Studi PhD identik dengan kegiatan akademik yang intensif, sehingga seakan – akan mahasiswa PhD tidak memiliki waktu untuk melakukan hal lain di luar penelitian dan kegiatan di kelas. Fauzul Rizal Sutikno, atau Rizal, memandang hal tersebut sebagai sebuah tantangan. Alih – alih memfokuskan diri hanya untuk kegiatan riset, mahasiswa PhD di Cornell University lulusan tahun 2020 ini justru aktif berjejaring sebagai salah satu strategi untuk memenuhi ekspektasi tinggi dari kampusnya. Simak perjalanan Rizal menjalani studi PhD sambil berjejaring di artikel berikut!
***
“Menempuh studi Ph.D. di Cornell University yang merupakan salah satu Ivy League institutions di Amerika Serikat adalah menantang dan membutuhkan kesabaran”. Itu adalah kalimat yang sering saya sampaikan kepada setiap orang yang bertanya bagaimana cara untuk bisa lulus dari salah satu kampus paling bergengsi di dunia ini. Ada sebuah pernyataan menarik yang saya peroleh dari seorang profesor di awal kedatangan saya di Cornell. Beliau mengatakan bahwa studi Ph.D. adalah proses yang individualis dan soliter. Ditambah lagi, seorang mahasiswa Ph.D. di Cornell diharapkan untuk menghasilkan sebuah karya yang kontributif dan unggul di bidangnya masing-masing. Dengan tuntutan yang cukup menantang tersebut, salah satu tips utama yang selalu disarankan oleh para mahasiswa Ph.D. sebelum saya adalah menjaga work-life balance. Salah satu kegiatan work-life balance yang saya anggap menyelamatkan saya selama menempuh studi Ph.D. di kampus tercinta ini adalah kegiatan networking.
Bermula di kegiatan persiapan keberangkatan oleh AMINEF
Saya adalah seorang Fulbrighter. Budaya networking diperkenalkan semenjak saya dipastikan diterima di Cornell oleh AMINEF (Pengelola Fulbright di Indonesia). Pada saat kami dipersiapkan untuk menempuh studi di US, kegiatan – kegiatan yang dirancang oleh AMINEF sebagian besar memiliki konsep berjejaring yang kuat. Bahkan, setelah saya tiba di US dan ditempatkan di Philadelphia (saya suka sekali dengan kota ini!), saya masih diwajibkan untuk menempuh English Preparation Program, di mana 50% dari konten program tersebut ditujukan untuk mengasah kemampuan interaksi antar Fulbrighters yang berasal dari berbagai negara. Kegiatan networking lainnya adalah Enrichment Seminar di Atlanta, Georgia. Dengan peserta seminar yang cukup besar, saya bisa berjejaring dengan orang-orang baru dari penjuru dunia dan membuka peluang kerjasama di masa depan.
Proses pembentukan Ph.D. commitee
Selama menjalani S3 di Cornell, salah satu kegiatan penting yang saya harus lalui adalah menentukan committee yang terdiri dari satu chair dan dua anggota untuk proses pembimbingan studi saya. Pada tahap ini, kemampuan berjejaring memiliki peran penting dalam kesuksesan studi saya di Cornell. Saya harus berkeliling kampus untuk berkenalan dengan sejumlah profesor dengan karakteristik yang beragam. Saya beruntung karena sebagian besar profesor yang saya temui di Cornell sangat welcome untuk berbincang mengenai topik penelitian saya. Namun, pendekatan yang saya gunakan untuk memulai koneksi dengan mereka berbeda dengan ketika saya memulai koneksi dengan sesama mahasiswa, yang bisa dilakukan dengan santai sambil menikmati secangkir kopi. Saya perlu melakukan riset kecil sebelum memulai perbincangan dengan seorang profesor yang berkecimpung di bidang riset yang berhubungan dengan penelitian saya. Riset kecil ini meliputi paper apa saja yang pernah Ia terbitkan dan arah riset terbaru yang Ia sedang jalani.
Setelah mendalami latar belakang profesor yang saya ingin temui, saya pun mengirim email untuk mengatur jadwal pertemuan. Biasanya, waktu pertemuan bisa lebih dari satu jam karena saya sudah menyampaikan penjelasan singkat mengenai riset yang ingin saya lakukan di email tersebut. Untuk pertemuan awal, salah satu hal yang saya tunggu, selain masukan untuk riset saya, adalah materi bacaan. Tiap profesor akan memiliki materi bacaan yang mereka anggap berpengaruh pada perkembangan karir dan bidang riset mereka. Jika profesor tersebut merasa ada konsep kebaruan dalam riset saya dan memiliki chemistry dengan saya, mereka akan meminta saya untuk mengambil kelas yang mereka ajar agar saya semakin memahami bidang riset mereka serta bisa melihat keserasian antara gaya riset profesor tersebut dengan saya.
Setelah berbicara dengan banyak profesor dan mengambil kelas-kelas yang terkoneksi dengan riset saya, saya akhrnya berhasil membentuk Ph.D. committee yang terdiri dari Prof. Victoria Beard (pembangunan berbasis masyarakat), Prof. John Forester (mikro-politik), dan Prof. Connie Yuan (social network analysis). Saya juga memutuskan untuk menempuh riset dengan tema politik perkotaan dan pemberdayaan masyarakat pemukiman informal. Capek? Tentu! Tetapi perjalanan intelektual saya bersama ketiga profesor berjasa tersebut tidak akan saya lupakan.
Peluang eksplorasi hal baru di organisasi, pusat studi, dan komunitas lokal
Untuk ukuran US, saya bukanlah orang yang terlihat terbuka, dan saya men-generalisir ini sebagai karakteristik orang Asia. Berbeda dengan teman-teman saya yang berasal dari US yang langsung berbincang pada saat bertemu, saya cenderung untuk diam terlebih dahulu untuk mengetahui arah pembicaraan. Cara tersebut sepertinya berhasil membuat saya masuk ke dalam percakapan dan membangun jaringan baik di dalam departemen saya maupun di organisasi di luar departemen. Work-life balance yang saya sampaikan sebelumnya saya lakukan di proses ini.
Saya sempat memegang beberapa jabatan organisasi selama saya menempuh studi di Cornell. Saya pernah menjadi bendahara di CAPP (Cornell Association of Ph.D. Planners), sebuah organisasi tingkat departemen di mana mahasiswa Ph.D. Cornell bisa berkumpul. Di sini, saya memperoleh beberapa teman baik dan memiliki kesempatan untuk berbagi mengenai ide dan kesulitan yang saya hadapi selama proses penyusunan riset saya.
CAPP diberi kesempatan yang cukup unik oleh departemen, yaitu mengelola kelas Planning Reseach Seminar (PROSEM). Di kelas ini, kami dibebaskan untuk mengundang alumni atau profesor dari kampus lain untuk memberikan materi yang dianggap bisa mendukung riset kami. Biasanya, setelah kelas formal dari pemateri tamu, kami mengundang mereka untuk makan malam bersama. Menurut saya, proses makan malam ini lebih produktif dibandingkan penjelasan materi di kelas. Kami dapat bertanya apapun tentang bidang keahlian pemateri yang kami anggap relevan dengan riset kami. Kami juga dapat meminta pendapat pemateri mengenai riset kami bahkan berkomitmen untuk meneruskan interaksi kami untuk kegiatan lain di kemudian hari jika diperlukan.
Selain aktif di CAPP, saya juga sempat berperan sebagai salah satu graduate student co-chairs di Cornell Southeast Asia Program (SEAP), sebuah pusat studi di Cornell yang fokus pada Asia Tenggara. Di SEAP, saya bisa membuka jaringan dengan bidang keilmuan lain yang memiliki fokus di Asia Tenggara. Berjejaring di SEAP membuka pola pikir intelektual saya untuk konteks yang lebih luas. Berbicara dengan pembicara mingguan yang kami undang berdasarkan input dari komunitas SEAP dan berinteraksi dengan profesor dari bidang keilmuan lain ternyata dapat menambah wawasan keilmuan dan secara tidak langsung mengasah kemampuan riset saya untuk menjadi lebih dinamis. Siapa sangka riset mengenai kain tradisional ternyata dapat berhubungan dengan politik!
Koneksi dan interaksi sebagai jalan keluar dari kebuntuan berpikir
Kalau ditanya untuk apa saya berkeliling dan berjejaring dengan orang-orang baru di Cornell, saya akan menjawab “untuk safety net”. Peers adalah teman berbagi yang paling tepat untuk menghadapi tantangan studi di Cornell. Tidak selamanya proses berpikir akan berjalan lancar dan produktif. Memiliki teman sebagai tempat untuk berbagi dan sejenak melupakan kesulitan studi adalah sebuah kebutuhan. Seringkali saya menjadi lebih produktif setelah saya berinteraksi atau melakukan kegiatan di CAPP atau SEAP. Jaringan mahasiswa Indonesia di Cornell juga tidak kalah penting. Ithaca, tempat Cornell berada, adalah sebuah kota kecil di New York State, di mana bukan PERMIAS melainkan Cornell Indonesia Association (CIA) yang menjadi tempat mahasiswa Indonesia berorganisasi. Secara pribadi, saya menganggap teman-teman yang terkoneksi di CIA sebagai bentuk lain dari safety net saya. Jaringan yang terbentuk dengan sesama mahasiswa Indonesia dapat mengobati kerinduan saya kepada tanah air.
Jadi, jika saya ditanya apakah berjejaring sebagai mahasiswa Ph.D. itu perlu? Saya akan jawab: harus!
***
Sumber foto: Cornell, SEAP Bulletin