Prahara Peradaban Timur dan Barat

0
11921

Dalam artikel berikut, Eral Katyushantri Zeih membandingkan sistem pendidikan antara kebudayaan Timur dan Barat dengan menerangkan perbedaan budaya di antara keduanya.

Kata peradaban selalu memiliki daya tersendiri untuk memikat para pendengarnya. Apa itu peradaban? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) peradaban ialah kemajuan lahir bathin yang menyangkut sopan santun, budi bahasa dan kebudayaan suatu bangsa.

Otentiknya, peradaban itu memiliki arti yang sangat lawas, istilah peradaban sering dipergunakan sebagai persamaan yang lebih luas dari istilah “budaya”, persamaan dari berbagai corak budaya, seperti nilai-nilai, seni, adat istiadat, kebiasaan dan kepercayaan yang terdapat pada sekelompok masyarakat.

Dari manakah buah pikiran peradaban Timur dan Barat muncul? Mengapa timur dan barat? Mengapa bukan utara dan selatan? Dari konsepnya, batas antara timur dan barat bersifat kultural, bukan geografis. Dalam hal ini, sulit untuk menetapkan mana yang barat dan mana yang timur. Sebagai contoh, sejumlah ilmuwan Eropa mendefinisikan Rusia sebagai bagian dari timur, tetapi banyak ilmuwan yang sepakat bahwa Rusia adalah wilayah pelengkap barat kedua. Contoh lainnya, negara-negara Islam menganggap Rusia dan negara yang didominasi penganut Kristen sebagai bagian dari Barat. Guna mempermudah identifikasi, istilah Timur dan Barat itu sendiri dirangkum dari budaya yang dianut oleh mayoritas negara Timur dan mayoritas negara Barat; karena kedua kubu inilah yang berhasil membuat dikotomi budaya yang saling berseberangan.

Peradaban Timur dan Barat menyimpan banyak ketidakcocokan dalam kebudayaan maupun teologi, berikut di antaranya:

  1. Pengetahuan

Kaum Barat cenderung menekan pada analisis pengetahuan yang kritis dengan mencari unsur sebab akibat. Unsur rasionalitas sangat ditekankan dalam hal pengetahuan oleh kaum ini, semakin terlihat jelas pada konsep yang diterapkan oleh Aristoteles, yaitu “Animal Rationale” yang berarti, manusia berakal budi.

Lain halnya kaum Timur, yang menekankan pada pengetahuan intuitif yang menyeluruh dan melibatkan unsur emosi. Bagi kaum ini, yang nyata tidak mesti dijelaskan secara rasional, bahwa ada hal yang tak dapat dijelaskan oleh akal budi. Pengetahuan intelektual tidak begitu menarik minat kaum ini, karena dipercaya keintelektualan manusia tidak menjadikan hidupnya lebih baik, yang berkembang pada kaum ini ialah; bagaimana menjadi manusia, khidmat bijaksana dalam hidup.

Eli Stanley Jones, seorang misionaris dan teolog Kristen metodis mengatakan: “Di Timur orang bertanya-tanya, Allah mana yang harus dipercaya? Namun di Barat, orang bertanya-tanya; Mengapa harus ada Allah?”.

  1. Sikap Terhadap Alam

Budaya Barat menganggap alam sebagai objek yang bisa dikuasai dan dimanfaatkan. Dalam menyikapi alam, kaum ini tampak aktif dan eksploratif. Sedangkan, budaya Timur mendorong penganutnya untuk menghayati diri sebagai bagian dari alam. Kaum ini pun pendiam dan kontemplatif dalam menyikapi alam dunia, dan sebagian orang menyebut kaum ini sebagai peniti hidup yang pasif.

  1. Pandangan Terhadap Individu

Budaya Barat sangat memprioritaskan hak-hak individu, dan memberikan jaminan kebebasan pada setiap orang untuk menikmati haknya. Bagi kaum ini, manusia sejati adalah manusia yang dapat mencapai puncak dengan kegigihannya sendiri. Di Timur, martabat manusia juga diakui, namun hubungan dengan orang lain dan kelompok lebih ditekankan; mengingat betapa pentingnya lingkungan karib bagi budaya Timur.

Ketiga hal di atas pun berpengaruh terhadap sistem pendidikan di kebudayaan masing-masing. Sistem pendidikan di Barat cenderung memperturutkan ego. Bagi mereka, independensi seseorang adalah sesuatu yang amat dihargai. Mereka tidak ragu melakukan eksplorasi intelektual. Ada lelucon, jika Einstein bersekolah di Asia, mungkin ia tidak akan lulus ujian. Di sekolahnya ia memang bukan termasuk anak yang pintar, tapi ia mempunyai daya imajinasi yang kuat. Pendidikan di Barat identik dengan kekritisan, karena pemahaman mengenai unsur sebab akibat; apapun yang terjadi harus memiliki unsur rasionalitas yang dapat dijelaskan oleh akal. Berbalik dengan sistem di Timur, walau kadang disebut sebagai pasif; sejatinya pendidikan di Timur memberikan pada setiap pencarinya bagaimana seseorang menghidupkan hati, mengajarkan tentang kebijakan hidup. Jika Barat dikenal dengan keagresifan dan aktif dalam menghadapi hidup, maka Timur dikenal cukup tenang, bahkan pasif dalam menghadapinya. Dari sini pun terlihat, bagaimana prioritas Barat terhadap akal dan bagaimana prioritas timur terhadap hati.

Sebagai contoh, pendidikan di Timur, khususnya di Mesir; para pencari ilmu mengisi hari-hari dengan kajian. Para mahasiswa berbondong-bondong mendatangi para ulama untuk menyerap ilmu-ilmu dari beliau. Di sinilah para mahasiswa diharuskan untuk mendengar, karena pada kebanyakan kajian, mahasiswa hanya dapat mendengarkan penjelasan dari ulama. Walau terdengar cukup pasif karena tidak adanya interaksi antara guru dan murid, tapi di sinilah pemberian asupan hati dimulai. Mahasiswa dicekoki kalam-kalam hikmah dari para ulama. Inilah fakta yang terjadi di Mesir, Ada Jami’ (Masjid) dan Jami’ah (Universitas). Pendapatan ilmu di Jami’ lebih melimpah ruah dibanding pendapatan ilmu di Jami’ah. Karena apa? Karena jika di universitas kita terfokus pada apa yang menjadi jurusan kita, namun ketika di masjid kita dengan bebas dapat memilih ilmu mana yang kita ingini. Ada satu hal yang membuat penulis terpukau pada Mesir, apa? Peradaban dan sejarahnya. Hampir setiap tanah yang kita pijaki di Mesir menyimpan sejarah. Tidak hanya sejarah mengenai Islam, Kristen pun juga dijumpai di sini. Itulah mengapa ada sebutan, “Mesir, setiap jengkalnya ialah peradaban”.

Dengan ragam budaya dan pemahaman yang saling berseberangan, sebenarnya tidak menutup kemungkinan bagi para pencari ilmu untuk mengkolaborasikan sistem pendidikan kedua peradaban ini.

 

 


BAGIKAN
Berita sebelumyaFrom Malaysia to Luxembourg: A Hotelier’s Internship Journey
Berita berikutnyaSeramah Warga Australia Barat, Setenang Kota Perth
Nama lengkap, Eral Katyushantri Zeih. Mahasiswi kelas bahasa di Universitas al-Azhar, Mesir. Belum memiliki pengalaman menarik, karena baru meniti langkah di negeri ini. Lahir di Samarinda, 19 Mei 1998. Menghabiskan masa SMP dan SMA di Pondok Modern Darussalam Gontor. Sampai di negeri ini melalui beasiswa yang diberikan oleh Imam Besar al-Azhar. Aktif di bidang kepenulisan sejak SMP dan SMA.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here