Dalam perjalanan yang melampaui batas ruang dan waktu, saya naik pesawat selama hampir 30 jam dari Indonesia menuju Amerika Serikat sebagai seorang penerima beasiswa Fulbright. Ini bukan hanya sekadar sebuah perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan emosi yang membawa saya melewati berbagai perasaan. Di antara keriuhan bandara dan kebisingan kabin pesawat, pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu selalu membayangi pikiran saya. “Bagaimana kalau nanti saya gagal?” atau “Bagaimana jika saya tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan budaya yang berbeda?”
Sebagai penerima beasiswa Fulbright Foreign Language Teaching Assistant (FLTA) di Amerika Serikat, langkah saya di atas tanah asing ini tak hanya membawa koper penuh harapan, tetapi juga membawa impian akan petualangan di negeri nun jauh dari kampung halaman. Di sini, di bawah langit yang pernah saya impikan, saya melihat diri saya berdiri di tengah-tengah peradaban yang benar-benar berbeda. Petualangan saya sebagai seorang Fulbrighter bukan hanya tentang mengajar bahasa dan budaya Indonesia, tetapi juga tentang menemukan jati diri baru, merangkai cerita-cerita baru, dan mengukir kenangan-kenangan yang tak terlupakan di dalam benak saya.
Ubed memberikan presentasi tentang keberagaman budaya Indonesia. Sumber: Dokumentasi pribadi.
Sejak didirikan, beasiswa Fulbright telah menjadi salah satu program beasiswa paling terkemuka di dunia, menawarkan kesempatan pendidikan dan pertukaran budaya antara Amerika Serikat dengan berbagai negara. Sebagai seorang guru yang berasal dari kampung di Kabupaten Gresik, saya merasa beruntung dapat menjadi bagian dari program Fulbright FLTA di University of Georgia pada tahun 2018. Melalui beasiswa ini, saya tidak hanya mengejar mimpi belajar di negeri Paman Sam, tetapi juga menemukan panggilan untuk berkontribusi dengan cara mengenalkan bahasa dan budaya Indonesia di Amerika Serikat. Sebagai seorang Fulbright FLTA, saya tidak hanya bertugas sebagai pengajar bahasa di kampus Amerika, tetapi juga diharuskan mengambil mata kuliah di setiap semester.
Sudah barang tentu, tinggal dan belajar di negeri orang untuk pertama kali bukanlah hal yang mudah. Tantangan budaya sebagai mahasiswa asing menjadi hal yang tidak terhindarkan. Tantangan sering muncul dalam bentuk culture shock atau gegar budaya, yang meliputi bahasa, rindu keluarga, dan perasaan terasingkan.
Saat awal tiba di kota Athens, Georgia, saya merasa seperti orang asing di tengah-tengah lingkungan yang asing. Namun, saya menyadari bahwa kunci untuk mengatasi perasaan ini adalah dengan berbaur dengan komunitas lokal. Saya aktif mencari kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan kampus dan kegiatan sosial, serta mencari teman dari berbagai latar belakang budaya. Di sana, saya aktif terlibat dalam Indonesian Student Organization (ISO) di kota itu, di mana saya membantu mengorganisir kegiatan seperti International Coffee Hour, International Street Festival, dan Indonesian food potluck. Di forum tersebut, saya tidak hanya mengenalkan budaya Indonesia melalui makanan, tetapi juga mengajak para pengunjung untuk bermain permainan tradisional seperti dakon dan bola bekel. Saya juga turut aktif dalam komunitas Muslim Student Association (MSA) di Masjid Al-Amin di kota Athens, ikut dalam kegiatan Halaqah setiap Senin malam, dan mengikuti kegiatan Dzikir dengan komunitas Muslim di Religion Departemen, University of Georgia.
Dengan berbaur dan terlibat dalam kehidupan kampus dan komunitas lokal, saya merasa lebih diterima dan menambah rasa “sense of belonging” yang lebih kuat terhadap lingkungan baru saya.
Ubed menjadi relawan di International Street Festival di kota Athens. Sumber: Dokumentasi pribadi.
Salah satu momen penting dalam perjalanan seorang Fulbright FLTA di kota Athens adalah kelas yang saya ambil di semester pertama saya, yakni TESOL Method and Materials. Di kelas ini, saya dan teman-teman saya menjalani pengalaman service learning yang membawa kami menjadi relawan pengajar bahasa Inggris untuk berbagi dengan komunitas imigran yang belum menguasai bahasa Inggris di Amerika. Kami mengadakan kelas bahasa Inggris gratis setiap minggu sekali di Cedar Shoals High School di kota tersebut. Setiap momen mengajar di kelas imigran menjadi bagian dari kenangan yang selalu teringat dalam benak saya. Bagaimana tidak? Untuk pertama kalinya saya merasakan bagaimana sulitnya mengajar bahasa asing kepada murid yang tidak tahu sama sekali bahasa Indonesia juga tidak mengerti bahasa Inggris. Namun, kolaborasi dengan teman sekelas dan Instruktur mata kuliah di University of Georgia telah memberikan saya banyak pelajaran. Kami bekerja sama mendesain pelajaran, menyiapkan bahan kemudian mengevaluasi setiap kegiatan.
Saya melihat bagaimana siswa kami sangat antusias untuk belajar bahasa Inggris. Mereka sangat menerima kami para pengajar lebih dari sekadar guru bahasa di kelas, tetapi juga teman dan sahabat di luar kelas. Mereka tidak segan berbagi bahasa, budaya serta pengalaman mereka di dalam maupun di luar kelas. Saya melihat bagaimana rasa persahabatan dan kepedulian terhadap sesama menjadi pendorong utama dalam proses pembelajaran kami. Mereka bukan hanya murid kami, tetapi juga sahabat di luar kelas yang punya tujuan yang sama yaitu belajar dan bertahan hidup di tanah rantau. Keterlibatan dalam komunitas lokal tidak hanya memperkaya pengalaman, tetapi juga membentuk ikatan yang kuat di antara kami. Ini adalah bukti nyata betapa pentingnya menjadi bagian dari komunitas dan memberikan kontribusi positif dalam kehidupan mereka.
Ubed memberikan pelajaran bahasa Inggris untuk komunitas imigran di Cedar Shoals High School di kota Athens. Sumber: Dokumentasi pribadi.
Selain kegiatan di kampus, saya juga berkesempatan untuk menghadiri acara Fulbright Mid-Year Conference yang diadakan pada bulan November 2018 di Marriott Marquis Hotel di Washington DC, di mana semua awardee Fulbright FLTA dari 50 negara lebih berkumpul. Di sini, kami sebagai mahasiswa Indonesia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menampilkan tari tradisional Liko Pulo dari Aceh di depan sekitar 500 peserta dari berbagai negara. Mumpung masih di Ibu Kota Amerika, saya dan teman-teman sesama awardee juga mengunjungi Kedutaan Besar Republik Indonesia, untuk mengisi kelas bahasa Indonesia di sana serta berkesempatan untuk datang dan menjadi pengajar tamu di Rumah Indonesia, sekolah Indonesia yang terletak di Jantung kota Washington D.C. Pengalaman ini tidak hanya memberikan saya wawasan baru. Saya juga belajar betapa pentingnya memanfaatkan setiap kesempatan untuk memperkenalkan budaya saya kepada orang-orang dari berbagai negara dan belajar dari budaya mereka juga. Melalui interaksi dengan sesama peserta dari seluruh dunia, saya mendapatkan perspektif baru tentang bagaimana keragaman budaya dapat menjadi identitas serta membangun harmoni di antara perbedaan.
Ubed dengan penerima beasiswa FLTA mengisi kelas bahasa Indonesia di Rumah Indonesia di Washington D.C. Sumber: Dokumentasi pribadi.
Pelajaran besar yang saya ambil dari pengalaman sebagai Fulbright FLTA adalah bahwa tantangan budaya adalah sesuatu yang pasti kita alami di manapun kita menginjakkan kaki di tanah rantau. Namun, saya menyadari bahwa tantangan tersebut dapat diatasi dengan cara berbaur dengan komunitas lokal, bertemu orang-orang baru, dan membentuk ikatan dengan mereka sehingga tercipta keluarga baru di lingkungan yang baru. Melalui keterlibatan aktif dalam kegiatan komunitas dan berbagi pengalaman serta pengetahuan, kita dapat membangun jaringan sosial yang kuat dan merasa lebih diterima oleh masyarakat setempat. Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa dengan sikap terbuka terhadap perbedaan, menerima tantangan dengan hati yang terbuka, dan berusaha untuk berinteraksi dengan komunitas lokal, kita dapat lebih mudah mengatasi culture shock ketika berada di lingkungan baru. Semakin kita berinteraksi dengan komunitas lokal, semakin cepat kita dapat beradaptasi dengan perbedaan dan merasa nyaman di lingkungan tersebut. Hal ini mengajarkan saya bahwa dengan membangun hubungan yang baik dengan komunitas lokal, kita dapat menjadi agen perubahan positif dalam memperkuat keberagaman budaya dan mempromosikan pemahaman lintas budaya.
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan pesan bijak dari Imam As-Syafi’i: “Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah. Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan). Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.”
Beasiswa Fulbright FLTA yang diperuntukkan bagi guru bahasa Indonesia dan Inggris untuk mengajar BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) di berbagai universitas ternama di Amerika Serikat telah dibuka dan akan berakhir di tanggal 15 April 2024. Untuk informasi lebih lanjut, silakan akses laman https://www.aminef.or.id/grants-for-indonesians/fulbright-programs/foreign-language-teaching-assistant-flta-2/
***
Editor: Adibah