bah, Mekah. MasyaAllah.
Budapest, Hungaria : Memeluk Kemegahan Arsitektur dan Semangat Perdamaian
Buda dan Pest, dua kota yang dibelah oleh Sungai Danube, menyatu pada tahun 1873. Buda, yang terletak di sebelah barat sungai menyuguhkan keindahan sejarah, termasuk istana megah di Bukit Buda (markas para raja Hongaria) dan benteng penuh sejarah seperti Fisherman’s Bastion. Di seberang sungai, Pest menawarkan kehidupan kota yang dinamis dan bersemangat. Terdapat Parlemen Hongaria yang ikonik dengan arsitektur gotik yang megah. Sebelum meninggalkan Budapest, jangan lupa untuk menikmati Goulash yang menunjukkan kebanggaan Hungaria!
Pisa, Italia : Memahami Pondasi Matematika dan Keindahan yang Miring
Saat tiba di Pisa, aku terpesona sejarah yang terkandung dalam setiap sudut kota. Katedral Pisa yang terkenal dengan Menara Miringnya, menjadi simbol kebanggaan bagi negara ini. Salah satu tokoh terkemuka dari Pisa adalah Fibonacci, seorang matematikawan Italia pada abad ke-12. Ia terkenal karena memperkenalkan deret Fibonacci kepada dunia sebagai konsep matematika yang penting dalam sejarah. Dan.. jangan mengaku sudah ke Italia jika belum mencicipi pasta dan gelato yang lezat!
Polandia : Merah dan Putih Penderitaan, Perlawanan, dan Kecemerlangan
Negara terakhir yang berkesan ialah Polandia, yang komposisi warna benderanya sama dengan Indonesia. Tiba di negara ini mengingatkanku pelajaran yang ada di buku sejarah ketika masih di bangku sekolah. Polandia menjadi pusat konflik dengan pendudukan yang diawali oleh Jerman Nazi dan kemudian diikuti oleh Uni Soviet hingga mengakibatkan penderitaan termasuk kebijakan represif, deportasi, dan Holocaust. Pemberontakan Warsawa melawan hal tersebut mencerminkan semangat perjuangan rakyat menyongsong kemerdekaan nasional. Keindahan arsitektur Polandia merefleksikan warisan sejarahnya. Kota Krakow memamerkan arsitektur abad pertengahan sementara Warsawa, yang hancur selama perang, bangkit kembali dengan rekonstruksi yang memukau, termasuk Kastil Kerajaan dan Kota Tua. Tak ketinggalan, makanan khas seperti pierogi, semacam dumpling, menjadi bucket list ketika mengunjungi Polandia!
Dalam perjalanan pulang menuju Bern, Swiss, akhirnya aku sadar bahwa Eropa bukan hanya sekedar Menara Eiffel, Mozart, Menara Pisa, atau bahkan stadion-stadion raksasa milik liga-liga Eropa penguasa jagad sepak bola dunia. Walaupun sebagian besar adalah negara minoritas muslim, Eropa menyimpan cerita tersendiri, terutama peradaban Islam yang begitu agung sehingga dapat menjadi tempat ‘ziarah’ baru bagi umat Islam.
Terakhir, jangan ragu untuk berinteraksi dengan orang-orang lokal; setiap cerita adalah harta yang menunggu untuk dibagikan. Dari Indonesia hingga Polandia, jejak peradaban Islam, semangat perjuangan, dan pondasi ilmiah melibatkanku dalam kisah-kisah yang membentuk wajah Eropa yang kita kenal hari ini. I would say “Travel makes you humble; recognising what a tiny place you occupy in the world” . Stay tuned for more soul-stirring adventures!