Mengambil pendidikan PhD, yang setingkat dengan pendidikan Doktoral dalam sistem pendidikan Indonesia, di luar negeri tentu merupakan hal yang tidak mudah. Berikut adalah pengalaman Yani Sunarharum dalam memaksimalkan kesempatan menjadi Doktor dari salah satu universitas paling bergengsi di Australia dengan menambah daftar prestasi akademik dan non-akademik hingga mengharumkan nama Indonesia di forum internasional
Studi di luar negeri merupakan kesempatan emas bagi saya karena harus melalui perjuangan yang gigih untuk bisa mendapatkannya. Oleh karena itu, saya selalu berusaha untuk mengoptimalkan kesempatan tersebut untuk aktif memperluas jaringan, memperkaya pengalaman dan prestasi serta mengharumkan nama Bangsa Indonesia.
Perjuangan Mendapat Beasiswa
Perjalanan dan perjuangan saya untuk bisa sekolah di luar negeri sampai selesai cukup berliku-liku namun penuh warna dan sarat makna. Saya menempuh kursus dan tes IELTS berkali-kali hingga akhirnya bisa mendapat surat penerimaan (LoA) program S2 dari beberapa Universitas di luar negeri, diantaranya dari Kyoto University, University of Queensland dan Queensland University of Technology. Di saat yang bersamaan dengan usaha mendapat LoA, saya juga mendaftar untuk mendapatkan Beasiswa Unggulan dari DIKTI, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Akhirnya, saya berhasil mendapat beasiswa sebagai angkatan pertama di tahun 2011 untuk menempuh program Master di Kyoto University. Karena ada kendala, saya diharuskan mengganti pilihan universitas tujuan dan akhirnya berangkat ke Australia di awal tahun 2012.
Merubah Jenjang Pendidikan dari S2 ke S3
Pada awal semester kedua, kedua pembimbing menyarankan saya untuk menaikkan jenjang studi dari program S2 ke S3. Konsekuensinya adalah merubah proposal penelitian sehingga sesuai dengan level S3. Pada akhir tahun 2013, saya menempuh sebuah proses yang dinamakan artikulasi seminar dimana saya diuji oleh empat orang panelis mengenai kesesuaian penelitian saya untuk program S3. Saya dinyatakan lulus secara resmi dan bisa lanjut mengikuti program PhD. Secara otomatis, studi S2 saya dianulir dan dinaikkan ke jenjang PhD.
Bersyukur sekali saya dapat menyelesaikan studi S3 di Queensland University of Technology (QUT), Brisbane, Australia. Ada rasa haru bercampur suka cita karena saya bisa menghadiri wisuda sebagai Doctor of Philosophy (PhD) bersama orang tua dan keluarga tercinta di Brisbane. Wisuda tersebut merupakan hari yang sangat bermakna bagi saya, terutama karena saya ‘loncat’ jenjang dari S2 ke S3 sehingga tidak mengalami wisuda S2 sebelumnya. Saya pun tidak mendapatkan gelar Master karenanya.
Menjaga Performa Akademis
Selama menempuh studi saya sempat mempresentasikan makalah penelitian saya di beberapa konferensi internasional di Australia, Inggris, Indonesia, dan New Zealand. Pada tahun 2014, saya mendapat beasiswa untuk mengikuti Residential Doctoral School yang terinkorporasi dengan Konferensi Internasional dari ANDROID Disaster Resilience Network, the United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNISDR) dan beberapa institusi internasional lainnya, di Salford Quays, Inggris. Dua tahun kemudian, di tahun 2016, saya berkesempatan menjadi Panelis ANDROID Doctoral School yang diselenggarakan oleh organisasi dan institusi yang sama di Auckland, New Zealand. Saya juga sempat menjadi reviewer dari International Journal of Disaster Resilience in the Built Environment. Baru-baru ini, saya diundang oleh Franzius Institute for Hydraulic, Waterways, and Coastal Engineering University of Hannover (FI); United Nations University Institute for Environment and Human Security (UNU-EHS); dan LIPI untuk mempresentasikan penelitian saya pada acara workshop yang akan diselenggarakan di Bali.
Bekerja Paruh Waktu
Sembari belajar, saya pun mendapat kesempatan bekerja paruh waktu, mulai dari menjadi asisten staf pengajar di kampus, guru les privat untuk mahasiswa dan anak SMP hingga menjadi petugas kebersihan hotel, penyebar brosur/flyer, make-up artist, jasa potong rambut dan pramusaji restoran. Semua saya lakukan untuk menambah pemasukan untuk biaya hidup karena saya mendapat beasiswa untuk biaya kuliah namun sempat tidak ada beasiswa untuk biaya hidup pada tahun 2014. Namun di awal tahun 2015, saya akhirnya mendapat Postgraduate Research Award dari QUT, yang memberikan saya biaya hidup hingga saya selesai sidang Disertasi di awal tahun 2016. Setelah itu, saya mendapat Write-Up Scholarship, yaitu beasiswa untuk mengerjakan publikasi ilmiah selama tiga bulan. Alhamdulillah.
Aktif Berorganisasi dan Meraih Prestasi
Menempuh studi program Doktor memang tidaklah mudah dan cukup menguras energi. Oleh karena itu, diperlukan kegiatan non-akademis lainnya agar daya pikir menjadi seimbang. Meskipun sibuk mengerjakan penelitian dan bekerja paruh waktu, saya tetap aktif dalam berbagai kegiatan keorganisasian, seperti Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA); QUT Science and Engineering Faculty Higher Degree Research Student Society; QUT Intercultural Sharing of Talents and Arts Group Enthusiasts (iStage); serta Australia Indonesia Youth Association (AIYA) Queensland Chapter. Saya pun sempat bergabung menjadi anggota dari Planning Institute of Australia, Engineers Without Borders, Center for Emergency and Disaster Management, serta Australasian Early Career Urban Research Network. Pada tahun 2014, saya menjadi Tim Pendukung Indonesia untuk G20 Summit dan mengikuti Global Cafe G20 Youth Forum di Brisbane. Pada tahun 2016, saya juga mendapat kesempatan menjadi Welfare Officer Ambassador untuk program pelatihan kepemimpinan Australia Awards di Brisbane dan Sydney.
Saya juga sering tampil menyanyi dan menari di berbagai multi-kultural festival dan festival internasional di Queensland. Saya sempat menjadi vokalis Buaya Keroncong Brisbane (BKB), sebuah band musik keroncong di Brisbane. Pada tahun 2015, saya memenangkan OLYMPPIA Singing Contest 2015. Di tahun yang sama, saya dicatat sebagai 7 top outstanding Indonesian students in Australia oleh Majalah OZIP edisi bulan Mei 2015. Disamping itu, karena keaktifan berorganisasi dan berprestasi, akhirnya saya memenangkan penghargaan sebagai QUT Student Leader of The Year 2015. Kali itu, pertama kalinya dalam 10 tahun penghargaan prestisius ini dimenangkan oleh mahasiswa PhD dan mahasiswa internasional yang sekaligus orang Indonesia. Sangat bersyukur dan bangga sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Prestasi yang sempat terukir dalam sejarah hidup saya ternyata masih berlanjut. Di pertengahan tahun 2016, saya bersama Jane Ahlstrand menjadi pemeran utama dalam film pendek “Behind the Mask” yang mendapat Special Mention Award by the Judges dalam Australia Indonesia Short Film Festival 2016; yang melibatkan juri terkenal seperti Mira Lesmana dan Riri Riza. Kemudian, di bulan Oktober 2016 saya terpilih menjadi Miss Indonesia Diaspora 2016 dan mendapatkan banyak pengalaman baru yang berharga.
Saya berharap semoga pengalaman-pengalaman berharga tersebut bisa terus menjadi penyemangat saya pribadi dan bahkan mungkin orang lain untuk turut mengharumkan nama Bangsa Indonesia dimanapun berada, seperti ajakan Bung Karno berikut:
“Kita belum hidup di bawah bulan purnama. Kita masih hidup di musim pancaroba. Jadi, tetaplah bersemangat elang Rajawali!”
Jadi, mari semangat berjuang dan belajar dengan memanfaatkan peluang yang ada, karena kita semua lah elang Rajawali tersebut. Semoga Tuhan memberikan bimbingan dan berkah-Nya.
wuih gokil prestasinya. Salut banget.. Jadi malu belum bisa berprestasi seperti mba Yani. Semoga bisa mengikuti jejak inspirasinya.