Perjuangan Panjang Memperoleh Beasiswa untuk Kuliah di Luar Negeri

0
2988
People and mountain (Sumber: Fabrizio Conti dari unsplash.com)

Pantang menyerah dan terus memperbaiki diri sendiri. Dua hal inilah yang terus dilakukan oleh Chaedar Indra Pramana, Content Director Indonesia Mengglobal, di antara tahun 2016 dan 2019. Perjalanannya dalam mempersiapkan diri dan mendaftar beasiswa ke universitas idamannya di Amerika Serikat tidaklah singkat dan mulus. Namun dari banyak kegagalan yang ia alami, ada banyak hikmah pula yang ia raih. Mari kita saksikan perjalanan perjuangan Chaedar dalam meraih beasiswa LPDP impiannya!

***

Prologue

Melanjutkan studi ke jenjang S2 di luar negeri merupakan hal yang sudah lama saya pikirkan, bahkan sebelum saya lulus S1. Ketika itu, saya merasa bahwa banyak sekali hal yang bisa dipelajari di bidang keilmuan saya. Keyakinan tersebut semakin menguat setelah saya berkiprah di dunia profesional sebagai salah satu engineer non-permanen di sebuah perusahaan migas multinasional di Jakarta pada periode 2014 hingga 2015. Saya menyadari bahwa banyak sekali hal fundamental yang saya temui di lapangan yang tidak saya pelajari saat menjalani studi S1.

Melanjutkan studi ke luar negeri sendiri juga semakin mudah. Tak bisa dipungkiri bahwa selama kurang lebih lima tahun terakhir, jumlah diaspora Indonesia yang melanjutkan studi ke luar negeri meningkat pesat, terutama setelah pemerintah Indonesia memulai program beasiswa LPDP beberapa tahun lalu. Fakta bahwa financial barrier sudah semakin mudah untuk diatasi dengan beasiswa semakin menginspirasi saya untuk melanjutkan studi S2 ke luar negeri.

Oil price plunge dan perubahan rencana S2

Anjloknya harga minyak mentah dunia pada pertengahan 2015 memaksa perusahaan-perusahaan migas, tak terkecuali perusahaan tempat saya bekerja, untuk melakukan penyesuaian. Sulitnya situasi pada saat itu membuat kontrak kerja saya tidak diperpanjang, sehingga saya pun harus merubah rencana awal saya untuk melanjutkan studi setelah bekerja setidaknya selama 3 tahun. Setelah melakukan kontemplasi dan menimbang berbagai kemungkinan, saya pun memutuskan untuk fokus mempersiapkan studi S2 saya segera setelah kontrak kerja saya selesai pada akhir 2015.

Harga minyak mentah periode 2010 – 2015 (Sumber: US Energy Information Administration)
Harga minyak mentah periode 2010 – 2015 (Sumber: US Energy Information Administration)

Di awal tahun 2016, saya memilih pindah ke kota Bandung ketimbang pulang ke kampung halaman agar bisa fokus mempersiapkan studi saya ke luar negeri. Hal pertama yang saya lakukan adalah mempertajam kemampuan bahasa Inggris saya agar bisa memperoleh nilai TOEFL yang memenuhi kriteria. Saya mengikuti beberapa kursus bahasa Inggris seperti speaking class, academic writing, dan TOEFL IBT prep course. Selain itu, saya juga belajar secara mandiri untuk menghadapi GRE General Test, mengingat Amerika Serikat adalah negara tujuan utama saya untuk melanjutkan studi.

Sekitar pertengahan tahun 2016, saya menjalani TOEFL IBT di Jakarta. Dengan dibumbui sedikit keberuntungan, saya pun berhasil memperoleh skor di atas persyaratan yang ditetapkan oleh kampus tujuan saya. Pada kuartal keempat tahun 2016, saya mengambil GRE General Test pertama saya. Meski tidak ada skor minimal yang ditentukan oleh kampus, saya merasa tidak puas dengan hasil tes tersebut. Saya pun mengambil kembali tes yang sama sebanyak tiga kali hingga pada akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan hasil tes terakhir dan move on untuk mempersiapkan dokumen pendaftaran lainnya. 

Menghadapi seleksi beasiswa LPDP perdana

Sembari mempersiapkan standardized tests yang dibutuhkan, saya juga secara aktif mencari informasi terkait beasiswa, terutama beasiswa LPDP. Pada tahun 2016, peraturan beasiswa ini menyatakan bahwa seseorang hanya diperbolehkan gagal dalam seleksi tahap wawancara sebanyak dua kali. Selain itu, pendaftaran beasiswa ini juga dibuka sebanyak empat kali dalam setahun, dengan keberangkatan paling cepat enam bulan terhitung sejak penutupan pendaftaran. 

Setelah mempelajari ketentuan beasiswa LPDP di tahun tersebut dengan seksama, saya pun memutuskan untuk mengikuti seleksi pada batch keempat yang dibuka pada bulan September. Hal ini saya lakukan dengan pertimbangan bahwa jika saya gagal lolos seleksi batch tersebut, saya masih memiliki kesempatan satu kali lagi di batch pertama tahun 2017 untuk memulai studi saya pada fall 2017. 

Dengan adanya batas maksimal percobaan pendaftaran beasiswa LPDP, saya pun mempersiapkan proses seleksi beasiswa ini dengan sangat serius. Saya bergabung dengan beberapa grup Telegram yang berisi para calon pendaftar beasiswa tersebut. Selama setidaknya lima minggu, saya secara gigih membaca seluruh informasi yang ada di dalam grup tersebut dan mengikuti setiap diskusi yang diangkat, melakukan simulasi leaderless group discussion dan wawancara, berlatih menulis essay spontan, serta mengikuti perkembangan isu terkini baik nasional maupun global. Selain itu, saya juga melakukan riset yang mendalam terkait perbandingan kampus yang menawarkan program studi yang saya ingin tuju, termasuk testimoni dari para alumni, profil profesor, fasilitas riset, dan beberapa variabel komparatif lainnya. 

Komparasi kuantitatif dalam pemilihan kampus tujuan (Sumber: penulis)
Komparasi kuantitatif dalam pemilihan kampus tujuan (Sumber: penulis)

Kegagalan bertubi-tubi dalam mencari beasiswa

Setelah menjalani tes substansi LPDP pada bulan November 2016, saya pun menunggu pengumuman hasil tes tersebut dengan rasa was-was. Perasaan tersebut semakin menjadi-jadi setelah saya mendengar kabar bahwa di tahun 2017, akan terjadi perubahan yang cukup signifikan pada proses seleksi beasiswa LPDP, di antaranya adalah pemisahan pendaftaran untuk beasiswa dalam negeri dan luar negeri serta penambahan batas maksimum keikutsertaan dalam seleksi substansi dari dua kali menjadi tiga kali.

Pada bulan Desember, hasil seleksi substansi pun diumumkan melalui akun LPDP semua peserta, dan saya dinyatakan tidak lolos seleksi tersebut. Hasil ini benar-benar membuat saya tertekan, dan tekanan tersebut semakin besar ketika isu perubahan proses seleksi beasiswa LPDP ternyata menjadi kenyataan. Dengan peraturan baru tersebut, rencana saya untuk melanjutkan studi S2 ke negeri Paman Sam tahun 2017 pun gagal total.

Setelah beberapa waktu, saya pun mulai berusaha memupuk kembali motivasi saya untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Saya mulai membuka diri untuk mendaftar ke beberapa beasiswa seperti Fulbright, Monbukagakusho (MEXT), NZAS, USAID, dan beberapa beasiswa yang diberikan oleh kampus, setelah sebelumnya terlalu fokus untuk mengejar beasiswa LPDP. Beberapa cara pendekatan, mentalitas, dan focal message yang saya ingin sampaikan pada setiap aplikasi beasiswa telah saya coba, termasuk strategi near-zero preparation terutama saat menghadapi tes wawancara untuk menghindari overthinking dan insecurity. Namun, kenyataan pahit harus saya hadapi: semua aplikasi saya gagal, termasuk percobaan kedua (2017) dan ketiga (2018) saya di seleksi beasiswa LPDP.

Tiga kali mencoba, tiga kali gagal (Sumber: penulis)
Tiga kali mencoba, tiga kali gagal (Sumber: penulis)

Finally, an LPDP awardee candidate!

Setelah mengalami kegagalan demi kegagalan dalam mendapatkan beasiswa, saya pun mulai berpikir, “well, maybe I am simply not cut out for obtaining any scholarship or doing a graduate study”. Wacana untuk mengakhiri perjuangan mencari beasiswa dan melanjutkan studi S2 pun bergaung sangat kencang di benak saya. Beruntung, perasaan tersebut tidak bertahan lama, dan seiring berjalannya waktu, saya pun berusaha mengumpulkan kembali serpihan-serpihan semangat untuk bisa memulai kembali usaha saya menggapai mimpi tersebut.

Pada suatu kesempatan, saya berdiskusi dengan mentor saya di tempat saya bekerja untuk membahas strategi menghadapi seleksi LPDP ke empat saya di tahun 2019. Sebagai alumni beasiswa LPDP, beliau pun memberikan beberapa masukan yang fundamental khususnya untuk menghadapi tes wawancara. Di antara sekian banyak masukan, beliau menggarisbawahi satu strategi pamungkas yang harus saya lakukan. Saya pun tertawa mendengar strategi tersebut, karena saya merasa hal tersebut sangat tidak natural jika saya lakukan saat wawancara. Namun pada akhirnya, saya pun berhasil diyakinkan dan bertekad untuk melaksanakan strategi tersebut saat menghadapi wawancara.

Proses seleksi substansi beasiswa LPDP pun saya lalui untuk kesekian kalinya. Tidak ada hal yang berbeda dari tes-tes sebelumnya. Saya pun memilih untuk tidak memikirkan apa saja yang saya lakukan selama tes substansi. Seperti biasa, ketika hari sudah memasuki tanggal pengumuman, saya memilih untuk tidak membuka akun LPDP saya. Saya tahu bahwa jika pun saya lulus, saya akan menerima email dari LPDP sebagai tindak lanjut kelulusan saya.

Beberapa hari terlewati tanpa adanya email yang masuk ke akun saya. Saya pun pasrah dan berpikir, “OK, mungkin tahun ini akan menjadi kegagalan saya yang keempat kalinya.” Akhirnya, penantian saya meraih beasiswa pun berakhir ketika saya menerima email bahwa saya dinyatakan lulus seleksi wawancara beasiswa LPDP tahun 2019. Finally!

 

“Selamat atas kelulusan Anda…” (Sumber: penulis)
“Selamat atas kelulusan Anda…” (Sumber: penulis)

Epilogue

Saya menyadari bahwa perjalanan panjang saya memperoleh beasiswa sejatinya adalah cara bagi our omniscient, omnipresent, and omnipotent creator untuk mengirim pesan bahwa “Chaedar, you have to meet some people and experience some bitterness in your life first before you could achieve your dreams.”

Dan benar, selama hampir 5 tahun penantian saya untuk memperoleh beasiswa ke luar negeri, saya telah bertemu dengan beberapa figur inspiratif dan menjalani beberapa momen penting lainnya yang secara signifikan telah membentuk karakter, mentalitas, serta nilai hidup yang saat ini saya pegang. Persiapan aplikasi beasiswa serta graduate admission memberi saya kesempatan untuk menggali diri saya lebih dalam serta mengetahui siapa saya dan tujuan hidup saya. Saya sangat bersyukur saya bisa menemukan hikmah di balik kegagalan demi kegagalan yang saya alami dan terhindar dari rasa frustasi dan krisis eksistensial yang berlarut-larut.

Every cloud indeed has a silver lining.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here