Mimpi, Sekolah, dan Jendela Dunia: Bagian 1

7
7771

Jika kita tengok sejarah Indonesia dalam konteks Nuswantara (Nusantara), rasanya kok ahistoris teman-teman menamakan forum ini sebagai Indonesia Mengglobal. Namun ketika saya lihat lagi bahwa di bawah titel tersebut ada kalimat Tempat Diskusi dan Sumber Informasi Aplikasi dan Beasiswa Pendidikan Luar Negeri, okelah, ini bisa menjadi wahana yang sangat positif bagi saya dan siapapun tidak saja untuk menguatkan ke-Indonesiaan, tetapi juga memberi ruang yang lebih luas kepada putra-putri terbaik bangsa, terutama “anak kampung” atau cah ndeso yang memiliki mimpi besar untuk sekolah di luar negeri.

Sebagai salah satu “anak gunung” (istilah kampung atau ndeso sepertinya masih terlalu “modern” mengingat latar belakang desa tempat lahir saya) yang beruntung bisa mesarakan merasakan sekolah di luar negeri dengan beasiswa, saya merasa terpanggil dan memiliki tanggung jawab moral untuk menularkan semangat dan kepercayaan diri kepada adik-adik kawan-kawan saya terutama yang di “gunung” sana yang saya yakin tidak kalah cerdas dengan anak-anak kota yang bahkan sejak mereka masih di dalam kandungan sudah didoktrin diarahkan oleh para orang tua mereka untuk menjadi juara. Sehingga tidak mengherankan jika, jangankan yang bisa bersekolah ke luar negeri, yang mendapatkan priviledge merasakan bangku kuliah di UGM, UI, ITB dan kampus-kampus terbaik di Indonesia yang lain pun, adalah anak-anak kelas menengah ke atas yang umumnya tinggal di kota dengan segala macam kelengkapan fasilitas penunjang untuk menggapai mimpi-mimpi mereka.

Ketika menuliskan cerita ini, alhamdulillah saya baru saja menyelesaikan ujian tesis tentang Homelessness di Indianapolis, Indiana, USA Amerika Serikat untuk program master bidang Antropologi Terapan di Indiana University at IUPUI Indianapolis.

Baiklah, saya akan mengawali cerita pribadi saya pada masa Sekolah Dasar (SD) di Wonokromo, sebuah sekolah di salah satu desa terpencil di Kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonososbo, yang berjarak sekitar 15 km ke kota Wonosobo dan 20 km ke salah satu objek wisata terkenal di Jawa Tengah yaitu Pegunungan Dieng. Cerita tentang sekolah, saya selalu teringat salah satu sahabat paling “jenius” terutama untuk mata pelajaran Matematika bernama Roni, namun sekaligus yang juga berasal dari keluarga paling miskin secara ekonomi di kelas SD saya.

Meskipun saya selalu berhasil menduduki rangking pertama sejak kelas 1 sampai kelas 6 SD, tidak pernah sekalipun nilai Matematika saya lebih baik dari Roni. Bahkan di tempat bermain, dialah jago tidak terkalahkan untuk permainan kelereng, lempar karet, kartu (wayang), gopak sodor (mbilun), dan berbagai permainan tradisional lain anak saya saat ini sudah tidak mengenalnya. Di sekolah, jumlah murid satu angkatan di satu kelas hanya belasan orang, dan beberapa teman perempuan bahkan sudah “ditawar” dengan sistem ijon (dilamar) ketika masih kelas 5 atau 6 SD. Dari jumlah itu, yang memakai sepatu setiap hari hanya 2 orang satu kelas, yaitu saya dan teman saya, Untung (meskipun terkadang dia juga tidak memakai sepatu), dan bisa dihitung dengan jari dari seluruh siswa di satu sekolah. Roni, bahkan sejak kelas 1 sampai kelas 6 belum pernah memakai sepatu ke sekolah, sampai suatu saat di akhir kelas 6, kita satu kelas berencana ke kota Wonosobo dalam rangka foto bersama untuk perpisahan dan keperluan ijazah SD, dan dia satu-satunya yang tidak mendapatkan sepatu, meskipun sekedar meminjam dari anak tetangga yang memilikinya, sehingga keberangkatan ke kota harus ditunda beberapa jam karena kita harus mencarikan dia sepatu, mendatangi rumahnya dan mendapati dia sedang menangis sesenggukan.

Uniknya, teman-teman saya merasa lebih baik nyeker (tidak memakai sepatu) ke sekolah daripada harus memakai sepatu seperti saya yang mereka sebut sepatu marmut atau jenis sepatu seperti yang dipakai para shaolin dalam film-film kungfu China, karena saat itu orang tua saya hanya mampu membelikan saya dan 2 adik saya sepatu model seperti itu. Saya bahkan sering merengek ke Ibu saya untuk tidak memakai sepatu karena selalu di-poyok’i (diejek) teman-teman saya di sekolah, namun Ibu saya sangat disiplin untuk urusan seperti ini.

Bapak saya yang katanya pernah lulus SD tetapi tidak pernah mengetahui dimana ijazah sekolah dasarnya, dan Mamak (ibu) saya sama sekali tidak pernah mengeyam pendidikan dan tidak mengerti baca tulis dan pada usia 16 tahun beliau sudah dijodohkan dengan Bapak saya. Namun, yang membuat saya dan adik-adik saya selalu mendapat rangking pertama di kelas (walaupun jika dibandingkan dengan SD di kota barangkali saya rangking satu dari belakang), saya merasa bahwa ibu saya memiliki perhatian dan cara pandang yang lebih maju daripada ibu teman-teman saya. Contoh kecil yang selalu beliau tunjukkan adalah membelikan buku RPUL (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap) dan berbagi buku penunjang pelajaran lain diluar buku paket sekolah dalam berbagai versi meskipun ketika itu saya dan adik-adik saya tidak pernah memintanya.

Saya baru menyadari kemudian bahwa beliau memang sengaja pergi ke toko buku Ratna (semoga masih ada sekarang) di kota Wonosobo dan menanyakan ke pemilik toko buku tersebut kira-kira buku apa saja yang harus beliau beli agar anak-anak beliau bisa sedikit lebih “pintar” dibandingkan murid-murid yang lain di sekolah. Apalagi, saat itu jam sekolah di SD saya hanya berlangsung dari jam 7 pagi sampe kira-kira jam 11 siang, karena saya massaih ingat, belum pernah mendengar adzan Dhuhur saat masih berada di sekolah. Selain itu, setiap liburan dan jika kami mendapatkan nilai yang bagus, ibu saya selalu mengajak kami berlibur ke berbagai objek wisata di Wonosobo, terutama Taman Plaza, pemandian air hangat Kalianget, nonton di bioskop, dan membelikan bakso urat sepuas kami, sementara teman-teman saya biasanya pulang sekolah sudah langsung menjalani kewajiban dan rutinitas mencari rumput untuk pakan kambing dan atau mencari kayu bakar untuk bahan bakar memasak makanan bagi orang tua mereka di rumah (waktu itu hampir seluruh keluarga masih menggunakan pawon (tungku masak dari batu, tanah, atau bata) untuk memasak.

Untungnya, ketika itu kedua orang tua saya memiliki mimpi agar anak-anak mereka bisa terus sekolah sehingga kami tidak pernah dibelikan kambing dan dibebani mencari rumput untuk mereka. Dan perjuangan orang tua yang masih terus terngiang di benak saya adalah kebiasaan Bapak saya membawa pulang kepala gereh (ikan asin, kepalanya saja, bukan ikan asin utuh) satu tas kresek yang didapat dari sang mandor di tempat beliau bekerja sebagai tukang batu yang sebagiaain juga diberikan ke kucing atau ikan peliharaan oleh sang mandor (saat itu telur, ikan, dan ayam atau daging masih merupakan makanan atau sumber protein mahal untuk mayoritas warga di desa saya). Dengan cara itu, karena kebutuhan sayuran umumnya sudah bisa terpenuhi dari ladang sendiri, uang belanja bisa dihemat dan Bapak bisa membelikan kami sepatu dan tas untuk sekolah. Murid-murid SD yang ke sekolah membawa tas juga bisa dihitung dengan jari, itupun biasanya mereka mendapatkan secara gratis dari majikan sebagian besar ibu-ibu mereka atau anggota keluarga mereka yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Semarang, Jakarta, Surabaya, atau kota-kota besar di Indonesiaa lainnya.

Lulus dari SD, hanya sekitar 6-7 anak yang mampu melanjutkan sekolah ke SMP, itu pun beberapa anak putus di jalan karena memang SMP terdekat di Kecamatan Mojotengah pun harus ditempuh dengan jalan kaki naik-turun di jalan berbatu (ketika saya pulang dari KKN UGM, jalan desa saya berbatu-batu besar itu baru diaspal) dengan tanjakan kemiringan jalan mencapai 45 derajat atau lebih dan jarak tempuh tidak kurang dari 6-7 kilometer pulang-pergi, plus ditambah lagi curah hujan yang sangat tinggi, dan tidak satu pun dari kami yang memiliki sepatu lebih dari satu pasang. Karena saya mendapatkan sekolah yang cukup favorit di Kecamatan, SMPN 1 Mojotengah, saya masih harus naik angkot dari Jl. Dieng ke sekolah, sehingga untuk menghemat uang jajan dan menekan biaya transportasi, ibu saya selalu membuatkan kami nasi ketupat (beras yang dibungkus plastik kecil-kecil kemudian direbus), dan di sekolah ada langganan bakso keliling yang dengan setia menunggu kami di jam istirahat. Meskipun yang saya beli hanya tahu, pangsit, dan mie-nya, dan terkadang baksonya jika ada uang jajan lebih, yang dicampur dengan nasi ketupat buatan ibu saya, nikmatnya menu rutin istirahat sekolah saat SMP tidak tertandingi dengan jajanan makanan anak sekolah jaman sekarang. Entah kenapa waktu itu saya tidak sedikitpun merasa sungkan atau malu, bahkan beberapa teman yang orang tuanya pas-pasan kemudian mengikuti cara saya. Oh ya, Roni tidak sanggup meneruskan ke SMP, tetapi sahabat saya yang lain bernama Untung dan beberapa teman yang lain sama-sama bisa melanjutkan ke SMP.

Sebagaimana namanya, Untung beruntung karena kemudian ibunya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta, setelah ayahnya meninggal, dinikahi oleh majikannya yang seorang dosen pascasarjana UI, yang membuat dia bisa terus sekolah bahkan dibawa ke Jakarta untuk menyelesaikan S1 di UPN Veteran Jakarta. Sebagai gambaran bagaimana ndeso-nya kami saat itu, tempat mbolos sekolah terfavorit adalah berenang di kali (sungai) Serayu dimana kami sering mendapatkan hukuman berdiri di depan kelas dan dipecut keesokan harinya, terutama saat kelas 3 dengan guru kelas yang terkenal paling galak. Selain itu, saya masih teringat sebuah debat seru dengan sahabat saya Untung dimana kami saling bersikukuh dengan pendapat masing-masing tentang tingkat sekolah tertinggi. Saya berpendapat bahwa tidak ada sekolah yang lebih tinggi dari sekolah DOKTER, sementara dia ngotot bahwa sekolah paling tinggi adalah tingkat DOKTOR, meskipun kami sama-sama tidak mengetahui apa bedanya, bahkan sampai-sampai kita kami hampir berantem berkelahi karenanya.

Terkait nama, ada hal yang menurut saya unik sekaligus menunjukkan kearifan lokal di desa saya, yaitu untuk mengidentifikasi asal sesorang apakah dia dari desa atau kota, terutama di jaman saya (saya lahir tahun 1982) dan dari daerah saya, nama seseorang dengan satu suku kata sangat umum dan sudah cukup menjadi penanda bahwa dia adalah cah ndeso, karena hanya beberapa teman saya di sekolah (dan juga mayoritas warga desa) yang memiliki nama lebih dari satu suku kata (misalnya Mansur, Sulaiman, Khaban, Miftahul, Untung, Heri, Suritno, Riyanti, Kunmaesaroh, dsb yang umumnya dari rekomendasi Pak Kaji (Haji) atau guru ngaji).

Di awal tahun 1980an, di satu desa, yang memiliki TV hanya 2 orang, yaitu Pak Lurah dan Pak Kaji sehingga referensi pemberian nama anak tidak banyak terpengaruh dari nama bintang film, artis sinetron, pemain sepakbola, apalagi tokoh politik. Orang tua saya sebenarnya juga memberi nama lengkap Ahmad Karim, namun karena Pak Carik (sekretaris desa) waktu itu pun tidak mengenyam sekolah, di akta kelahiran saya hanya tertulis Karim yang kemudian manjadi acuan penulisan nama di ijazah sampai sekarang, yang kemudian mendapat tambahan FNU (First Name Unidentified) sebagai nama depan saya ketika kuliah di Amerika.

Sewaktu SMP, saya tidak pernah menjadi bintang kelas karena prestasi terbaik yang mampu saya capai adalah sekali saja menduduki peringkat 3 di akhir catur wulan 3 di kelas 2, dan menempati peringkat ke 5 pada kelulusan di tingkat SMP. Namun, hasil itu cukup mengantarkan saya (dan kalau tidak salah ada 4 teman SMP yang lain) untuk dapat diterima di sekolah terbaik di Wonosobo, SMA N 1 Wonosobo, meskipun sebenarnya hasil NEM (Nilai Ebtanas Murni) saya hanya pas-pasan di ambang batas passing grade siswa yang bisa diterima di SMA tersebut. Yang saya rasakan sangat berarti dan membentuk karakter sejak SMP adalah karena saya selalu memiliki seorang sahabat juara kelas sekaligus juara sekolah.

Arif Musyafak, misalnya pada waktu SMP, yang sampai kelulusannya, dia selalu menduduki peringkat pertama, baik di kelas maupun di tingkat sekolah. Dari sana, saya menjadi selalu tertantang untuk selalu memompa kemampuan sampai batas maksimal yang saya capai dengan bercermin pada sahabat saya. Sehingga, “naik-turun gunung”, panas-hujan, dan tidak jarang berangkat ke sekolah memakai sepatu atau seragam yang masih basah, yang saya selalu ingat adalah semangat untuk terus sekolah, karena sekolah sangat menyenangkan daripada harus ngarit (mencari rumput untuk makan kambing). Ketika melanjutkan ke SMA, kemampuan akademik saya hanya mampu tembus di peringkat terakhir 10 besar, dan hanya sekali di akhir akhir kelas 3 berada 1 digit lebih baik. Untungnya, yang menjadi sahabat dekat sayapun waktu itu adalah Bagus Mulia Irawan, juara kelas dan sekolah, bahkan dia menjadi pemecah rekor NEM tertinggi se-Jawa Tengah waktu itu.

Pada waktu itu, memang biaya sekolah di SMA mulai dirasa cukup berat, namun untungnya ada program beasiswa dari sekolah untuk membantu anak-anak kurang mampu yang bisa saya dapatkan. Selain itu, biaya transportasi yang seharusnya keluar cukup banyak karena harus dua kali naik angkot dari titik dimana saya biasa berhenti dari jalan kaki, namun terpangkas dengan kebaikan sahabat saya Bagus (karena dia mengendarai sepeda motor yang melewati arah jalan pulang-pergi saya ke sekolah) yang dengan setia memboncengkan saya dari dan ke sekolah setiap hari, meskipun di kelas 3 dia “tidak setia” lagi karena memiliki seseorang (pacar) yang harus diboncengi setiap pulang sekolah.

Karena sudah sampai SMA, meskipun Bapak saya sebenarnya nekat dan barangkali tidak tega melihat semangat saya yang ingin terus sekolah, entah mendapatkan uang darimana biaya kuliah yang harus saya jalani, dan dengan logat Jawa Wonosobo beliau hanya berpesan singkat, “Bismillah bae, insya Allah ana!” (Bismillah saja, Insya Allah ada). Beberapa hari setelah lulus SMA, saya dan Bagus berangkat ke Jogja untuk mengikuti bimbingan belajar di Neutron sebagai persiapan mengikuti SPMB (waktu istu masih UMPTN) di tahun 2000. Di tengah jalan, kami mengalami kecelakaan, motor yang Bagus kendarai jatuh terpeleset karena memang sok menjadi pembalap dan menginjak tumpahan oli di tengah di jalan tepat di tikungan dan turunan tajam sebelum jembatan di jalanan Wonosobo-Temanggung, dan kami nyaris terlindas bis. Untungnya, motor masih bisa dikendarai untuk melanjutkan perjalanan ke Jogja, dan beberapa hari kemudian orang tua kami gusar setelah mendengar kabar bahwa kami terjatuh di jalan, karena kami memang tidak menceritidakan hal itu.

Di Jogja, kami kost di Terban, tepat di belakang pasar hewan yang bau harum telek ayam-nya senantiasa menemani sepanjang hari, namun dengan tarif yang murah dan dekat dengan lokasi bimbingan belajar. Karena Bagus sudah mendaftar PMDK UI, dan ternyata sekitar kurang dari 3 minggu sejak kami di Jogja, dia dinyatakan diterima di jurusan Akuntansi UI tanpa test dan harus ke Jakarta secepatnya. Beberapa hari kemudian, sahabat saya yang lain dari Wonosobo, Didik Sukoco, menggantikan Bagus tinggal bersama saya dan mengikuti bimbingan belajar sampai hari-H UMPTN tiba. Kalau tidak salah, tahun 2000 adalah UMPTN dengan jumlah peserta terbanyak di Jogja karena biaya kuliah di UGM dan UNY waktu itu termsauk termasuk masih sangat murah dibandingkan dengan kampus-kampus favorit di kota lain. Saya mengambil jurusan IPC dengan pilihan pertama Psikologi UI, kemudian Psikologi UGM dan Biologi UGM. Meskipun di SMA saya mengambil jurusan IPA, mimpi saya untuk menjadi psikolog ketika itu sangat kuat dan mengapa harus UI atau UGM, karena pikir saya hanya di dua kampus itulah yang memungkinkan mendapatkan beasiswa, sehingga 2 adik saya yang masing-masing hanya selisih 1 tahun juga bisa kuliah.

UMPTN pertama saya gagal total dan rasanya waktu itu benar-benar menjadi kegagalan terbesar yang saya pernah saya alami. Meskipun demikian, Bapak saya memaksa untuk tetap kuliah tahun itu juga di kampus manapun dan beliau sanggup membiayai apapun caranya, karena beliau khawatir saya kehilangan semangat untuk kuliah. Karena Didik juga tidak lolos UMPTN, dia memaksa saya ke Surabaya dan mendaftar program Ekstensi di Universitas Airlangga karena kebetulan kakaknya bekerja di Ditjen Bea dan Cukai Surabaya. Meskipun saya sebenarnya ragu, apalagi dengan biaya kuliah di program Ekstensi Unair yang jauh melebihi kemampuan orang tua saya, namun karena Didik ngotot, semua biaya pendaftaran ditanggung kakaknya, dan memang saat itu saya tidak memiliki banyak pilihan dan termasuk persiapan untuk tidak lulus UMPTN, saya pun berangkat ke Surabaya. Hasil ujian kita berdua di Unair juga dinyatakan tidak lulus dan ketika saya pulang, Bapak tetap dengan semangat meminta saya untuk kuliah dimanapun tahun itu juga.

Akhirnya saya, dan teman SMA saya yang lain yang juga gagal UPMTN, Eko Adi Prasetyo, mendaftar di salah satu kampus swasta yang masih membuka pendaftaran gelombang ke 3, yaitu di Institut Sains dan Teknologi Akprind Yogyakarta. Saya mangambil Jurusan Teknik Industri dan Eko memilih Ilmu Komputer. Untuk menghemat biaya, karena untuk biaya gedung dan SPP pun sebenarnya saya sudah sambil menangis memberitahukan kepada Bapak saya, kami kost bersama dan tinggal sekamar di salah satu rumah kost di Balapan (yang sebenarnya rumah milik kenalan Bapaknya Eko yang awalnya tidak untuk dijadikan rumah kost, namun beliau berhasil “merayu” pemilik rumah tersebut). Meskipun saya jalani tidak dengan sepenuh hati, bukan karena Jurusannya (saya cukup menyukai jurusan ini), tetapi karena hati saya tidak di kampus itu, dua semester pertama saya masih mendapatkan hasil kuliah yang cukup bagus dengan IPK diatas 3,4, dan itu kali pertama saya mendapatkan teman banyak dari luar pulau Jawa.

Menjelang penyelenggaraan UMPTN di tahun kedua saya di Jogja, yang kemudian berganti nama menjadi SPMB, meskipun dari awal saya bertekad untuk mengikuti test lagi, namun sebenarnya saat itu saya sangat bimbang karena adik saya, Mufid, juga sudah harus kuliah dan Bapak saya menyarankan untuk tidak usah ikut test lagi. Bersama dengan Eko, dan Mufid, akhirnya saya tetap mendaftar dan kemudian mencarikan tempat bimbingan belajar untuk Mufid yang murah meriah namun bisa memberikan dia bekal dia menghadapi SPMB, sekaligus saya bisa “menyelundup” mengikuti try out ujian SPMB yang dilakukan seminggu sekali. Dengan percaya diri, saya tetap memilih jurusan yang sama seperti pada UMPTN tahun sebelumnya, sementara Eko dan Mufid memilih UNS (Universitas Negeri Sebelas Maret) Surakarta/Solo dengan jurusan yang memiliki passing grade lebih rendah sebagai pilihan kedua.

Tiba pada hari pengumuman, Eko dan Mufid dinyatidakan lulus pada pilihan kedua mereka di UNS, sementara sekali lagi saya harus gigit jari. Tidak hanya sedih, tetapi juga dihadapkan pada situasi yang sangat dilematis, melanjutkan kuliah di Akprind yang cinta saya tidak ada di sana dan beban Bapak saya yang semakin berat, atau mencoba sekali lagi tahun depan dengan pertaruhan yang lebih berat lagi, karena adik kedua saya, Zaenal yang secara akademis lebih sering mendapatkan prestasi lebih bagus di sekolah dibandingkan dengan saya juga akan memasuki masa kuliah.

Dengan bertaruh antara harus mengulangi dan membayar denda di Akprind dan malanjutkan melanjutkan kuliah di sana jika saya tidak lulus lagi di UGM, atau jika pun lulus maka juga harus memulai lagi dari nol dan kehilangan waktu 2 tahun dan biaya yang tidak sedikit, keputusan bulat pun saya ambil. Saya harus mencoba lagi di kesempatan terakhir tahun berikutnya (syarat mengikuti SPMB saat itu adalah sampai 3 kali dari tahun kululusan kelulusan SMA), dan tidak satupun tahu atau saya beritahu termasuk Ibu dan Bapak saya, dan benar-benar hanya Tuhan yang saya ajak bicara. Karena jika saya beritahu orang tua saya, saya tidak didamprat saja sudah untung, atau jika saya bercerita ke teman-teman dan orang dekat yang saya kenal, saya tidak diejek pun sudah merupakan sebuah kejaiban.

Untunglah waktu itu Mas Eko Wijiono, seorang kawan dari UIN (dulu IAIN) Sunan Kalijaga Jogja yang tinggal dan mengurus masjid mengijinkan saya untuk tinggal di asrama Masjid Besar Baitul Hikmah, tidak jauh dari tempat saya kost, karena kemudian Eko Adi (yang tinggal satu kost dengans saya) pindah ke Solo dan saya tidak mungkin lagi menanggunng biaya kost sendirian. Sebenarnya dari 4 kamar yang memang disediakan untuk penjaga masjid (dan hal ini sangat umum di Jogja dimana masjid menyediakan beberapa kamar khusus untuk pengurus yang umumnya mahasiswa), semuanya sudah diisi 2 mahasiswa IAIN (termasuk Mas Eko Wijiono), 1 dari UMY (mas Dartopo, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), dan 1 lagi dari UGM (mas Safrudin), namun karena ada ruang gudang yang kosong dan tidak digunakan (dan teman-teman menganggapnya sebagai tempat yang terdapat penghuni gaibnya, termasuk teman yang lain, Mas Kuswoyo, yang sempat menempatinya dan akhirnya memilih pindah), Takmir (pengurus masjid) di kampung Balapan mengijinkan saya untuk tinggal disana. Sewaktu masih kost bersama Eko Adi yang memiliki sepeda motor, mobilitas saya cukup terbantu, namun setelah dia pindah ke Solo, saya akhirnya membeli sepeda bekas (teman-teman bilang sepeda Jowo, namun yang sudah “dioplos” di-sana-sini karena mencari yang paling murah) di pasar Terban sebagai alat transportasi utama dari uang hasil menjadi qori (pengganti Mas Kuswoyo) di sebuah acara pernikahan.

Disinilah saya memulai perjuangan sunyi saya. Suatu hari saya pergi ke Gramedia dengan niat mencari buku-buku terbaru pembahasan soal-soal SPMB, namun yang saya beli justeru buku berjudul Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities karya Paul G. Stoltz (1997) yang sudah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia. Satu pesan yang terus saya ingat dari buku tersebut sampai sekarang adalah “dua pertiga dari keberhasilan adalah kegagalan” yang membuat saya tertantang untuk membuktikan pesan buku tersebut dan meyakinkan diri bahwa saya masih punya “sepertiga” lagi kesempatan untuk menjadi mahasiswa UI atau UGM.

Cukup berat memang mengambil pilihan itu dan menghadapi segala konsekuensi dan resikonya, tetapi setelah tinggal di masjid, saya merasa tidak pernah memiliki waktu luang yang banyak karena semua hal (dikomandani oleh mas Eko) mulai dari ngepel, bersih-bersih, dan segala administrasi masjid harus diurus bergantian dengan penghuni masjid yang lain, termasuk adzan, khutbah jumat, mencari ustad untuk pengajian dan acara-acara hari besar keagamaan terutama di bulan Ramadhan, pengajian TPA anak-anak, tahlilan di kampung, bahkan menjadi qori (pembaca Alquran, mas Kuswoyo jagonya) pada acara-acara pernikahan dan berbagai kegiatan lain di kampung Balapan. Meskipun hampir setiap hari saya ke Kampus Akprind, namun saya sengaja sudah tidak registrasi lagi dan membayar uang kuliah karena saya tidak lagi minta uang kuliah atau SPP kepada Bapak saya dengan alasan telah mendapatkan beasiswa penuh dari kampus sehingga beliau hanya perlu menyediakan uang untuk biaya hidup bulanan atau setiap kali saya pulang ke Wonosobo (yang berati kehabisan uang dan itupun saya selalu tidak tega melihat Bapak menjawab ringan “iya, tak usahaaken, Insya Allah ana”).

Daripada hati saya tidak kuat melihat Bapak saya harus berhutang uang jutaan rupiah untuk membayar SPP dan cicilan uang gedung (apalagi waktu itu beliau masih menanggung hutang ke rentenir di desa yang bertahun-tahun hanya mampu membayar bunga-nya setiap bulan), saya terpaksa harus berbohong bahwa saya mendapatkan beasiswa sehingga jika ada uang pun akan lebih baik digunakan untuk biaya kuliah adik saya. Untuk mengesankan bahwa saya masih aktif kuliah di Akprind, pada semester 3 saya masih sering masuk kelas (tanpa terdaftar di kelas), mengikuti kuliah dan pura-pura tanda tangan di daftar absensi (padahal nama saya sudah tidak ada dan ternyata tidak ada yang mencurigai, atau mungkin ada yang curiga namun tidak ambil pusing).

Dengan ketidakjelasan tersebut, otomatis pihak akademik di Akprind juga beberapa kali mengirimkan surat panggilan dan hanya saya ambil serta saya jadikan koleksi pribadi. Untuk menambah aktivitas di kampus, bahkan saya juga aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler Taekwondo yang dilaksanakan seminggu dua kali dan kegiatan kerohanian Islam di Mushola kampus. Dengan modal kartu bimbingan belajar dari Neutron tahun sebelumnya yang masih saya simpan (kebetulan memang tidak jauh berbeda baik bentuk dan warnanya), saya juga sering sekali masuk kelas bimbel intensif yang diikuti oleh para siswa SMA atau mereka yang gagal SPMB dan ingin lebih serius mencoba lagi, untuk mengasah kemampuan mengerjakan soal SPMB di kesempatan terakhir saya. Karena sudah selisih satu tahun dan banyaknya peserta, pegawai dan pengajar di Neutron di Jl. C. Simanjuntidak pun tidak ada yang menaruh curiga karena, bahkan kemudian saya “mengakrabi” mereka termasuk teman-teman yang khusus mengikuti bimbel karena ingin mencoba SPMB lagi.

Ketika saya mengikuti belajar kelompok di salah satu rumah kost teman bimbel inipun (Raihan dari Kuningan yang selalu memperoleh skor tertinggi dalam try out dan bercita-cita masuk Kedokteran UGM, namun entah dimana dia sekarang), tidak satupun dari mereka menyadari bahwa saya adalah siswa bimbel “ilegal” (Suatu saat saya harus menemui pemilik Neutron dan minta maaf soal ini). Sore harinya atau pagi hari ketika saya sedang tidak memiliki mood untuk ke kampus Akprind, saya menghabiskan cukup banyak waktu di Masjid Kampus UGM, membayangkan seolah-olah sudah menjadi mahasiswa UGM, belajar soal-soal SPMB, atau sekedar merenung sambil melihat teman-teman mahasiswa UGM yang sedang asyik berdiskusi, karena bagi saya saat itu, rutinitas inilah yang tetap memelihara mimpi saya.

Untuk urusan makan, banyak strategi yang saya terapkan. Pertama, di dekat Masjid tempat saya tinggal ada sebuah warung langganan mahasiswa bernama Rista yang jasanya sangat besar untuk kelangsungan hidup sejumlah mahasiswa kere seperti saya saat itu. Saya biasanya membeli sarapan di pagi hari dan selalu dibungkus, alasannya sederhana, karena Rista mengijinkan pembelinya mengambil nasi, sayur, dan lauk sendiri sebanyak yang kita mau asalkan kertas pembungkusnya masih muat. Harga yang dipatok adalah berdasarkan lauk (ayam, ikan, telur, tahu, tempe, lele, udang, ati-ampela) dan berapa jenis sayur yang diambil. Karena porsi yang saya bungkus biasanya jumbo, sesampainya di kamar, saya bagi dua nasi tersebut untuk sarapan dan makan siang. Untuk makan malam, menu favorit adalah nasi padang dan ayam bakar. Eit…tapi tunggu dulu, warung nasi padang dekat kampus Akprind juga sangat bersahabat dengan mahasiswa.

Saya biasanya hanya membeli nasi, daun singkong, dan guyuran kuah khas masakan Padangnya saja (tanpa lauk), karena ayam bakar yang saya maksud adalah kepala atau sayap ayam langganan di warung Angkringan yang cukup dibakar beberapa saat dan dipadukan dengan nasi padang senilai Rp. 2000 rupiah tadi sudah menjadi menu yang sangat lezat, terutama pada saat lapar di perut mencapai titik kulminasinya. Oh ya, saat itu di UGM juga masih memiliki warung murah di gedung Kagama inisiatif dari Almarhum Profesor Koesnadi Harjosoemantri (beliau meninggal pada kecelakaan peswat Garuda di Yogyakarta tahun 2007) yang menyediakan nasi, telur separo, dan sayur ala kadarnya seharga Rp. 500,- namun dengan antri yang cukup panjang dan memang didominasi para mahasiswa dari keluarga miskin yang masuk UGM (entah saat ini masih ada atau tidak mahasiswa miskin di UGM). Mas Safrudin, dialah teman saya sesama penghuni masjid yang kuliah di jurusan Filsafat UGM yang pertama kali mengajak saya ke sana. Bahkan pada saat dia wisuda, dia juga mengajak saya masuk ke gedung Sabha Pramana UGM yang megah itu, saat itulah hati saya bergemuruh dan tanpa sadar meneteskan air mata memohon kepada Tuhan untuk diberikan kesempatan menjadi salah satu yang diwisuda disana.

Rutinitas tersebut tidak terasa saya jalani setahun sampai akhirnya tiba waktu ujian SPMB saya untuk yang ketiga kalinya, dan kali ini saya menempuh ujina berbarengan dengan adik saya yang lain, Zaenal. Dia juga saya daftarkan di bimbingan belajar tempat Mufid dulu mempersiapkan ujian SPMB, dan saya berpesan keras kepadanya untuk tidak memberi tahu kedua orang tua kami bahwa saya ikut test lagi. Kali ini saya mantapkan hati memilih jurusan IPS karena dari hasil try out, saya tidak pernah mendapatkan hasil bagus pada soal matematika dan jarang sekali bisa tembus pada pilihan pertama. Di sinilah dilema kembali muncul saat saya harus menentukan pilihan jurusan kedua, karena pilihan pertama saya tetap pada Jurusan Psikologi UGM.

Berkali-kali saya mengganti dan menghapus jurusan pada pilihan kedua yang sudah saya tulis sampai lembar isian SPMB saya hampir bolong, mulai dari jurusan Sastra Inggris, Sastra Indonesia, Ilmu Komunikasi, Administrasi Negara, Sosiologi, Antropologi, bahkan Ilmu Sejarah, yang semuanya tidak saya minati, namun saya harus menentukan jurusan yang aman jika pilihan pertama saya tidak lulus. Selain karena barangkali otak saya sudah sangat jenuh dengan soal-soal SPMB (atau memang kemampuan saya yang sudah mentok), kekhawatiran jika yang diterima di pilihan pertama, dan perasaan malu dan gengsi jika hanya diterima di jurusan ecek-ecek untuk SPMB yang ketiga kalinya. Akhirnya jurusan Antropologi Budaya UGM terpaksa saya ambil dengan alasan hanya karena ada “logi”-nya dan barangkali tidak jauh dari Psikologi (waktu itu saya tidak tahu sama sekali Antropologi belajar tentang apa karena di Jurusan IPA di SMA tidak diajarkan.

Tiba saat hari pengumuman, adik saya tidak lolos dan saya hanya lolos pilihan kedua. Antara perasaan syukur dan sedih bercampus di hati saya hari itu. Di satu sisi, saya merasa sangat bersyukur karena mimpi menjadi mahasiswa UGM akhirnya terwujud, namun sedih karena membayangkan kuliah di Jurusan Antropologi yang saya tidak tahu apa itu (ingatan saya tentang antropologi hanya tertuju pada teman-teman di SMA di jurusan IPS dulu yang suka berantem, meskipun sebagain sebagian besar teman di jurusan IPA pun kemudian kuliah di jurusan Ilmu sosial), termasuk bayangan akan kerja apa setelah lulus sebagai sarjana antropologi. Sebagaimana sudah saya bayangkan sebelumnya, ketika saya memberitahukan kedua orang tua saya, mereka tidak cukup bahagia mendengar kelulusan saya karena sudah 4 semester saya lewati sebagai mahasiswa di Akprind (walaupun sebenarnya hanya 2 semester, dan yang 2 semester berikutnya berstatus mahasiswa gadungan).

Ketika salah seorang teman dekat di Akprind mengerenyutkan dahinya ketika saya kabari kelulusan saya dan dia mengatakan, “ngopo kuliah nang jurusan antropologi, arep dadi opo kowe?” (Ngapain kuliah di jurusan Antropologi, mau jadi apa kamu?), saya hanya sepontan menjawab, “aku pengen keluar negeri dab!” yang sebenarnya hanya untuk menghibur dan membesarkan hati saya. Dan sejak saat itu, saya print foto hitam putih di selembar kertas A4 yang biasa saya gunakan untuk mendaftar tiga kali ujian SPMB dan dibawahnya saya tuliskan nama “Prof. Dr. Ahmad Karim, MA”, dan “Go to America”, kemudian saya pasang di tembok kamar yang berlawanan dengan pintu masuk, sehingga setiap kali saya masuk ke kamar, maka yang pertama kali terlihat adalah foto dan tulisan tersebut. Setelah saya pulang untuk minta pertimbangan kedua orang tua saya, dan dengan tekad serta janji bahwa saya akan berusaha mendapatkan beasiswa dan lulus bersamaan dengan kelulusan adik saya Mufid, orang tua saya mendukung, mengiyakan, dan mendoakan dengan cukup berat untuk keputusan yang saya ambil.

Ternyata, tahun 2002 adalah tahun pertama dimana UGM memberlakukan BOP (biaya operasional Pendidikan) diluar biasya SPP reguler yang saat itu masih cukup murah (Rp. 500.000). Dengan kebijakan tersebut, masa Ospek (orientasi mahasiswa baru) diwarnai dengan demonstrasi hampir setiap hari untuk menuntut penghapusan BOP. Hatib Abdul Kadir, salah satu sahabat satu jurusan yang juga diterima di jurusan Antropologi dengan mengulang SPMB adalah salah satu orator ulung pada masa demo tersebut karena saat itu dia juga masih berstatus mahasiswa D3 di jurusan Kepariwisataan UGM. Saat ini dia adalah salah satu antropolog idola saya, menjadi penulis yang produktif, dosen sekaligus ketua jurusan Antropologi UNIBRAW Malang, dan sedang menempuh program Ph.D-nya di University of California Santa Cruz, USA dengan beasiswa Fulbright. Adik saya Zaenal yang tidak lulus, akhirnya mengalah untuk tidak kuliah dulu di tahun itu, menunggu setahun untuk mendaftar lagi di perguruan tinggi negeri (walaupun di tahun berikutnya dia juga tidak lulus dan memutuskan untuk kuliah di (UNSIQ) Wonosobo di jurusan Tarbiyah yang sama sekali tidak pernah dia minati. Hingga akhirnya mendapatkan gelar S.Ag-nya, dia jalani kuliah sambil mondok di pesantren dan lebih sibuk berbisnis komputer (daripada ngaji) sesuai hobinya sampai sekarang.

Di sini, orang tua saya harus habis-habisan membiayai SOP dan BOP semester pertama saya (termasuk biaya kuliah adik saya), sehingga saya harus kembali memutar otak dengan berusaha mencari pekerjaan sampingan manjadi pengajar di salah satu bimbingan belajar. Pekerjaan tersebut hanya saya jalani beberapa bulan karena memang upahnya tidak seberapa namun menyita banyak waktu dan energi, apalagi setelah suatu hari sepeda saya hilang dicuri orang. Saya menemui Mas (Profesor) Irwan Abdullah (Mas adalah cara kami memanggil para dosen di jurusan antropologi, termasuk panggilan kepada Profesor Heddy Shri Ahimsa-Putera), salah satu dosen favorit saya yang dengan kuliah Pengantar Antropologi-nya membuat saya sedikit demi sedikit jatuh cinta kepada antropologi, dan menceritakan kondisi saya waktu itu, yang kemudian memanggil saya ke ruang kerja belaiu beliau di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM.

Beliaulah yang memberikan julukan kepada saya primus (pria mushola) di kelas karena kemudian mengetahui bahwa saya tinggal di masjid. Beliau memang tidak secara langsung menawarkan bantuan kepada saya, dan sempat menawarkan saya menjadi juru ketiknya, namun yang mau dikerjakan apa juga bingung (saat itu beliau hanya sebagai salah satu staf peneliti biasa di PSKK dengan mobil Peugeot “lawas”-nya yang belum sesibuk ketika kemudian menjabat sebagai kepala sekolah Pasca Sarjana UGM). Meskipun demikian, beliau mengusulkan nama saya kepada mas (Dr.) Setiadi (dosen saya yang lain yang juga peneliti di PSKK) untuk melibatkan saya dalam proyek Evaluasi program PKPS BBM (Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM) yang ditugaskan oleh Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat kepada PSKK di semester berikutnya.

Selama beberapa bulan menunggu proyek tersebut, saya menemukan cara baru menghemat biaya makan atas ajaran salah satu teman di jurusan Ilmu Sejarah, Yusri Darmadi (yang kami juluki “seminaris” karena dia selalu ada di seminar apapun di Jogja. Pertama, sebagai kampus yang besar, di UGM sering sekali ada seminar, pengukuhan guru besar, atau resepsi pernikahan, baik yang diselenggarakan di Masjid Kampus UGM, gedung Sabha Pramana, dan University Center, atau Wisma Kagama. Di acara-acara tersebut, terutama pengukuhan guru besar atau promosi doktor, kami tidak hanya mendapatkan perbaikan gizi karena numpang makan, tetapi mengetahui seluruh seluk beluk gedung, fasilitas, dan fakultas di UGM, terutama gedung pusat dan kantor humas sebagai sumber informasi lengkap kapan dan dimana ada acara kampus yang ada makan gratisnya, dan menambah jaringan yang sangat luas mulai dari mahasiswa lintas fakultas, dosen, tokoh, dan sesama “seminaris”.

Dan di situlah saya bertemu salah satu sahabat saya Irvan Riyadi dari Fakultas Hukum UGM yang kemudian tinggal di masjid berasrama, serta Mas Edy, seorang yang memang pekerjaan utamanya sebagai “seminaris” sejati, (bukan seorang mahasiswa dari kampus manapun dan sampai kami lulus kami tidak tahu darimana asal dia), bahkan tidak hanya di lingkungan kampus, tetapi seantero DIY. Karena ternyata, di beberapa acara yang diselenggarakan di hotel (yang kemudian saya tau persis setelah menjadi pegawai di Bappenas), panitia seminar sering memberikan amplop berisi uang pengganti transport untuk peserta. Namun saya tidak sampai sejauh itu, kebutuhan saya hanya mensiasati uang saku yang sangat terbatas untuk makan, dan setiap sebelum atau sesudah acara berlangsung (tergantung jenis acara dan situasinya terutama di kampus), saya selalu minta ijin (yang saya sebut “mengkhalalkan”) untuk ikut makan dan mengucapkan terima kasih kepada yang punya hajat karena sebagai primus, saya juga tahu bahwa tamu tidak diundang tidak berhak untuk ikut menikmati makanan yang disediakan. Dan belum pernah sekalipun, ketika saya minta ijin kepada pemilik acara, saya ditolak, bahkan mereka berterima kasih karena saya bersedia ikut dan datang merayakan hari kebahagiaan mereka.

Hasil kuliah semester pertama saya cukup memuaskan dengan IPK 3,7, dan dengan modal itu, tidak hanya beasiswa BOP yang saya dapatkan (dan setiap semester sampai saya lulus saya bebas dari biaya BOP) di semester 2, tetapi beasiswa Supersemar yang bisa saya gunakan untuk menutup biaya SPP, dan beberapa beasiswa yang lain. Saya juga melanjutkan latihan Taekwondo sampai akhirnya berhenti di piala perunggu yang saya dapatkan di Porfigama UGM karena tendangan maut di hidung saya sampai berlumuran darah oleh salah seorang atlet terbaik UGM. Ketika teman-teman “memaksa” saya menjadi calon dalam pemilihan ketua Kemant (Keluarga Mahasiswa Antropologi), saya sempat menolak karena waktu itu handphone saja saya tidak punya, dan dalam tradisi Kemant, biasanya yang menjadi ketua adalah minimal mahasiswa yang sudah kuliah di tahun kedua, meskipun kemudian sayalah yang terpilih.

Di semester ini jugalah Mas Setiadi mamanggil saya untuk menjadi asisten lapangan pada proyek Evaluasi PKPS BBM di Kabupaten Gunungkidul yang berlangsung hampir selama setahun. Mulai saat itu, saya memiliki penghasilan yang lumayan, bebas dari minta uang saku ke orang tua untuk sementara, bisa membeli HP, dan seperangkat komputer bekas untuk mengerjakan tugas, serta sedikit bisa membantu tambahan uang saku untuk adik saya di Solo. Namun, Kemant menjadi hampir terbengkalai dan lebih banyak saya serahkan ke teman-teman pengurus lain (seperti Lukman, teman seangkatan yang kemudian menjadi pemimpin redaksi BPPM Balairung UGM, dan Muklas Aji Setiawan, kakak angkatan yang menjadi Sekjen Kemant, Khidir, dan yang lain).

Bahkan kuliahpun harus sering saya tinggalkan ke lapangan. Triknya cukup sederhana, untuk mata kuliah yang kehadiran di kelas sangat penting, biasanya saya masuk kelas, tetapi satu jam atau setengah jam sebelum kuliah usai, saya ijin ke dosen untuk ke belakang (toilet), tapi tidak kembali lagi ke kelas karena langsung meluncur menggunakan sepeda motor pinjaman staf kantor PSKK (Mbak Evita) untuk mengambil data di kecamatan dan desa-desa di Gunung Kidul. Tas dan buku yang masih terbuka di meja yang saya tinggal di dalam kelas biasanya sudah saya titipkan terlebih dahulu ke salah satu teman untuk dibawakan ke perpustakaan jurusan antropologi yang saya ambil sore hari sepulang saya dari lapangan. Di dalam kelas, saya juga terkenal suka tidur saat kuliah berlangsung karena memang kondisi badan yang kelelahan dengan aktivitas di masjid, tugas-tugas kuliah, dan bolak-balik antara Jogja dan berbagai pelosok Kabupaten Gunung Kidul (kebiasaan tidur di kelas ini terbawa sampai ketika saya mengikuti kursus, training, bahkan saat kuliah S2 di Amerika).

Ini pun punya trik tersendiri, semaksimal mungkin materi yang akan dibahas dalam kuliah hari tersebut harus sudah dibaca, termasuk isu-isu terkininya, dan ketika dosen mempersilahkan mahasiswa mengajukan pertanyaan, hampir tidak pernah saya absen untuk bertanya, atau ketika dosen bertanya maka kita punya bahan jawaban, sehingga kuliah sambil tidur pun tidak terlalu menjadi masalah serius. Untuk mengantisipasi terlihat dengan jelas oleh dosen (terlihat sesama teman sekelas tidak pernah jadi masalah), pilihlah tempat duduk paling depan dan paling ujung terdekat dengan meja dimana dosen berdiri (biasanya dosen akan mondar-mandir ketika memberi kuliah), buka buku yang sedang dibahas saat itu, letakkan kedua siku diatasnya sambil kedua tangan menyangga dagu agak ke pipi sedikit, tundukkan muka sedikit, dan pejamkan mata serta tidurlah, namun usahakan jangan sampai mendengkur.

Karena terlanjur janji ke diri sendiri dan orang tua bahwa saya harus lulus secepat mungkin, kreatifitas pun kemudian muncul. Saya selalu percaya bahwa dengan kondisi kepepet, disitulah puncak kreatifitas seseorang sebenarnya mencapai puncaknya. Saya tidak lagi berpikir akan bekerja apa atau dimana setelah lulus kuliah, karena satu-satunya yang saya fokuskan adalah lulus secepat mungkin dan membuat kedua orang tua tersenyum bangga melihat anaknya diwisuda di UGM. Niat sekolah untuk membahagiakan orang tua benar-benar menjadi spirit utama saya, termasuk balas dendam saya karena mereka berdua tidak kenal dengan dunia sekolah. Beruntunglah waktu itu di Fakultas Ilmu Budaya belum diberlakukan KRS (Kartu Rencana Studi) secara online, dan masih menggunakan lembaran kertas yang harus diisi secara manual. Di semester 3 dan seterusnya saya selalu bisa mengambil mata kuliah lebih dari 24 SKS (batas maksimal per semester), bahkan pernah sampai 27 SKS, meskipun sebanarnya sebenarnya dosen pembimbing saya Dr. Atik Triratnawati tidak pernah menyetujuinya.

Caranya adalah, mengajukan jumlah mata kuliah sesuai dengan peraturan sebanyak 24 SKS (kebetulan belum ada kebijakan biaya per SKS waktu itu) kepada Ibu Atik untuk mendapatkan tanda tangan beliau selaku pembimbing akademik, dan ketika terjadi perubahan KRS seminggu setelahnya, saya selalu menambahkan satu mata kuliah tanpa sepengetahuan beliau. Karena kebijakan fakultas mengatakan bahwa tanda tangan KRS bisa dilakukan oleh ketua jurusan (saat itu dijabat oleh Mas Pande Made Kutanegara), saya mencari hari dimana Ibu Atik sedang tidak ada di kampus dan menemui Mas Made. Karena alasan kuat yang saya berikan, dan beliau juga salah satu koordinator untuk proyek Evaluasi PKPS BBM di PSKK, beliau selalu menandatangani KRS, berapapun jumlah SKS yang saya ajukan. Untuk mata kuliah umum, seperti Pendidikan Agama, pendidikan Kewarganegaraan dll, saya ambil di semester pendek, sehingga pada semester 5 saya sudah bisa mengikuti KKN (Kuliah Kerja Nyata) dan menjadi satu-satunya mahasiswa dari angkatan 2002 se UGM yang mengikuti KKN periode itu, serta sudah mulai menulis skripsi.

Kebetulan pada semester 4 saya juga berkesempatan mendampingi beberapa mahasiswa dari Universitat Freiburg, Jerman, bersama beberapa mahasiswa yang lain untuk kegiatan fieldwork (penelitian lapangan) mereka di Jogja sehingga saya sudah memiliki bahan yang cukup dari program tersebut untuk saya jadikan skripsi tentang perkawinan campuran di Yogyakarta. Selain itu, saya juga menjadi salah satu pendamping para mahasiswa dari Australia dan beberapa negara lain yang belajar bahasa dan budaya Indonesia di INCULS (lembaga bahasa dan budaya Indonesia untuk mahasiswa asing FIB UGM) yang menjadi bekal saya untuk mengasah bahasa Inggris karena saya tidak pernah sempat dan memiliki biaya cukup untuk kursus bahasa Inggris. Hampir saja waktu itu saya bisa memecahkan rekor UGM dengan menjadi lulusan sarjana tercepat kurang dari 3 tahun jika tidak tertunda karena baru saja 2 minggu saya menjalani KKN di desa dekat Candi Borobudur Magelang, saya mendapatkan telepon dari Mas Made untuk segera membuat paspor karena saya terpilih menjadi salah satu mahasiswa yang bisa berangkat ke Freiburg, Jerman dari hasil program research tandem UGM-Freiburg semester sebelumnya. Dengan terpaksa, saya harus mundur dari KKN dan mengulang di semester berikutnya.

Untungnya, ada KKN Tematik yang digagas teman-teman SP2MP PPKB (sebuah program capacity building dan leadership training yang memilih mahasiswa-mahasiswa berprestasi di seluruh fakultas dari Rektorat UGM) dan saya diijinkan bergabung bersama mereka sepulang dari Jerman untuk fieldwork skripsi saya tentang perkawinan campuran di kota Freiburg, Jerman. Laporan dari kegiatan ini bisa dibaca di buku berjudul Budaya Barat dalam Kacamata Timur: Pengalaman dan Hasil Penelitian Antropologis di Sebuah Kota di Jerman (Pustidaka Pelajar 2006).

Saya masih teringat masa Inisiasi di Kaliurang ketika menjadi mahasiswa baru, diperolok dan ditertawakan habis-habisan oleh teman-teman senior yang menanyakan saya: “mengambil jurusan antropologi mau jadi apa dan mau lulus berapa tahun?” (karena dengan berbagai faktor, termasuk menghadapi dosen “tua” yang killer, para senior saat ini memang banyak sekali yang betah di kampus atau pengerjaan skripsi lebih lama dibandingkan waktu mengambil seluruh mata kuliah yang diwajibkan). Ketika itu saya menjawab, maksimal 3,5 tahun, namun alhamdulillah saya lulus sarjana Antropologi UGM dalam waktu 3 tahun, 3 bulan, 20 hari dan manjadi lulusan pertama satu angkatan 2002 dengan IPK 3,52, hampir bersamaan dengan kululusan kelulusan adik saya di Solo. Dengan sedikit keseriusan, sebenarnya IPK 3,5 bukan hal yang terlalu sulit untuk didapat seorang mahasiswa.

Saya ingat guyonan seorang senior yang mengatakan, “IPK bukan segala-galanya, tapi ingat, kalo kamu sudah memutuskan untuk kuliah, segala-galanya bermula dari IPK, mulai dari beasiswa, lowongan pekerjaan, bahkan ketika kamu pengen nembak cewek”. Hal yang sangat membahagiakan saya waktu itu bukanlah cepatnya lulus dan IPK, namun menyaksikan Bapak dan Ibu saya tersenyum ketika mendengar dan melihat anak mereka dipanggil beberapa kali dalam acara wisuda di kampus, dimana bapak dan Ibu saya pertama kalinya menginjakkan kaki di Jogja dan kampus UGM adalah ketika saya wisuda. Alhamdulillah, hilang rasanya lelah perjuangan sejak tahun 2000 yang saya lakukan.

Mas Irwan sempat menawarkan ada beasiswa untuk melanjutkan S2, namun beliau tidak menjanjikan ada bantuan untuk biaya buku, makan, hidup dan lain-lain selama studi. Akhirnya, setelah mengikuti proyek GDS selama beberapa bulan di Kalimantan dan beberapa pekerjaan lapangan lain dari PSKK UGM, yang upahnya cukup untuk membantu menutupi sedikit hutang Bapak dirumah, saya memutuskan mengadu nasib ke ibu kota Jakarta. Pekerjaan pertama saya di Jakarta adalah sebagai peserta Executive Training Program (ETP) PT Carrefour Indonesia, yang tentunya setelah puluhan atau bahkan tidak terhitung lagi berapa kali saya mengirimkan CV dan surat lamaran pekerjaan, test, dan wawancara ke berbagai perusahaan besar di Jakarta. ETP, kedengarannya mamang memang keren, calon executive, meskipun pekerjaan sebenarnya adalah bagaimana jualan barang di bisnis retail dengan tujuan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya.

Sehingga, hampir semua hal harus dipelajari dan dilakukan, mulai dari cleaning service, merasakan menjadi kasir bahkan packer, order barang, dibentak dan “digoblok-goblokan” oleh store manager dan pelanggan, dan stock opname barang dagangan. Dengan alasan latar belakang pendidikan saya dari jurusan Antropologi, pihak SDM Carrefour menolak ketika saya mengajukan untuk menjadi staf Personnel (SDM) yang paling saya minati. Akhirnya, sambil terus mencari pekerjaan lain, saya hanya mengambil ilmu dan pengalamannya, yaitu memilih mengikuti training center di bidang Butchery (perdagingan) dimana pelatihnya adalah Mr. G yang langsung didatangkan dari kantor pusat Carrefour di Perancis. Selama kurang dari satu setengah setahun saya sudah pindah pekerjaan 3 kali, mulai dari Carrefour, kemudian di PT Jababeka, Tbk Cikarang sebagai staff Community Development yang harus bergelut dengan preman kampung (baik preman sungguhan maupun preman aparat kecamatan dan desa yang suka “memeras” perusahaan karena wilayah mereka ditempati ratusan pabrik multinational companies yang dengan sangat nyata memunculkan pemandangan “kejomplangan” kehidupan sosial-ekonomi antara pendatang dan masyarakat lokal), dan menjadi staf pribadi seorang pengusaha di Bekasi.

Tahun 2007, saya memutuskan untuk mengikuti test CPNS di tiga tempat, LIPI, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, dan Bappenas, karena ketiga lembaga tersebut membuka lowongan untuk lulusan sarjana antropologi. Sebenarnya tidak pernah terpikir untuk menjadi pegawai negeri, selain karena jurusan antropologi sebelumnya sangat jarang “diminta” oleh lembaga pemerintahan dalam rekrutmen CPNS (dan juga oleh dunia kerja secara umum), menjajal test CPNS juga sangat didorong oleh pengalaman menyelami beberapa pekerjaan di swasta yang buat saya waktu itu terasa menjauhkan mimpi saya untuk bisa sekolah di luar negeri. Sempat optimis bisa menjadi peneliti di LIPI yang saya anggap memiliki gerbang, tradisi, dan lingkungan kerja yang lebih besar untuk terus sekolah, sehingga saya sempat ogah-ogahan mendaftar ketika seorang teman memberitahukan ada posisi untuk lulusan antropologi di Bappenas dan Kementerian Pariwisata.

Namun, belajar dari pengalaman sebelumnya tentang “dua pertiga dari kesuksesan adalah kegagalan”, dan setelah Bos saya di tempat kerja sebelumnya merasa tidak nyaman dan menyindir saya untuk jangan menjadikan kantornya hanya sebagai “batu loncatan” sehingga saya harus sadar diri dan resign, sepertinya akan lebih aman untuk mendaftar lebih dari satu instansi. Cukup down memang ketika mengetahui bahwa saya tidak lulus di LIPI karena jarak antara resign dari tempat kerja sebelumnya dengan pengumuman di Bappenas (yang mundur) hampir 3 bulan, dan kondisi ini benar-benar menguras habis tabungan yang tidak seberapa. Kemudian saya mengharapkan bisa diterima di Kemenbudpar yang sepertinya lebih “antropologis” dan test-nya hanya sekali dan menurut saya mudah (dibandingkan dengan LIPI dan Bappenas yang panjang), tetapi Tuhan justru “menjerumuskan” saya ke Bappenas (Badan Perencanaan pembangunan Nasional), sebuah kementerian yang saat itu saya baru ngeh bahwa GBHN di jaman Orde Baru dahulu disusun disana, bahkan sebelumnya saya pikir Bappenas itu adalah Bank Pembangunan Nasional.

Dua bulan awal kerja di Bappenas saya jalani dengan berhutang ke salah seorang sahabat SMA, Bagus, yang saat itu sudah menjadi manajer di sebuah perusahaan yang berkantor pusat di Singapura, dan disinilah mimpi sekolah ke luar negeri mulai tumbuh kembali. Cukup banyak memang sumber beasiswa yang dapat diakses ketika sudah berstatus PNS untuk meneruskan sekolah S2 di luar negeri, seperti Australia dengan AUSAID, UK dengan Chevening, Belanda dengan STUNED, Jepang dengan JICA, dan Amerika yang menjadi incaran utama saya dengan berbagai sumber seperti Fulbright, USAID Prestasi, Bank Dunia, bahkan dengan beaiswa yang dikelola DIKTI. Meskipun demikian, karena saya memutuskan untuk menikah terlebih dahulu, dan alhamdulillah setahun kemudian dikaruniai anak, serta beberapa lamaran beasiswa yang saya daftar ditolak, butuh waktu beberapa tahun untuk terus mencoba dan mencoba lagi, sampai akhirnya Amerika “memanggil” saya melalui program beasiswa SPIRIT.

Lagi-lagi, karena skor bahasa Inggris saya hanya pas di ambang batas passing grade, dan karenanya saya harus menjalani pembekalan bahasa Inggris selama 6 bulan, bahkan setelah setahun sebelumnya saya juga mendapatkan beasiswa untuk EAP (English for Academic Purpose) selama 5 bulan di ELS dari program tahunan di kantor, skor minimal yang ditetapkan kampus-kampus di Amerika belum juga mampu saya penuhi. Di ELS inilah saya menetapkan untuk kuliah di universitas di Amerika yang memiliki perpaduan antara tigal hal: memiliki jurusan antropologi yang bagus, bersalju ketika winter, dan memiliki race track untuk menonton balapan MotoGP. Dari tiga kriteria tersebut, kota-kota yang paling berpotensi adalah California, Indianapolis, dan Texas.

Mengapa antropologi, ya karena saya sudah terlanjur jatuh cinta dengan ilmu yang mengantar saya menjadi mahasiswa UGM, dan Bappenas belum pernah merekrut sarjana antropologi pada daftar kebutuhan CPNS baru mereka. Kemudian, mengapa harus kota yang bersalju ketika musim dingin ya karena pasti serasa akan ada yang kurang ketika kita berkesempatan hidup di negara yang memiliki musim dingin tetapi tidak pernah merasakan bermain dengan dinginnya salju. Dan yang terakhir, mengapa MotoGP, jawabannya adalah “What if I had never tried it”, buku autobiografinya Valentino Rossi (2005). Balapan MotoGP dan aksi-aksi the Doctor inilah yang sejak masa sunyi memperjuangkan SPMB dulu menjadi penghibur sekaligus pembangkit semangat untuk terus fokus pada satu titik finish, yaitu sebuah mimpi.

Ketika Rossi menuliskan pengalaman membalapnya di buku dengan judul di atas di tahun 2005, itu adalah saat-dan ungkapan yang orang Jakarta bilang “gue banget” dimana saya sampai pada satu titik bisa lulus ujian skripsi di UGM karena saya selalu percaya dengan kekuatan mencoba. Suatu saat, tanpa disengaja, di tempat EAP ELS, saya menemukan dan memperhatikan sebuah poster yang ditempel di atas dispenser tempat peserta biasa mengambil minum pada jam istirahat, terdapat gambar serta tulisan kota-kota yang menjadi lokasi ELS centers di seluruh dunia, dan kota Indianapolis berada tepat sekali di depan mata saya ketika saya berdiri sambil mengisi air di gelas dari dispenser tersebut. Gambar tersebut selalu terlihat berulang-ulang setiap hari selama kurang lebih 5 bulan. Sejak saat itulah saya googling tentang kampus dan apa saja yang menarik di Indianapolis. Uniknya, COPAA (Corsortium of Practicing and Applied Nthropology) juga mencantumkan list bahwa salah satu kampus yang menawarkan program master di bidang Applied Anthropology adalah Indiana University at IUPUI yang lokasi kampusnya tidak jauh dari Indianapolis Motor Speedway, salah satu fasilitas balapan tertua di dunia yang sudah ada sejak tahun 1909. Ini semakin membuat saya tidak tertarik untuk mendaftar ke kampus lain, meskipun proses yang harus saya lalui tidaklah semudah yang saya bayangkan.

Ketika mengikuti EAP di Inlingua, Jakarta, selama kurang lebih 6 bulan, skor bahasa Inggris saya juga tidak mengalami kenaikan yang signifikan, bahkan sampai jatah mengikuti test resmi yang dibiayai oleh SPIRIT habis. Atas bimbingan pengajar, terutama Miss Mirah Iskandar, dan beberapa trik “coba-coba”, akhirnya saya mendapatkan surat panggilan LOA (Letter of Acceptance) bersyarat dari kampus yang saya tuju di Indianapolis. Karena skor bahasa Inggris saya belum memenuhi syarat, meskipun hasil test GRE (Graduate Record Examinations, test bahasa Inggris yang lain yang dipersyaratkan selain TOEFL atau IELTS untuk program S2 di Amerika) LOA yang saya terima masih conditional. Beruntunglah, hasil test bahasa Inggris terakhir (lagi-lagi dengan filosofi “dua per tiga kegagalan”) yang terpaksa harus saya ikuti dengan biaya sendiri dapat saya gunakan untuk melengkapi persyaratan pendaftaran meskipun pas sekali dengan skor minimal yang dipersyaratkan.

Seminggu sebelum lebaran Idul Fitri tahun 2012, meskipun untuk mendapatkan VISA ke Amerika juga memerlukan perjuangan sampai di detik-detik terakhir, akhirnya saya terbang ke Indianapolis untuk menjemput salah satu impian saya, kuliah di Amerika, dan juga mimpi yang lain, menyaksikan aksi balapan Valentino Rossi secara langsung. Bagaimana proses visa dengan “kartu kuning”, mendatangkan istri dan anak ke Amerika tanpa biaya, mensiasati dan menyelami kehidupan di amerika bersama keluarga, serta yang paling penting pengalaman kuliah dengan hanya dua jenis nilai A dan A+ dan melakukan studi ethnografi untuk penulisan tesis di Amerika, akan saya ceritakan pada bagian selanjutnya.

Intinya, banyak dari kita lupa bahwa kita tidak pernah diperintahkan oleh Tuhan untuk menjadi sukses, apalagi jika yang sering kita pahami dengan istilah sukses adalah hasil kerja keras yang mengabaikan nilai-nilai yang Tuhan ajarkan. Kita disanjung Tuhan sebagai mahluk terbaik dengan satu syarat, yaitu jika keberadaan kita kapanpun dan dimanapun mampu memberikan kebahagiaan dan manfaat bagi kebaikan orang lain. Semua proses itu, sekolah dan mimpi-mimpi kehidupan yang saya alami adalah satu dari berjuta jalan yang dapat kita pilih, kita tentukan, dan kemudian kita tekuni untuk menuju sebuah nilai kedewasaan.

Dan salah satu cara pendewasaan diri yang saya yakini ampuh adalah dengan melihat dan merasakan sendiri kebesaran Tuhan melalui jendela dunia yang berbeda-beda (dan bagi saya sekolah adalah salah satu jalan itu). Kata sekaligus semangat Balapan yang secara tidak sengaja di mata saya, tapi sangat disengaja di Mata Tuhan (melalui nama kampung tempat tinggal saya di Masjid di Jogja dulu, melalui kecintaan saya terhadap MotoGP, dan semua proses “balapan” kehidupan saya) adalah kata lain dari pesan Tuhan yang saya pahami sebagai “berlomba-lomba”, karena dia menuju satu tujuan, menuntut kesungguhan dan fokus, dan melalui proses yang panjang untuk sebuah episode yang saya tafsirkan sebagai “hari kemenangan”. Kemanangan Kemenangan atas diri kita sendiri terhadap keputusasaan, kemenangan untuk tidak malas mencoba dan terus mencoba. Salam damai Indonesia. Indianapolis, Awal musim Panas 2014.

Mimpi, Sekolah, dan Jendela Dunia: Bagian 1

 

Foto oleh penulis


BAGIKAN
Berita sebelumyaWawancara dengan Nadia Putri Utami – JASSO Scholarship di Tsukuba University
Berita berikutnyaIndonesian Diaspora National Convention and Indo Fest USA | New Orleans | August 1-3, 2014
Graduated from the Dept. of Anthropology UGM Yogyakarta in 2005, worked for a while in several private companies, Karim now is a government officer at the Directorate of Poverty Alleviation BAPPENAS (The Ministry of National Development Planning, Republic of Indonesia). He did an ethnographic research about Intercultural Marriage in Freiburg, Germany for his undergraduate "skripsi" in UGM with a funding from Albert-Ludwig Universitat Freiburg. Currently, he is pursuing a master degree in Applied Anthropology, at the School of Liberal Arts, Indiana University at IUPUI Indianapolis. The issues of globalization, poverty, homelessness, and community development are some of his main concerns. He is now doing an ethnographic research about homeless people in Indianapolis for his master's thesis project.

7 KOMENTAR

  1. Cerita yang sangat menginspirasi mas.
    Salam kenal mas saya Rifqi, Anak antrop UI semester 2 dan kebetulan anak Wonosobo juga.
    Makasih banyak mas sudah mem-posting tulisan yang luar biasa ini. Saya merasa beruntung sudah membaca postingan mas ini, karena telah menyadarkan saya bahwa kegagalan adalah salah satu bagian dari kesuksesan yang nyata jadi teruslah berusaha.

  2. Selamat ya mas Karim, untuk pencapaiannya, semoga bisa semakin mengembangkan ilmunya dan turut berkontribusi dalam pengembangan disiplin antropologi di Indonesia. Saya pernah baca buku Budaya Barat dalam Kacamata Timur itu mas.Menarik dan membangun semangat. Membacanya menyadarkan saya bahwa sudah saatnya antropolog Indonesia bisa melakukan kajian-kajian berkualitas tentang masyarakat di luar Indonesia.
    Kepada mas Karim dan admin Indonesiamengglobal, mohon ijin untuk share tulisan ini ya, saya mau memposting ulang di blog anthrostudy.wordpress.com.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here