Meniti karir di luar negeri, khususnya Jerman, mungkin dianggap sebagai sesuatu yang sangat sulit bahkan mustahil untuk dicapai bagi beberapa orang. Namun nyatanya, hal ini sangat mungkin untuk dilakukan! Yoga Pranata Rahmat, M.Sc., yang sebelumnya berbagi kisah bagaimana ia meniti studi lanjutnya di Jerman, kali ini akan berbagi hal yang perlu kamu ketahui dan persiapkan untuk meniti karier di Jerman.
Do beyond expectations menjadi awal tawaran pekerjaan
Jejak karir Yoga di Jerman dimulai sejak ia mencari lokasi untuk melakukan compulsory internship dan master thesis-nya, setelah ia menyelesaikan semester 3 dari master study-nya, April 2019.
Saat itu, Yoga mendaftarkan dirinya ke berbagai perusahaan dan research center baik di Jerman, Eropa maupun di negara lainnya, termasuk German Aerospace Center (DLR), tempat di mana ia meniti kariernya saat ini. Tak lama kabar baik pun datang, DLR menjadi research center pertama yang menghubunginya dan memberikannya kesempatan untuk melakukan compulsory internship di institusi tersebut dengan project toluene hydrogenation for hydrogen transportation dan langsung melanjutkan master thesis dengan topik sustainable methanol production.
Namun, tiga hari setelah pengumuman tersebut, kabar baik lain datang dari salah satu oil refinery di Bavaria yang mewawancarainya dan memberikan tawaran dengan upah 2,5 kali lipat dibandingkan tawaran DLR. Setelah mempertimbangkan mengenai topik, rencana jangka panjang, dan ‘idealisme’ mahasiswa, Yoga akhirnya memutuskan untuk melakukan internship dan master thesis-nya di DLR.
Pertengahan Juli 2019, Yoga memulai magangnya di DLR dan selama ia menjalani pekerjaannya, ia selalu mencoba memberikan hasil yang lebih dari target yang ditentukan oleh supervisor-nya. “Iya, aku selalu mencoba do beyond expectation dan giving my best. Selain itu, aku juga mencoba kreatif, think out of the box, dan memberikan ide-ide baru untuk pengerjaan proyek selama aku intern dan menulis master thesis di DLR. Puji Tuhan, ide-ide tersebut mendapat respon baik dan apresiasi dari supervisor-ku,” jelas Yoga.
Keputusan Yoga memilih DLR dan attitude baik Yoga ternyata membuka pintu karier bagi Yoga.
Akhir Februari 2020, Yoga mendapatkan tawaran untuk bekerja full-time di DLR dengan rekomendasi dari supervisor-nya. Melalui proses wawancara dan presentasi dalam bahasa Jerman dengan persiapan yang cukup sempit, Yoga akhirnya berhasil diterima sebagai Research Fellow dan mulai bekerja sejak Juni 2020, tepat dua minggu setelah menyelesaikan master thesis-nya.
Pintu lain untuk meniti karier di Jerman
Yoga mengakui bahwa jalur kesempatan berkarier yang Ia dapatkan di DLR cukup unik dan berbeda. Namun, bukan berarti bahwa tidak ada jalur umum untuk mendaftar pekerjaan.
Di Jerman sendiri, informasi lowongan pekerjaan bisa dengan mudah didapatkan dari berbagai website seperti linkedin, XING, StepStone, Glassdoor, indeed atau dari perusahaannya langsung.
Selain itu, lowongan pekerjaan tidak hanya terbuka bagi mereka yang melakukan studi di Jerman atau yang sudah melakukan studi jenjang magister. Terdapat juga program vocational trainee yaitu Ausbildung atau kuliah-kerja jenjang S1 yaitu Duales Studium, di mana keduanya menerapkan sistem belajar dan bekerja tanpa dipungut biaya dan memberikan upah untuk waktu yang digunakan selama bekerja.
Pada umumnya, lowongan pekerjaan di Jerman tidak mendiskriminasi umur, IPK, gender, kewarganegaraan, disabilitas, dll. Namun, informasi lowongan pekerjaan lebih menitikberatkan background pendidikan, keahlian yang diperlukan, experience, dan job description.
Selain itu, juga kemampuan bahasa yang diperlukan dalam pekerjaan tersebut pun dijelaskan di mana biasanya hampir seluruh lowongan pekerjaan mensyaratkan kemampuan bahasa Jerman yang baik atau setidaknya level CEFR B2/C1.
Proses seleksi pekerjaan di Jerman bisa dibilang mirip dengan Indonesia, yaitu diawali dengan seleksi dokumen dilanjutkan wawancara dan tentu berbeda proses bergantung dari perusahaan atau sektor pekerjaanya.
Dokumen aplikasi yang harus disiapkan umumnya adalah Curriculum Vitae dengan format Jerman atau disebut juga Lebenslauf, cover letter (Anschreiben), dan dokumen penunjang lainnya seperti ijazah atau surat keterangan lulus (Urkunde), transkrip nilai (Zeugnis), dll.
“Oh ya, dokumen merupakan salah satu hal krusial dalam mencari pekerjaan di sini, penting untuk membuat CV dan cover letter semenarik, seorisinal dan menggambarkan kemampuan kita sebaik mungkin. Karena ini merupakan salah satu hal pertama yang akan menjadi penentu tahap seleksi selanjutnya,” imbuh Yoga.
Jenis-jenis visa kerja
Di Jerman, dikenal 2 jenis visa yang diperlukan ketika seseorang ingin berkarier, yaitu working visa atau working permit dan blue card.
Perbedaan keduanya terdapat pada upah minimum dan durasi bekerja yang diperlukan hingga seseorang diperbolehkan apply permanent resident. Syarat working visa adalah upah bruto minimum sebesar 3200 euro/bulan dengan minimal 5 tahun bekerja hingga diperbolehkan melamar permanent resident.
Sedangkan untuk blue card, gaji minimum yang disyaratkan lebih tinggi dengan pengecualian untuk bidang STEM, yakni batasan gaji minimum sekitar 70% dari batasan gaji normal untuk mendapatkan blue card. Untuk aplikasi resident permit oleh pemegang blue card ditentukan oleh kemampuan bahasa. Apabila sudah memiliki kemampuan bahasa Jerman B1 dan telah bekerja selama 21 bulan, seseorang diizinkan untuk apply permanent resident (Niederlassungserlaubnis), sedangkan jika level bahasa Jerman-nya A2, diperlukan 3 tahun masa kerja. Detail visa kerja Jerman dapat dilihat di tautan ini.
Kebijakan kerja, benefit dan sistem kerja
Di Jerman, umumnya waktu jam kerja berkisar 36 hingga 40 jam/minggu dengan kebanyakan flexible working hours.
Di kantor Yoga sendiri, diterapkan flexible working hours dengan core working hours, di mana di jam tersebut seluruh karyawan harus available dan bekerja, yaitu Senin-Kamis pukul 09.00 – 15.00 dan Jumat pukul 09.00 – 12.00.
Secara nasional, cuti yang diberikan ke karyawan sebanyak minimal 24 hari kerja dengan tidak menghitung libur nasional. Selain itu terdapat juga bonus tahunan, umumnya di perusahaan industry dan finance besaran bonus ditentukan dari performa perusahaan selama setahun, sedangkan di institusi milik pemerintah terdapat THR yang diberikan menjelang hari raya natal sebesar 2/3 upah.
Terkait kenaikan gaji, untuk industry dan finance, kenaikan ditentukan dari performa perusahaan per tahun, sedangkan di institusi milik pemerintah gaji sudah ditentukan dari pemerintah pusat yang setiap tahunnya dikoreksi berdasarkan inflasi.
“Memang kalau di institusi milik pemerintah, kenaikan gaji itu paling bisa didapatkan dengan kenaikan level atau pangkat, yang bisa didapatkan dari studi lanjut atau promosi,” jelas Yoga.
Kontrak kerja di Jerman sendiri melindungi karyawannya agar sebisa mungkin tidak terjadi lay-off. Bahkan, umumnya kontrak kerja yang diberikan adalah kontrak kerja seumur hidup. Oleh karena itu, perusahaan di Jerman sangat hati-hati dalam memilih karyawannya.
“Di setiap perusahaan juga memiliki serikat pekerja, jadi apabila karyawan memiliki suatu komplain atau permasalahan dengan perusahaan, mediasi bisa dilakukan melalui serikat pekerja,” tambah Yoga.
Pajak yang mahal sebanding dengan fasilitas yang didapatkan
Banyak orang mungkin mengetahui bahwa pajak di Jerman termasuk salah satu yang tinggi di negara Eropa. Namun, Yoga menjelaskan bahwa sebenarnya pajak ini sendiri sebanding dengan fasilitas umum yang diperoleh. Contohnya, fully covered health insurance, social security (pemerintah memberikan tunjangan 2/3 gaji apabila terjadi lay-off karyawan dan karyawan tersebut sedang dalam masa mencari pekerjaan baru), fasilitas umum, jalan tol gratis, tunjangan anak, dll. Bahkan setiap tahun juga pemerintah melakukan tax refund.
Jerman negara yang family friendly
Berbicara mengenai keluarga, Jerman bisa dikatakan salah satu negara yang sangat concern mengenai hal tersebut, terbukti dari beberapa kebijakan yang diterapkan pemerintah mengenai keluarga.
Di Jerman, dikenal Elternzeit atau parenting time di mana orang tua, baik ayah dan ibu, diizinkan untuk mengambil paid leave selama 3 bulan untuk merawat anaknya. Cuti hamil dan melahirkan pun diberikan minimal 3 bulan. Selain itu, anak yang dilahirkan di Jerman akan mendapatkan tunjangan sebesar kurang lebih 200 euro/bulan sejak kelahirannya hingga usianya 25 tahun. Selain itu, biaya persalinan juga ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah Jerman. Pajak yang dibebankan ke karyawan yang memiliki anak pun berkurang sesuai dengan jumlah anak yang dimiliki. Terlebih lagi, pendidikan di Jerman gratis dari pendidikan dasar hingga studi lanjut (perkuliahan) dan asuransi kesehatan anak tersebut dapat mengikuti asuransi kesehatan orang tuanya hingga usia anak tersebut 25 tahun.
Work-life balance, culture dan suasana kerja
Salah satu hal yang paling disukai Yoga dari bekerja di Jerman adalah bagaimana culture di Jerman yang sangat memberikan batasan yang jelas antara waktu kerja dan waktu di luar jam kerja atau libur. Yoga menjelaskan bahwa bahkan di Jerman seseorang bisa dimarahi oleh atasannya apabila terlalu sering bekerja overtime.
Culture kerja di Jerman sendiri sangat minim senioritas, atau bisa dibilang tidak ada. Orang-orang di dalamnya bekerja dengan saling apresiatif dan menghargai hasil pekerjaan masing-masing. Satu hal lagi, ketika teguran harus diberikan oleh atasan ke bawahan, hal tersebut akan dilakukan secara pribadi atau in person. Namun, pujian dan apresiasi diberikan di depan tim atau partner proyek.
“Iya. jadi bekerja disini sangat fair, dan disini sering sekali atasan memuji anggota timnya ketika sebelum atau sesudah meeting,” tegas Yoga.
Ada salah satu momen ketika Yoga mengalami culture shock di awal pekerjaannya. Di Indonesia, terkadang kita diajarkan untuk tunduk kepada atasan dan selalu mengikuti arahan dari atasan. Namun di Jerman, karyawan diberi kebebasan untuk mengembangkan ide dan proyek yang ditanggungjawabkan kepadanya, atasan memberi ruang untuk diskusi tanpa melihat jabatan atau background, serta ide baru dan kritik sangat diterima di sini.
“Jadi sempat di awal aku bekerja, aku kena tegur secara pribadi dari atasanku karena perbedaan konsep, cara pandang dan hubungan atasan-bawahan ini. Namun, begitu beradaptasi mereka langsung apresiatif terhadap perubahan baik yang aku lakukan,” terang Yoga.
Working life in DLR
Yoga menjelaskan bahwa bekerja di DLR bukan hanya bekerja, namun melainkan juga hidup, membangun komunitas dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Banyak sekali komunitas baik berdasarkan hobi, background, atau kegemaran yang ada di DLR baik secara formal maupun informal. Family gathering juga dilakukan setiap tahunnya, dan wajib diikuti seluruh karyawan. Dan selain itu, biasanya terdapat kegiatan yang dilakukan bersama di setiap musimnya, seperti camping/hiking bersama saat musim gugur, perayaan natal dan lain-lain.
Kesempatan untuk mengembangkan diri juga terbuka lebar di DLR. Terdapat banyak kelas yang disediakan di sini baik secara gratis atau discounted subscription, mulai dari kelas untuk hardskill seperti kelas bahasa, atau kelas economy analysis, hingga berbagai kelas well-beingness, seperti home office, olahraga, dan lain-lain.
“Jadi kerja di sini tidak perlu khawatir tidak memiliki ‘kehidupan’, justru sebaliknya disini aku merasa sudah sangat diterima sebagai bagian dari komunitas juga,” jelasnya.
Kemampuan bahasa Jerman adalah kunci meniti karier di Jerman
Yoga menjelaskan, bahwa memang tak bisa dipungkiri selain dari memiliki skill, background dan pengalaman yang sesuai, kemampuan bahasa Jerman dan juga bahasa Inggris merupakan kunci untuk memulai karier di Jerman.
Banyak dari kolega yang dikenalnya, yang memiliki kemampuan dan background yang mumpuni tapi sulit mendapatkan pekerjaan di Jerman karena keterbatasan kemampuan bahasa Jerman-nya.
“Disayangkan ketika kita memiliki kemampuan dan kapabilitas untuk suatu pekerjaan namun terhalang bahasa. Jadi, memang skill bahasa Jerman sangat diperlukan. Bisa dibilang memang sulit untuk dipelajari, namun ingat bahwa hal tersebut akan membuka banyak pintu bagi karier dan masa depan kita,” tutup Yoga.
———–
Artikel ini ditulis oleh Ivone Marselina Nugraha, Columnist IM Europe & UK dan merupakan hasil wawancara dengan Yoga Pranata Rahmat, M.Sc.
Profil narasumber:
Yoga Pranata Rahmat merupakan Sarjana Teknik jurusan Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada (UGM) lulusan 2016 dan telah menyelesaikan studi Master of Science in Process, Energy and Environmental Systems Engineering, Technische Universität Berlin (TU Berlin), Mei 2020. Dalam studi magisternya, Yoga melakukan internship dan master thesis di German Aerospace Center (DLR) di Institute of Engineering Thermodynamics, Department of Energy System Integration. Saat ini, Yoga bekerja sebagai Research Fellow – German Aerospace Center (DLR) di departemen yang sama dengan current projects Global Phase-Out Coal Atlas dan Renewable Alternative Fuels for Mobility.
———–
Seluruh foto disediakan oleh narasumber.