Juni merupakan bulan yang mendebarkan bagi saya di tahun 2012. Sebuah letter of acceptance dari Hanzehogeschool Groningen datang menghampiri kotak masuk di email saya. Surat elektronik ini merupakan kunci mimpi-mimpi saya selama ini untuk belajar di Eropa.
Sejak SMA saya sudah mendambakan untuk dapat belajar di benua biru ini. Sayang, saat itu segala aplikasi saya untuk mendaftar di salah satu perguruan tinggi di Jerman ditolak mentah-mentah oleh orangtua saya. Mereka bilang saya belum bisa hidup mandiri. Well, baiklah mungkin ini bukan kesempatan saya.
Memulai dunia perkuliahan di Universitas Gadjah Mada (UGM), membuat saya memiliki banyak kesempatan berdiskusi hangat dengan dosen-dosen yang ramah dan juga memetik pelajaran dari mereka bagaimana nyamannya hidup sederhana namun bahagia di Eropa selagi mereka menjadi mahasiswa disana. Jurusan saya, Teknik Sipil dan Lingkungan UGM memiliki program Double Degree di tahun keempat studi S1. Bagi yang berminat harus dapat melengkapi berbagai syarat seperti IPK minimum, IELTS/TOEFL minimum, dan tidak lupa motivation letter. Setelah melalui proses yang panjang, saya dan tiga teman saya berangkat juga ke Belanda, lebih tepatnya di kota Groningen.
Program ini mendapat dukungan dari DIKTI dan Hanzehogeschool Groningen sendiri dalam bantuan tuition fee dan living cost.
Universitas Gadjah Mada |
Belanda, merupakan salah satu negara yang awalnya saya tidak begitu menarik untuk saya melanjutkan studi disana. Pertama karena saya sangat German-minded: dimulai dengan belajar bahasa Jerman dari SMA dan saya lanjutkan mengikuti kursus bahasa di masa perkuliahan. Kedua, karena saya pecinta sepakbola, dan dalam hal ini saya tidak menyukai permainan tim nasional Belanda. Mungkin ini konyol ya, tapi memang menurut saya harus banyak motivasi – termasuk dari hal-hal kecil – jika Anda ingin bersekolah di luar negeri.
Hidup di luar negeri merupakan pintu perubahan segala cara berpikir kita, entah dari pengaruh budaya, diskusi, kebiasaan para orang asing di sekeliling kita, bahkan makanan pun bisa mempengaruhi pola hidup kita. Dan harus ada triggers yang banyak sehingga bisa menjaga kita untuk keep on our track.
Program gelar ganda ini sungguh memikat saya. Karena selain mendapatkan dua gelar (B.Eng dan S.T), saya juga dapat mengerjakan skripsi saya via magang di salah satu perusahaan di Belanda. Syukur-syukur bisa juga mendapat pekerjaan di Belanda, seperti yang senior-senior saya rasakan di tahun-tahun sebelumnya. Beberapa senior bahkan ada juga yang terikat janji suci dengan beberapa pria Belanda.
Hanzehogeschool Groningen, merupakan salah satu University of Applied Sciences di Belanda. Fokus utama di Hogeschool ini adalah keahlian Hidraulika/Hidrologi. Saya akan jelaskan terlebih dahulu beberapa spesialisasi di Teknik Sipil secara umum. Jika Anda tertarik untuk membangun peradaban (civilization) secara teknis ada empat bidang yang bisa dikuasai: Struktur Bangunan, Hidraulika/Hidrologi, Transportasi, dan Geoteknik.
Belanda, yang tiga per empat wilayahnya berada di bawah permukaan air laut, mencurahkan banyak porsi edukasi dan riset tentang hidraulika/hidrologi. Tidak heran jika berbagai teknologi tahan banjir, sanitasi, resapan, sangat maju dan canggih disini.
Walaupun sebenarnya spesialisasi keinginan saya bukan di Hidraulika, tetapi di Transportasi, saya anggap fase dua belas bulan ini adalah bagaimana kita belajar banyak hal di Belanda. Menurut pendapat saya, akan terasa lebih mengena dan menantang ketika kita dapat mengenali suatu hal dari banyak sudut pandang. Seperti saya dahulu sangat membenci subjek-subjek hidraulika di perkuliahan, dan semester awal disini saya dihadapkan dengan itu setiap hari. Anda akan dibuat untuk menghargai berbagai disiplin ilmu. Yang paling penting menepis kebiasaan para freshmen dalam mendiskriminasikan suatu subjek. Saya yakin tidak ada subjek yang paling penting dan paling tidak penting. Ilmu itu adalah variasi buah pemikiran berbagai macam pribadi dari latar belakang yang berbeda.
Kemandirian juga merupakan hal yang akan menjadi sesuatu produk paling mahal dari hasil kita belajar di luar negeri. Sebagai contoh, karena Belanda merupakan negara berlahan datar, penggunaan sepeda merupakan keharusan bagi tiap warganya. Negeri Oranje ini memiliki jalur khusus sepeda tersendiri, dengan lebar yang sanggup menampung 3-4 sepeda dan bercat merah, cukup untuk mengidentifikasi bagaimana dihargainya pengguna sepeda disini. Rute jalur sepeda pun dibuat lebih dekat dan pendek daripada kendaraan pribadi dalam menjangkau pusat-pusat perbelanjaan, kampus, dan sebagainya. Hal ini merupakan doktrin positif para city planner Belanda untuk membuat masyarakat menggunakan sepeda ketimbang kendaraan pribadi. Bahkan di daerah centrum (pusat kota) didominasi penggunaan sepeda dan pejalan kaki saja tanpa ada rute untuk kendaraan besar. Menarik sekali, bagaimana pejalan kaki dan pengguna sepeda benar-benar memiliki kasta tertinggi di adab transportasi negeri ini. Belanda juga terkenal dengan infrastruktur transportasi umum yang sangat lengkap dan tepat waktu.
Rute sepeda di Belanda |
Bagi para pendatang, beruntung sekali Groningen memiliki Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) yang terbilang cukup besar di Eropa. PPI Groningen memiliki anggota sebanyak 200 pelajar dari kategori Bachelor, Master, hingga PhD, dengan komposisi yang terbilang cukup seimbang.
Jadi di Groningen bisa dibilang selain kuliah, kami juga memiliki banyak kegiatan, pengajian, patrimonium gereja, dan kegiatan lainnya. Disini merupakan ajang yang menarik untuk mengembalikan lagi diri kita ke kultur Indonesia: guyub (berkumpul bersama), gotong royong, dan sebagainya. Karena sebagian besar para generasi muda di Belanda sudah memiliki paham atheis, mereka berpikir sangat bebas dan logis. Saya tidak mengatakan baik atau buruk dari atheis itu sendiri, tapi sungguh berkumpul bersama di PPI akan membuat kita merasa di rumah dengan santapan Indonesia yang biasanya dimasak bersama-sama. Lingkungan di PPI Groningen juga mempengaruhi kita, yang biasanya lalu ter’doktrin’ untuk menjadi dosen 🙂
PPI Groningen |
Ilmu lain saya dapatkan ketika memasuki semester genap disini. Semester ini merupakan waktu bagi saya untuk mengerjakan thesis (skripsi) sekaligus magang. Untuk mendapatkan magang disini, saya sarankan untuk segera apply ke perusahaan di awal Desember atau akhir November (dimana magang dimulai saat Februari pertengahan). Karena banyak sekali teman saya yang akhirnya tidak mendapat magang karena terlalu dekat waktu hunting perusahaan dengan dimulainya Stage, istilah magang dalam bahasa Belanda. Saya termasuk golongan yang beruntung, karena sering jahil mengirim email ke berbagai perusahaan, di akhir Desember saya sudah diterima di salah satu perusahaan riset transportasi dan logistik, Panteia, di kawasan perkantoran Zoetermeer. Walaupun sebelumnya saya sudah ditolak satu konsultan bandara, dan dua perusahaan operator bandara. Alhamdulillah, akhirnya saya tertampung di Divisi Strategic Research.
Magang di Belanda sangatlah sulit pada minggu awal, karena mereka terbiasa menggunakan Dutch dalam percakapannya. Pribadi mereka yang sangat individuel membuat saya harus aktif mencari topik yang tepat dalam memulai percakapan. Saya juga merupakan satu-satunya orang Asia yang masih dalam status bachelor yang menjadi interns disana, sehingga saat waktu makan siang di kantin, sepertinya hanya saya yang tidak mengerti percakapan mereka. Terdiri dari lulusan master dan PhD, membuat perusahaan ini memiliki banyak ahli dalam bidang transportasi dan logistik. Inilah yang membuat saya senang, karena saya memiliki banyak mentor untuk berdiskusi tentang skripsi saya. Ada pula berbagai profesional dari bidang Port Development, bidang skripsi saya. Kebiasaan mereka dalam meminum kopi dalam jumlah yang banyak juga bisa mengulas senyum lucu di wajah saya. Karena saya tidak suka kopi, dan kebiasaan di Belanda adalah mengambilkan kopi untuk teman seruangan, saya harus menahan napas jika mengambilkan kopi untuk mereka. Dan saya pun hanya minum cokelat panas 🙂 Di perusahaan ini saya pun makin cinta dengan bidang riset, karena menurut saya riset itu benar-benar menggunakan segala keahlian eksplorasi kita dalam memecahkan suatu masalah, bukan hanya bekerja pakem di SOP yang sudah ada. Dari riset pula, saya mendapatkan kesempatan mudik sebentar selama tiga minggu ke Indonesia, dalam rangka mengambil data di Kementerian Perhubungan dan juga Kementerian Perdagangan di Jakarta. Syukur Alhamdulillah.
Mungkin hanya di Belanda, saya dapat adu debat dengan bos saya di perusahaan. Baiklah, mereka tidak suka dipanggil bos. Bahkan saya dimarahi ketika memanggil mereka dengan Sir atau Meneer. “Please just use my real name” kata mereka.
Para warga negara Belanda suka melontarkan pertanyaan untuk mengetahui suatu jawaban bukan untuk menyudutkan. Itulah point yang saya sangat suka disini. Mereka tidak pernah menggunakan nada tinggi, tapi benar-benar berdasarkan keingintahuan mereka.
Ilmu bukan hanya sesuatu yang saya dapat dari angka, selain kemandirian dan perilaku mereka, saya pun mulai terbiasa makan salad dan roti di tiap harinya. Saya mulai malas memasak nasi dan lauk, beda dari yang saya lakukan di bulan awal di Groningen. Warga Belanda lebih suka memakan makanan dingin dan simple di waktu sarapan, makan siang, dan hot meal di makan malam. Bandingkan dengan kita yang selalu makan berat dan panas di tiga kali waktu makan. Terkikis pula keahlian saya dalam menahan pedas. Ketika pulang ke Indonesia, saya sempat sakit perut dua kali hanya karena makan sambal terasi hangat buatan Mama. Sepertinya saya harus mencoba membuat sambal sebagai pengganti mayonnaise disini agar tidak lupa lidah jowo saya ..hehe.
Mengekstrak ilmu di Groningen inilah bekal saya untuk bisa mengeksplor lebih jauh apa yang sesungguhnya tidak pernah ada di benak kita. Bukan sekedar angka, tulisan namun juga citarasa.
Saya mungkin dulu tidak bisa membayangkan bahwa hanya dalam satu tahun sudah harus belajar hidraulika begitu intens, sudah handal bersepeda dengan tangan tanpa harus memegang stang, sudah (agak) tahan dengan bau kopi, sudah tidak muntah ketika makan salad pure, sudah bisa berdebat dengan bos sendiri, sudah tidak tahan makan sambal, dan bisa menangis haru menyanyikan Indonesia Raya.
Groningen Canals |
Tuking kamulyan iku saka anggone sregep
(Sumber kebahagiaan itu didapat dari kerja keras)