Memaksimalkan Fasilitas Kampus Guna Mengatasi Perbedaan Sistem Akademik: Kisah Adaptasi Mahasiswa Indonesia di Negeri Maple

Apakah kamu siswa-siswi kelas XII dan bermimpi kuliah S1 di luar negeri dengan beasiswa? Vika Permata Joe, alumni Madrasah Aliyah Negeri 2 Gresik, adalah salah satu penerima Beasiswa Indonesia Maju (BIM) S1 Luar Negeri tahun 2023 di University of Toronto, Kanada. Di artikel ini, Vika akan berbagi cerita perjalanan kuliahnya di Kanada yang penuh tantangan dan juga kesan seperti tersesat di jalan, telat masuk kelas, begadang di perpustakaan dan cerita-cerita seru lainnya. Yuk simak cerita lengkapnya!

0
232
Vika bersama para penerima Beasiswa Indonesia Maju (BIM) di University of Toronto. Sumber: Dokumentasi Pribadi

Bagian 1: Proses Adaptasi 

Malam itu, di penerbangan terakhir saya menuju Kota Toronto, gemerlap cahaya kota di bawah menghiasi pandangan saya. Perasaan gugup dan keingintahuan bercampur aduk dalam hati saya yang tidak dapat saya jelaskan. “Saya benar-benar sudah di luar negeri. Mimpi besar saya itu kini tengah saya jalani.” Namun, di sisi lain, pikiran saya juga gelisah, “Bagaimana ya hari pertama kuliah nanti? Apa saya bisa beradaptasi dengan sistem akademik di sini?” Perjalanan selama 3 hari 2 malam itu sangat terasa mengesankan bagi saya, membuka ruang untuk setiap bayang-bayang baik dan buruk apa yang akan saya hadapi di lingkungan baru ini. Saat saya benar-benar telah sampai, saya mengambil bagasi dan bergegas ke lobi Bandara Internasional Pearson Toronto. Ketika kakak kelas saya menjemput dan menghampiri saya dari jauh, membawa orang-orang baik yang juga turut membantu kedatangan saya malam itu. Itulah kali pertama pertemuan saya dengan orang-orang baik dalam perjalanan saya di negeri orang yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Berkuliah ke luar negeri telah menjadi mimpi saya sejak lama. Sehingga, berkesempatan menjadi penerima Beasiswa Indonesia Maju (BIM) S1 Luar Negeri di Kanada tentu merupakan sebuah kebanggaan besar bagi saya. Antusiasme yang menggelora itu memenuhi diri saya begitu saya sampai di penginapan pertama saya. Benar, saat itu saya menghabiskan 2 malam pertama saya di AirBnB. Sebagai mahasiswa tahun pertama, sebagian besar teman-teman penerima beasiswa BIM seangkatan saya tinggal di asrama kampus. Namun, karena saya tertinggal deadline untuk mendaftar di asrama, saya menjalani tahun pertama saya dengan tinggal di luar kampus. Namun, saat itu saya terpaksa harus menetap di AirBnB akibat pembatalan sewa unit sebelumnya yang mengharuskan saya untuk mencari unit baru. 

Tentu menjadi hal yang menantang sekaligus pengalaman tak terlupakan bagi saya yang masih sangat bersemangat untuk mengeksplor daerah sekitar dan mencoba banyak hal baru. Saya masih ingat betul saat minggu pertama saya di sini, saya tersesat berkali-kali saat menggunakan Google Maps. Bahkan, saya pernah memutari sebuah perempatan 4 kali hanya karena titik lokasi saya tidak berada persis seperti yang saya lihat di handphone. Satu bulan pertama benar-benar saya habiskan untuk mengenal lingkungan sekitar, membuat diri saya familiar dengan tempat berbelanja, transportasi dan fasilitas publik, dan juga lingkungan kampus. 

Memaksimalkan Fasilitas Kampus Guna Mengatasi Perbedaan Sistem Akademik: Kisah Adaptasi Mahasiswa Indonesia di Negeri Maple

Vika saat minggu pertama tiba di University of Toronto, Kanada. Sumber: Dokumentasi Pribadi.

Bagian 2: Tantangan Berkuliah di Kanada 

Sebagai seseorang yang belum pernah mencicipi bangku kuliah, tentu menjadi tantangan tersendiri bagi saya menjadi seorang ‘mahasiswa’ yang tentunya sangat berbeda dari SMA, apalagi pengalaman pertama ini saya jalani di luar negeri yang pasti jauh berbeda dengan sistem akademik di Indonesia. Hari pertama saya kuliah menjadi kali pertama saya telat masuk kelas. Bukan karena saya telat pergi ke kampus, melainkan bermenit-menit saya habiskan untuk menjelajahi kampus guna mencari ruang kelas, hingga akhirnya saya menemukannya. Di situlah saya mengenal adanya ‘UofT Time’, dimana kelas biasanya dimulai 10 menit lebih lambat dari jam yang dijadwalkan. Selain itu, sebagai mahasiswa tahun pertama, kami diwajibkan mendaftar Program of Study (POst) di akhir semester 2, dimana kami dapat memilih antara gelar spesialist, double major, hingga satu major dengan dua minor. POst ini semacam jurusan yang kita pilih sebagai program studi selama kuliah sekaligus gelar yang akan didapat. Jadi, sangat memungkinkan untuk mahasiswa berpindah jurusan yang berbeda dari program yang dipilih saat diterima. Cukup berbeda dengan sistem di Indonesia yang wajib memilih jurusan sebelum berkuliah. Di Kanada, mahasiswa bisa meneruskan atau mengganti jurusan mereka di semester 2. 

Selama 2 semester yang telah saya jalani, salah satu sistem yang menarik bagi saya adalah adanya breadth requirement yaitu mengambil mata kuliah di luar jurusan. Hal ini bertujuan untuk mendiversifikasi pengalaman pendidikan mahasiswa di luar program studi utama. Saya ingat betul di semester pertama saya mengambil kelas theatre karena kelas itulah saya bisa bertemu salah satu teman baik saya sekaligus berkesempatan melihat live theatre di Toronto. Selain itu, terdapat opsi CR/NCR (credit/no credit) yang memungkinkan mahasiswa di UofT untuk mengambil sebuah mata kuliah dengan sks (CR) atau tanpa sks (NCR) yang akan terekam di transkrip akademik.

Saya baru menyadari bahwa sebelum saya berangkat untuk study abroad, tidak banyak orang yang berbicara mengenai academic pressure saat kuliah di luar negeri. Menurut saya, perbedaan sistem akademik yang ada juga memerlukan adaptasi, karena sangat memungkinkan bagi mahasiswa internasional untuk mengalami academic pressure ini. Di tahun pertama, saya benar-benar merasakan banyak emosi dan tidak memungkiri bahwa tekanan akademik itu nyata saya alami. 

Beradaptasi dengan sistem akademik yang berbeda di UofT menjadi perjalanan yang menantang bagi saya. Satu hal yang saya sadari menjadi perbedaan besar adalah adanya ekspektasi yang lebih tinggi dari dosen terhadap mahasiswa. Kami sangat diharapkan untuk bisa belajar mandiri di luar kelas dan dituntut untuk aktif serta berlatih lebih banyak dari handbook yang diberikan di kelas. Hal ini mendorong kami untuk memiliki jam belajar yang lebih intensif, bahkan di luar jam perkuliahan. Bahkan, sejauh ini saya dan teman-teman Indonesia pernah menginap di gedung Balden Wing kampus selama 2 hari tanpa pulang guna belajar mempersiapkan ujian (untungnya saat itu winter, jadi tidak mandi bukan masalah besar). Saya merasakan bahwa satu kali absen kelas saja bisa membuat saya merasa tertinggal jauh dari teman-teman sekelas, karena waktu di luar kelas seharusnya saya manfaatkan untuk mendalami materi yang diajarkan. 

Persiapan ujian juga menjadi sebuah tantangan tersendiri, karena materi yang diujikan seringkali sama namun dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Ditambah lagi, tidak ada kesempatan ‘remidi’ yang semakin membuat saya was-was di setiap ujian. Namun, saya juga sangat bersyukur karena di sini, setiap profesor dan asisten dosen memiliki office hour atau jam kerja setiap minggu, di mana mahasiswa dengan bebas dapat bertanya dan berdiskusi apapun dalam jam tersebut. Ditambah lagi profesor sangat santai dan chill kepada mahasiswa, bahkan profesor saya menjawab pertanyaan saya sembari menjulurkan kaki di atas meja layaknya seorang teman. 

Memaksimalkan Fasilitas Kampus Guna Mengatasi Perbedaan Sistem Akademik: Kisah Adaptasi Mahasiswa Indonesia di Negeri Maple

Pembelajaran di kelas dan suasana belajar mandiri dengan teman-teman Vika. Sumber: Dokumentasi Pribadi.

Bagian 3: Memanfaatkan Fasilitas Kampus untuk Menunjang Perkuliahan 
Guna mendukung adaptasi, saya juga memanfaatkan pelayanan dan fasilitas kampus untuk konsultasi mengenai study skills dan time management yang baik, bimbingan dalam menentukan kelas dan program, serta mengikuti workshop yang berkaitan dengan fakultas saya untuk memperluas networking. Saya juga berpartisipasi sebagai sukarelawan dalam beberapa event kampus dan di luar kampus untuk lebih berbaur dengan mahasiswa lokal sekaligus mengobati perasaan ‘homesick’ saya dengan keluarga dan teman-teman di kampung halaman.

Terlepas dari itu, berkebalikan dengan apa yang saya duga, populasi muslim di sini cukup banyak, termasuk di kampus saya. Bahkan, terdapat satu prayer room yang dilengkapi dengan tempat wudhu di toilet dekat prayer room. Sebagai seorang muslim, saya selalu berusaha menjaga wudhu saya agar tidak batal. Tidak hanya prayer room, di sini juga hampir selalu ada sholat berjamaah di setiap waktu sholat, sholat jumat, sholat ied, dan juga halaqah mingguan di mana kami dapat mendengarkan tausiah sekaligus mendapatkan makanan gratis yang diselenggarakan oleh Muslim Student Association (MSA) di kampus. Bahkan ketika ramadhan, mereka juga memberikan makanan gratis untuk berbuka selama beberapa minggu. Sehingga, culture shock ini justru menjadi hal yang sangat saya syukuri selama kuliah di University of Toronto, Kanada.

Memaksimalkan Fasilitas Kampus Guna Mengatasi Perbedaan Sistem Akademik: Kisah Adaptasi Mahasiswa Indonesia di Negeri Maple

Vika berpartisipasi sebagai sukarelawan di ElleHacks 2024 di York University dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Toronto. Sumber: Dokumentasi Pribadi.

Bagian 4: Pelajaran Berharga dari Berkuliah di Luar Negeri

Perjalanan saya selama hampir satu tahun menjadi mahasiswa Indonesia di University of Toronto, Kanada mengajarkan saya bahwa penyesuaian diri dengan perbedaan sistem akademik juga menjadi tantangan besar sebagai mahasiswa internasional di luar negeri. Namun, saya percaya bahwa setiap rintangan adalah kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Dengan memanfaatkan fasilitas kampus dan tidak takut untuk mencari bantuan dari para profesor dan asisten dosen, kita dapat mengatasi setiap hambatan dengan lebih percaya diri. Semakin kita berinteraksi dengan mahasiswa lokal yang sudah terbiasa dengan sistem akademik mereka, akan semakin mudah bagi kita untuk beradaptasi dan menjadi terdorong untuk bisa memberikan performa terbaik kita dalam akademik. Selain itu, penting untuk menempatkan kita di lingkungan yang positif, di mana kita dapat saling mendukung untuk mengejar setiap ketertinggalan dan meraih potensi terbaik kita. Jika mulai terasa berat, berhenti sejenak dan lakukan apa yang kita suka, bahkan istirahat dengan sekedar berkeliling kampus atau mengunjungi restoran sushi dekat kampus. Karena banyaknya pressure yang mungkin tidak sering ditampakkan mahasiswa ketika sedang berkuliah di luar negeri, healing dan liburan menjadi hal yang penting untuk mengatasi tekanan akademik yang ada ini.

Dokumentasi Vika dalam melewati 4 musim di Toronto, Kanada. Sumber: Dokumentasi Pribadi.

Bagian 5: Pesan kepada Para Pemburu Beasiswa

Sebagai paragraf penutup, saya ingin menyampaikan, jangan takut untuk bermimpi besar. At least, try it please. Just give your dream a chance. Setidaknya kita sudah memperjuangkan mimpi itu. Jika orang lain menganggap mimpimu terlalu besar, maka buktikan bahwa sesungguhnya kamu bisa menggapainya.

***

Beasiswa Indonesia Maju (BIM) Bergelar Luar Negeri dan Dalam Negeri adalah beasiswa pendidikan di bawah Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang diperuntukkan untuk peserta didik/lulusan yang berprestasi pada bidang akademik dan non-akademik untuk menempuh gelar S1/S2/S3 di luar negeri dan dalam negeri. Beasiswa ini sudah dibuka mulai 2 Mei 2024.

Beasiswa Indonesia Maju (BIM) Program Persiapan S1 Luar Negeri adalah program beasiswa yang diberikan guna mempersiapkan peserta didik berprestasi pada jenjang pendidikan menengah untuk memperoleh kesempatan pendidikan sarjana di luar negeri. Beasiswa ini diperuntukkan khusus untuk peserta didik kelas XI SMA/MA sederajat di semester 1.

Informasi lebih lengkap: https://bim-pusatprestasinasional.kemdikbud.go.id 

***

Editor: Adibah

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here