Ekspansi Batas Praktik dan Studi Arsitektur

4
4850

The adjacent possible is a kind of shadow future, hovering on the edges of the present state of things, a map of all the ways in which the present can reinvent itself. The strange and beautiful truth about the adjacent possible is that its boundaries grow as you explore them.”

– Steven Johnson, The Genius of the Tinkerer

Apa itu arsitektur? Semakin lama belajar arsitektur, saya semakin kesulitan menjawab pertanyaan yang semestinya amat mendasar ini. KBBI menyebutnya sebagai seni (art) dan ilmu (science) merancang serta membuat konstruksi bangunan, selaras dengan definisi kamus-kamus otoritatif Bahasa Inggris seperti Merriam-webster atau Oxford. Pemaknaan itu menyiratkan bangunan sebagai ujung yang menyatukan segala produksi seni dan ilmu dalam arsitektur. Berangkat dari definisi itu, wajar pula jika profesi arsitek, perancang bangunan, dianggap sebagai karir “normal” bagi para lulusan pendidikan arsitektur.

Namun, seperti segala kata lain di dunia ini, makna kata “arsitektur” tidak statis. Dalam seratus tahun terakhir, pemaknaan arsitektur di lingkup akademik maupun praktik arsitektur semakin cair. “Bangunan” tidak lagi mesti jadi produk akhir dan “membangun” tidak lagi jadi tindakan absolut dalam berarsitektur. Berbagai wacana interdisipliner, perkembangan teknologi, dan terobosan pemikiran membuka pintu-pintu baru. Rupa-rupa profesi arsitektural yang tak mesti arsitek pun bermunculan. Maksud saya bukan profesi walikota loh ya. Sejak 1963, misalnya, Ada Louis Huxtable menjadi kritikus arsitektur pertama yang bekerja penuh waktu. Philip Johnson pada 1930-an sudah menjadi kurator arsitektur untuk Museum of Modern Art. Tahun lalu, sebuah artikel di Archdaily menceritakan pengalaman María Elisa Navarro, sejarawan arsitektur, saat menjadi konsultan arsitektur untuk permainan konsol Assassin’s Creed II. Pada 2014, Guggenheim Museum membuka posisi kuratorial baru berjudul Architecture and Digital Initiative. Spektrum praktik arsitektur terus meluas dan pandangan konvensional tentang apa itu arsitektur, sekalipun tak salah, tidak lagi cukup.

Institusi-institusi pendidikan ikut ambil bagian dalam membuka lapangan-lapangan studi yang sebelumnya tak pernah ada. Pada artikel ini, saya merangkum beberapa wilayah studi yang merentang batas-batas praktik arsitektur, beserta dengan universitas-universitas yang menyediakan pendidikan lanjut—kebanyakan adalah pendidikan pascasarjana—bagi studi tersebut. Daftar tentang praktik di tapal batas ini, tentu saja, terbatas. Banyak wilayah studi arsitektural lain yang sudah pasti tidak saya ketahui. Pun daftar ini tidak berarti bahwa wilayah studi arsitektural lain yang sudah mapan seperti perancangan arsitektur, perencanaan kota, preservasi bangunan bersejarah, real estate dan properti, atau sejarah dan teori arsitektur tidak lagi relevan. Peran berbagai wilayah studi tersebut tetaplah sentral. Sementara, peran wilayah-wilayah studi yang eksperimental, sekalipun segar, bukan berarti krusial. Waktu masih terlalu singkat untuk menguji mereka, oleh sebab itu, baiknya kita ambil positifnya saja: praktik arsitektur yang semakin beragam.

Arsitektur Forensik

Forensik, dalam bidang hukum dan kriminologi, merujuk pada praktik penyajian bukti dalam investigasi kejadian kriminal melalui metode dan teknik ilmiah. Namun begitu, seni forensik tidak hanya memerlukan kerja lapangan yang tajam dan teliti, tetapi juga kemampuan retorika dan estetika yang mumpuni dalam menyajikan data di hadapan forum yang menilai. Tak heran jika kata forensik sendiri berakar dari kata Latin forum.

Laku forensik di bidang arsitektur dikembangkan oleh badan riset Forensic Architecture di Goldsmiths, University of London. Ia juga menjadi salah satu unit studi pascasarjana Master of Arts in Research Architecture di universitas tersebut. Praktik arsitektur forensik merespons semakin banyaknya konflik, baik berlatar ekonomi, sosial, maupun politik, yang menjadikan bangunan dan aspek spasial sebagai senjata maupun sebagai sasaran. Forensic Architecture menginvestigasi berbagai aspek dari bangunan: kulit, material, sistem struktur, sistem pembuangan, pola spasial, sirkulasi, dan lain sebagainya, dan mengolahnya ke dalam media representasi arsitektur yang mutakhir sebagai alat bukti. Singkat kata, para “arsitek” forensik bekerja seperti detektif: mengumpulkan fakta dengan bukti-bukti yang valid untuk kemudian diajukan sebagai argumentasi di forum—entah itu di persidangan formal ataupun di ranah diskusi publik.

Contoh riset mereka: rekonstruksi operasi militer Israel di Rafah, Gaza, 1-4 Agustus 2014, dengan menggabungkan model digital tiga dimensi, gambar-gambar, video, dan narasi. Bekerja sama dengan Amnesty International, Forensic Architecture menganalisis berbagai data dari organisasi profesional maupun dari warga untuk mengungkap fakta-fakta lapangan yang sebenarnya terjadi selama 72 jam berdarah yang membunuh setidaknya 130 orang warga Palestina tersebut. Dokumen tersebut dipakai sebagai alat bukti dalam pengadilan internasional sekaligus juga sebagai rekaman sejarah.

Sumber video: Amnesty International.

Media Digital

Digital media technology is at the heart of modern life,” begitu kalimat pertama prospektus Master of Science in Design and Digital Media, Edinburgh University, di situs mereka. Entah apakah klaim itu berlebihan. Setidaknya, kalaupun media digital belum sampai ke hati, setidaknya ia sudah sampai di setiap kantong celana kita. Pengaruh dunia digital tak terhindarkan dan belum akan berhenti di tempat, apalagi jika memperhitungkan teknologi layar yang makin mutakhir—sulit untuk tidak menyebut smartphone dan virtual reality headset sebagai aktor utama—yang sudah pasti akan mengubah cara kita mengalami baik lingkungan virtual maupun realita. Maka layar, tak ayal, menjadi salah satu tapak paling produktif untuk arsitektur, dan program di Edinburgh University tersebut berkutat dengan itu.

Selain itu, universitas yang membuka wilayah studi di bidang ini adalah Southern California Institute of Architecture (SCI-arc), melalui program Master of Arts in Fiction and Entertainment. Permainan konsol dan sinema, dua hiburan terpopuler, membutuhkan aplikasi arsitektur yang tak sebatas lingkungan terbangun. Berbagai museum dan galeri juga mulai mengadopsi teknologi digital sebagai bagian dari pengalaman menikmati konten. Program pascasarjana ini mengeksplorasi lingkungan virtual sebagai wilayah produksi arsitektur, dengan melibatkan industri film, fiksi, animasi, game, galeri, dan lain-lain.

Praktik Media, Kritik, dan Kuratorial

Walaupun tulisan dan pameran sudah sejak lama menjadi mata uang dalam sirkulasi wacana arsitektur, baru belakangan ini berbagai institusi akademik meramu jurusan yang spesifik bagi yang ingin menekuni praktik kritik dan kuratorial di bidang arsitektur. Ini mungkin sejalan juga dengan semakin banyaknya kritikus dan kurator arsitektur yang bekerja penuh waktu alih-alih menjadikannya pekerjaan sampingan. Meningkatnya infrastruktur pendukung seperti situs-situs arsitektur, pameran-pameran rutin macam bienial, dan galeri-galeri arsitektur turut turut andil dalam mengembangkan profesi kritikus dan kurator arsitektur.

School of Visual Arts, New York, sejak 2008, membuka pendidikan Master of Arts in Design Research, Writing, and Criticism. Di kota yang sama, Columbia University, sejak 2010, membuka pendidikan Master of Science in Critical, Curatorial, and Conceptual Practices in Architecture. Design Academy Eindhoven, sejak 2014, mengadakan jurusan Master of Arts in Design Curating and Writing. AA School, sejak 2016, membuka Master of Philosophy in Media Practices. Berbagai institusi tersebut menerapkan berbagai media dalam laku produksi dan diseminasi wacana arsitektur. Selain itu, banyak universitas lain yang memiliki jurusan sejarah dan teori yang kompatibel dengan kerja media, kritik, dan kuratorial.

Ekspansi Batas Praktik dan Studi Arsitektur
Paviliun Indonesia, Venice Biennale 2014. Salah satu kuratornya adalah Avianti Armand, satu dari sedikit kritikus dan kurator arsitektur di Indonesia. (Sumber foto: Robin Hartanto)

Data Science

Limpahan data di era informasi serupa dua sisi mata uang. Di satu sisi mengumpulkannya menjadi lebih mudah, tetapi di sisi lain menyaringnya jadi lebih susah. Belum lagi jika kita bicara soal Big Data. Bagaimana mengolah limpahan data dari berbagai lapisan menjadi informasi yang berguna? Pun setelah menyaringnya, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana menjadikan data tersebut ramah dibaca? Tantangan ini membuat manajemen, teknik analisis, dan teknik visualisasi data menjadi kemampuan yang krusial di masa kini.

Maka berbagai jurusan yang berurusan dengan data dan arsitektur pun bermunculan. TU Delft membuka pendidikan Master of Science Geomatics for the Built Environment. Program ini menawarkan kemampuan 3D modelling, GIS, pemetaan, simulasi, dan visualisasi untuk diaplikasikan ke dalam berbagai bidang seperti misalnya manajemen bencana, geodesign, aplikasi berbasis lokasi, dan administrasi tanah. Parsons School of Design menawarkan program Master of Science in Data Visualization, yang berfokus pada visualisasi data. Sementara itu,  New York University membuka jurusan Master of Science in Applied Urban Science and Informatics, mengutamakan peran ilmu data dalam membaca dan memahami kinerja kota.

Arsitektur Komunitas

Salah satu kritik keras terhadap praktik profesi arsitek adalah soal keberpihakan. Sebagian besar klien yang mampu menikmati jasa arsitek berasal dari kalangan berpenghasilan tinggi. Sementara baik kampung kota maupun kampung desa, juga kawasan-kawasan terbengkalai, yang praktis membutuhkan rancangan yang berkualitas, nyaris tak tersentuh profesi arsitek. Kritik ini melahirkan jaringan-jaringan arsitek yang tak hanya sekadar mau turun tangan tetapi juga dalam praktiknya melibatkan warga setempat. Beberapa organisasi tersebut, antara lain, Jaringan Arsitektur Komunitas dan Architectes Sans Frontières. Kedua organisasi itu memiliki jaringan di Indonesia dan anda tidak usah pergi jauh-jauh buat belajar, apalagi Indonesia memiliki kasus-kasus studi yang relevan.

Tapi jika anda mencari pendidikan formal, berbagai program arsitektur dan perencanaan komunitas diadakan berbagai universitas, misalnya University of San Fransisco dengan program Bachelor of Arts in Architecture and Community Design. Program lain yang ternama adalah Rural Studio, yang merupakan bagian dari studi sarjana arsitektur di Aupburn University. Program ini betul-betul melibatkan aktivitas membangun dalam kurikulumnya.

Praktik Estetika

Konon katanya, arsitektur adalah ibu dari segala macam seni. Banyak penjelasan untuk pernyataan ini yang tentu saja bisa diperdebatkan: dari arsitektur sebagai seni tertua, arsitektur sebagai seni yang membutuhkan kemampuan estetika sekaligus pengetahuan ilmiah, hingga keberadaan seni-seni lain yang mulanya dibuat sebagai bagian dekorasi dari bangunan. Sementara, pandangan lain berkata bahwa peran arsitektur hanyalah sebagai wadah bagi karya seni, tidak lebih. Tetapi batas pemisah antara seni rupa dan arsitektur, selama seabad terakhir, terus-menerus digugat. Di satu sisi kita dapat melihat praktik-praktik seni rupa yang mengelaborasi ruang, seperti misalnya karya-karya Dan Graham, Les Levine, dan Dan Flavin; di sisi lain, karya-karya arsitektur juga tak lepas dari berbagai macam ideologi estetika.

Berbagai program studi membuka ruang untuk mengeksplorasi relasi dan interaksi antara praktik estetika dan arsitektur. Städelschule Architecure Class (SAC) membuka kelas spesialisasi Architecture and Aesthetic Practice (AAP). Kelas ini berkolaborasi dengan seniman dan institusi seni, dengan fokus tema yang berganti tiap tahun untuk menjelajahi berbagai wilayah seni. AA School membuka kelas MA dan MFA in Spatial Perfomance and Design yang berfokus pada seni performans seperti tari, teater, dan musik. Bekerja di bawah asuhan para pengajar dari berbagai profesi seni seperti koreografer, komposer, dan sutradara, para peserta kelas ini menciptakan karya-karya yang mengawinkan praktik seni dan praktik spasial.

Arsitektur dan Kesehatan

Ihwal-ihwal yang mempengaruhi kesehatan bukan hanya apa-apa yang masuk ke tubuh melainkan juga apa-apa yang melingkunginya. Pengaruh nyata lingkungan terbangun terhadap kesehatan membuka wilayah studi baru yang meneliti relasi antara arsitektur dan kesehatan. Wilayah studi tersebut menginvestigasi desain pada berbagai skala: pakaian, interior, bangunan, infrastruktur, kota, dan lain-lain. Isu yang menjadi pokok bahasan studi ini pun macam-macam: eksplorasi ergonomi antara tubuh dan ruang hidupnya, aksesibilitas untuk difabel, pengaturan kualitas udara, air, dan sistem mekanikal dalam bangunan, aplikasi teknologi dalam ruang tinggal, relasi antara lingkung bangun dan alam, dan lain-lain.

University of Michigan, misalnya, memiliki program Master of Science in Architecture concentration in Design and Health. Ada juga University Illinois at Urbana-Champaign yang membuka program Master of Architecture dengan spesialisasi Health+Well Being. Jurusan-jurusan ini bukan hanya mempelajari cara mendesain rumah sakit. Melalui kajian kritis sejarah ilmu dan praktik kesehatan, wilayah studi ini mengeksplorasi berbagai kemungkinan ruang hidup yang lebih sehat, tidak hanya pada institusi-institusi kesehatan melainkan juga pada ruang-ruang yang sehari-hari, baik itu ruang domestik maupun ruang publik.

Ekspansi Batas Praktik dan Studi Arsitektur
Rekaman studi ergonomi tangan ini dibuat oleh Fauzia Evanindya, arsitek berprestasi dan masih single asal Indonesia yang sedang menjalani studi pascasarjana Master of Science in Architecture concentration in Design and Health, University of Michigan (Sumber foto: Fauzia Evanindya)

Post Scriptum:

Menulis artikel ini membuat saya bertanya seberapa krusial peran institusi pendidikan dalam menciptakan ruang-ruang alternatif. Dengan berada di bawah payung institusi pendidikan, berbagai praktik arsitektur alternatif seperti Forensic Architecture mendapatkan keleluasaan gerak, terutama dalam hal finansial dan sumber daya manusia. Tetapi, banyak juga praktik independen yang justru bergerak lebih lentur oleh karena tidak terikat pada struktur yang lebih besar dan bekerja secara gerilya. Institusi-institusi kuratorial arsitektur, misalnya, menjamur lebih dulu sebelum mulai memasuki institusi pendidikan. Maka, jika ingin terjun menekuni disiplin ilmu tertentu, pendidikan formal saya kira bukanlah pilihan mutlak. Pertanyaannya adalah perbedaan apa yang mau dituju dengan menelusuri satu jalan tertentu. Sebab, ada banyak jalan menuju batas.

 

Photo and Video Courtesy: Amnesty International, Fauzia Evanindya, Author’s Collection


BAGIKAN
Berita sebelumyaWho Says Being A Music Major Is Easy?
Berita berikutnyaMenimba Ilmu di Malaysia
Robin Hartanto graduated from Universitas Indonesia in 2012 and currently studies Critical, Curatorial and Conceptual Practices in Architecture at Columbia University. His practices examine the roles of exhibition and publication in contemporary architectural discourses. He co-curated the Indonesia Pavilion in Venice Biennale (2014), “A Conservation Story”—an exhibition of Five awardees of UNESCO Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation in Indonesia (2014), and Universitas Pelita Harapan Architecture Triennial “Waktu Adalah Ruang” in Kota Tua, Jakarta (2015). Previously, he worked as a junior architect at Avianti Armand Studio, a writer at Yahoo! Indonesia, and a lecturer at UPH.

4 KOMENTAR

  1. woww tulisan yg semoga bs mendobrak paradaigma berarsitektur yg selama ini terjebak dlm labirin tak berujung. skedar tambahan, di kita dlm kurun 5 taunan ini mulai lahir ‘arsitek arkeolog’, beberapa kawan ars dilibatkan oleh puslit arkenas dlm penelitian2 terutama situs2 prasejarah yg tersebar d bumi nusantara.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here