Apa kamu pernah gagal ketika mencoba mendaftar beasiswa? Atau kamu sedang menyiapkan aplikasi beasiswa saat ini dan ingin memastikan agar aplikasi kamu sukses? Kontributor Retno Lestari, lulusan Master in Internet Technology and Business Management dari Loughborough University, adalah penerima beasiswa Chevening dari pemerintah Inggris Raya. Namun ternyata kesuksesannya ini bukan perkara mudah, karena sebelumnya Retno telah beberapa kali gagal meraih beasiswa. Berbekal pengalaman dan kegigihannya, Retno akan berbagi tips tentang kesalahan-kesalahan yang harus kamu hindari ketika mempersiapkan aplikasi beasiswa, terutama beasiswa Chevening yang pendaftarannya akan segera dibuka pada tanggal 3 September 2020 nanti!
***
Kamu sudah berkali-kali mencoba melamar beasiswa tapi belum berhasil juga? Sebelum saya berhasil mendapatkan beasiswa Chevening, saya juga berkali-kali gagal mendapatkan beasiswa. Saat itu saya kebingungan, mengapa saya kerap gagal dan tidak bisa mendapatkan feedback tentang letak kesalahan saya. Padahal, berbagai cara telah saya lakukan:
- Saya mendatangi banyak pameran, workshop, dan seminar, tapi ini tidak berhasil memberikan jawaban yang jelas tentang letak kesalahan saya.
- Saya juga membaca banyak blog dan menonton Youtube, tapi saya masih tidak paham apa kesalahan saya.
- Saya menjalani sesi mentoring dengan beberapa alumni, tapi belum juga berhasil. Mereka sangat baik membantu saya, tetapi mereka juga sibuk sehingga tidak bisa memberikan waktu luang untuk membantu saya.
- Saya meminta feedback dari alumni, tapi saya tidak mendapatkan respon yang saya inginkan. Sekarang saya tau mengapa, karena waktu, ilmu, dan pengetahuan itu mahal sementara saya minta dibimbing secara cuma-cuma.
Lalu saya pun memperbaikinya selama dua tahun dengan “blusukan” ke berbagai situs, antara lain situs beasiswa, kampus, penulisan esai, dan IELTS. Saya juga membaca berbagai buku, mengikuti kursus, dan lain sebagainya. Dari pencarian ini, saya pun akhirnya memahami bahwa saya telah membuat banyak kesalahan pada aplikasi saya.
Jadi, apa saja kesalahan saya?
- Saya tidak punya visi yang jelas, kuat, dan terukur. Saya ingin membantu apa atau siapa? Mengapa? Bagaimana caranya? Hal-hal penting ini tidak muncul di esai saya. Lalu saya berusaha menggali potensi diri dan mencoba melihat diri saya sendiri di masa depan. Saya juga mencoba melihat masalah yang ada di sekitar saya dan menilai apa yang saya bisa selesaikan dengan kemampuan dan keahlian saya. Pertanyaan penting selanjutnya: apa keahlian atau pengetahuan yang belum saya miliki sehingga ada urgensi untuk mengambil kuliah S2?
- Esai saya tentang kepemimpinan (leadership), jaringan (networking), rencana belajar (study plan), dan rencana karir (career plan) tidak berkesinambungan. Tidak ada satu payung topik yang saya jadikan acuan. Mengapa? Ya, karena visi saya tidak jelas. Seharusnya keempat esai Chevening ini bisa menjadi sebuah kesatuan narasi jika digabungkan. Kegagalan saya saat itu dikarenakan esai leadership saya membahas tentang pekerjaan saya sebagai jurnalis, sementara esai career plan saya membahas tentang kewirausahaan sosial atau social entrepreneurship. Di sini jelas sekali saya kebingungan dengan tujuan profesional saya.
- Esai saya terlalu “corporate”. Apa maksudnya? Di esai saya, saya mengatakan bahwa saya ingin pulang dan membantu tempat kerja saya menyelesaikan permasalahnya. Padahal pekerjaan kita seharusnya tidak menjadi tujuan akhir. Pekerjaan hanyalah alat untuk mencapai visi kita. Buat apa Chevening memberikan kita beasiswa kalau pulang-pulang kita “hanya” ingin membantu perusahaan?
- Saya terlalu sesumbar atau bragging tentang diri saya. Saya terlalu meninggikan kapasitas dan kualitas diri dengan harapan panelis akan melihat bahwa saya adalah orang yang percaya diri. Padahal kita seharusnya menunjukkan bahwa kita adalah pribadi yang rendah hati. Akhirnya saya mengubah gaya bahasa esai saya dengan menggunakan kosa kata yang berbeda. Saya juga mengurangi penggunaan kata “I” atau “saya” di awal kalimat dan menggunakan keterangan sebagai pengganti objek. Tulisan saya pun lebih saya fokuskan pada apa yang telah dan sedang saya lakukan.
- Saya tidak menulis esai dengan pendekatan profesional. Misalnya, saya memberikan alasan studi di tempat tertentu karena lokasinya indah. Apa hubungannya kuliah dengan lokasi yang indah? Di suatu kesempatan, saya juga pernah membaca esai seorang siswa yang saya bimbing. Ia menulis bahwa ia memilih University of St. Andrews karena itu adalah tempat pertemuan Pangeran William dan Kate Middleton. Apa hubungannya hal ini dengan visi kita?
- Saya tidak bisa memilih mana cerita yang menarik diangkat dari sekian banyaknya cerita yang saya miliki. Mengenapa bisa begini? Karena saya tidak melakukan pemetaan atau mapping Apa maksudnya mapping diri? Coba buat mind mapping tentang apa yang sudah kamu lakukan, sedang kamu lakukan, dan rencana kamu di masa depan. Tulis latar belakang pendidikan, pekerjaan, kegiatan sosial, dan pencapaian yang telah kamu raih serta jaringan yang telah kamu bentuk. Dari semua itu, pilih mana yang paling menonjol dan waktunya paling terbaru.
- Rencana jangka panjang dan jangka pendek saya terlalu ambisius tapi mengawang-ngawang alias tidak realistis. Rencana masa depan seharusnya terukur, dapat diraih (achievable), tetapi cukup dalam. Tidak perlu sangat detail, tapi kamu harus bisa memberikan konteks yang menjelaskan mengapa rencana tersebut penting untuk mencapai visi kamu.
- Saya banyak memakai jargon atau istilah khusus yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang di bidang saya, sehingga orang dengan latar belakang lain akan kebingungan ketika membaca esai saya. Padahal pemeriksa esai Chevening belum tentu berasal dari bidang yang sama dengan kita. Jadi kalau kamu menulis esai, minta teman-teman di luar bidang yang kamu geluti untuk membacanya. Kalau mereka bingung, artinya kamu harus mengubah penyampaiannya agar lebih mudah dipahami kalangan umum.
- Tulisan saya terlalu banyak contoh aplikatif tapi kurang memberikan konteks. Akhirnya ketika orang lain membaca, mereka akan mengatakan, “Saya tidak paham,” atau bahkan, “So what?” Misalnya, ketika menulis esai leadership, kamu langsung menulis tentang contohnya tanpa menjelaskan terlebih dahulu apa itu leadership versi kamu, apa maknanya, mengapa itu penting, dan apa pengaruhnya terhadap kehidupan profesional dan personal kamu.
- Wawancara saya kurang meyakinkan. Kegagalan saya di wawancara beasiswa dikarenakan saya: 1) tidak percaya diri, 2) tidak memahami diri sendiri, sehingga 3) tidak menjadi diri sendiri. Penyakit kebanyakan dari kita dalam mempersiapkan wawancara beasiswa adalah membaca blog untuk memperkirakan pertanyaan yang mungkin ditanyakan lalu mempersiapkan jawabannya. Kemudian kita akan mempelajari dan menghafal Q&A yang kita buat sendiri itu. Jika saat wawancara kita lupa dengan jawaban yang kita siapkan, pikiran kita bisa jadi blank. Lalu mulailah kita kehilangan konsentrasi dan gagal menjawab pertanyaan lainnya dengan baik. Padahal kuncinya adalah pahami diri sendiri, pahami aplikasi, tenangkan diri. Siapkan mental dengan bersantai sehari sebelum wawancara. Di hari wawancara, tutup buku dan catatan, lalu afirmasikan dalam diri sendiri kalau kita siap dan excited telah diundang ke wawancara beasiswa. Anggap diri kita adalah tamu kehormatan, bukan tahanan!
Setelah saya menyadari ke-10 kesalahan tersebut, saya mengubah bukan cuma esai saya, tetapi juga pola pikir atau mindset saya. Mudah-mudahan tulisan ini bisa membantu teman-teman untuk mengantisipasi dan mencegah kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi dan sukses dalam persiapan aplikasi beasiswa selanjutnya!
Foto dari dokumen pribadi penulis.
Informasi lebih lanjut tentang beasiswa Chevening untuk tahun ajaran 2021/2022 dapat ditemui pada tautan ini.