Bagi para suami yang bimbang antara menemani istrinya studi lanjut di luar negeri atau tidak, Alvin membagikan perspektif baru di dalam artikel ini. Seperti apakah pengalaman meninggalkan karier dan menjadi bapak rumah tangga penuh waktu di negara lain? Yuk, simak ceritanya!
***
Kini sudah satu setengah tahun saya menetap di Korea Selatan. Awalnya hanya dalam rangka menemani istri studi doktoral, dan berangkat dengan status bapak rumah tangga penuh waktu.
Pergi dari tanah air dalam predikat ini tentu menuai banyak pertanyaan di awal perjalanan: apa rasanya seorang laki-laki berhenti dari pekerjaan untuk menjadi tanggungan istri di negeri seberang?
Tulisan ini adalah secuplik kisah saya menjadi salah satu suami yang bersedia menyandang predikat ini. Sekaligus sebuah ode, syair pujian bagi para suami yang menunaikan salah satu manifestasi paling sufi dari emansipasi kalau mengutip perkataan seorang sahabat saya.
Indonesia mungkin tak sepenuhnya negeri patriarki. Beberapa suku bangsa dengan setia menjaga tradisi dan garis matriarkinya.
Tapi tentu di saat kesempatan bagi semua wanita Indonesia menapaki jejak karier setinggi-tingginya makin terbuka, maka wajah asli patriarki akan makin terkuak.
Tak semua suami dan lelaki siap melepaskan status breadwinner atau tulang punggung keluarga, dengan berbagai alasan. Mulai dari ayat suci, dogma, prinsip, sampai frasa klise di prosa-prosa yang namanya harga diri.
Tapi yang pasti semua suami yang bersedia temani istri studi harus berdamai dengan pertanyaan: “Lu ga jiper kalau pendidikan istri lu lebih tinggi?”
Saya mungkin salah satu yang percaya kalau istri lah yang harus mendapatkan prioritas lebih tinggi apabila datang kesempatan melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi.
Sebelum pernikahan, sebelum kehamilan, sebelum masa-masa penting pasca-natalitas, atau masa-masa diantaranya.
Kepercayaan ini bukan datang dari ruang hampa. Emansipasi sepi di wilayah Asia Timur tempat saya tinggal sekarang.
Tingkat keinginan generasi muda untuk menikah menurun, apalagi untuk kemudian melanjutkan memiliki keturunan. Kini Jepang dan Korea Selatan berkejaran memompa kembali minat warga muda untuk berkeluarga.
Salah satu langkah utamanya adalah menjamin kenyamanan bagi para istri dan ibu untuk menapaki jenjang pendidikan dan karier seusai mulai berkeluarga.
Saya hanya satu dari mungkin ribuan (atau mungkin bahkan ratusan ribuan hingga jutaan) laki-laki yang bersedia temani istri studi lanjutan di luar negeri.
Bila butuh contoh lain, kata kuncinya mungkin cari para doktor wanita yang kini sudah berusia paruh baya hingga baya. Lalu ulik kisah perjalanannya dahulu melanjutkan studi di luar negeri.
Bagaimana para suami merelakan diri melepaskan jenjang karier yang telah dirintis, mengisi waktu di saat temani istri di luar negeri, hingga bagaimana para suami ini kembali ke tanah air dengan jeda waktu karier yang hilang, terlebih bila tak ikut melanjutkan studi saat tengah di luar negeri.
Tulisan ini bertujuan untuk menguatkan para suami yang mungkin kini tengah berada di persimpangan jalan. Saat sang pasangan mendapatkan kesempatan studi di luar negeri yang mengharuskannya melepaskan kehidupan di tanah air.
Bagi saya pribadi, ada beberapa kepercayaan yang mungkin dapat membantu melemahkan keraguan untuk ikut temani istri studi ke luar negeri
Kesempatan ini adalah kesempatan “mahal” bagi para suami untuk menjadi bapak rumah tangga penuh waktu. Dari belasan hingga puluhan tahun waktu yang akan dihabiskan untuk berkarier, mungkin hanya akan ada hadir waktu dua hingga empat tahun bagi para suami ini untuk memiliki waktu jeda dalam kehidupan pascanikah.
Kesempatan ini juga mungkin akan membuka pintu bagi para suami yang sebenarnya juga ingin melanjutkan studi pendidikan tinggi, namun selama ini tak dapat menjadi prioritas di tengah rutinitas bekerja. Terlebih apabila pada akhirnya dapat melanjutkan studi di kampus yang sama dengan istri dengan sama-sama mendapatkan beasiswa.
Kesempatan ini juga menjadi kesempatan untuk me-reset kembali pengalaman kerja, saat kelak apabila mendapat peluang bekerja di saat temani istri studi di luar negeri. Ini termasuk kerja paruh waktu ataupun penuh waktu.
Saat saya awal bergabung dengan Indonesia Mengglobal, pengalaman saya menemani istri studi di luar negeri juga menjadi salah satu pengalaman yang diminta untuk dibagikan kepada para pembaca.
Bagi saya, pengalaman menemani istri studi di luar negeri ini amat luar biasa. Memberikan saya waktu sejenak beristirahat dari dunia kerja, lalu memberikan kesempatan saya untuk ikut melanjutkan pendidikan tinggi di kampus yang sama dengan istri, hingga kini saya bekerja paruh waktu di bidang yang sama sekali tak berbeda dengan karier saya sebelumnya di Indonesia.
Satu semester awal memang akan menjadi masa yang menentukan bagi para suami ini untuk beradaptasi. Krisis seperempat kehidupan (quarter-life crisis) hingga setengah kehidupan (mid-life crisis) mungkin akan dihadapi di fase ini. Pertanyaan utamanya: “Apakah saya mengambil langkah yang tepat untuk berhenti di tengah karier ini?”
Tapi percayalah, menemani istri studi di luar negeri adalah pilihan yang amat terhormat dan terpuji, sekaligus lagi-lagi salah satu manifestasi paling sufi dari emansipasi yang bisa dilakukan oleh seorang laki-laki.
Foto disediakan oleh penulis.
Editor: Haryanto