Perempuan di Panggung Global

0
3380
Ratih taught mathematics to children
Ratih dalam suatu sesi pelatihan (workshop) dengan para guru sekitar April 2018. Sumber: dokumentasi pribadi.

Apa yang menghalangi perempuan berkarya dan berdaya? Itulah pertanyaan retoris yang Ratih Ayu Apsari, mahasiswi PhD di UC Berkeley, coba jawab lewat renungannya seputar macam-macam pendapat yang beredar luas di sebagian kalangan masyarakat soal penting atau tidaknya perempuan diberi kesempatan mewujudkan impian mereka, terlebih di kancah internasional. Mari kita simak refleksi Ratih di bawah ini.

****

Terlahir sebagai putri pertama dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan, sejak kecil saya terbiasa mendengar orang-orang ‘mengasihani’ orang tua saya karena tidak memiliki anak laki-laki. Ketika itu saya pikir gambaran ideal masyarakat adalah dua anak laki-laki dan perempuan seperti pada iklan Keluarga Berencana. Makanya, ketika keluarga kami ‘hanya’ diberkahi tiga anak perempuan, penilaian kurang ideal pun disematkan. Belakangan saya tahu, bukan banyak anaknya yang dimasalahkan – tapi jenis kelamin perempuannya. Lebih lanjut saya dengar, membesarkan anak perempuan adalah sebuah ‘kerugian’, suatu hari dia akan ‘diambil’ orang setelah menikah. Oleh karenanya, menyekolahkan anak perempuan terlalu tinggi dinilai tidak ada manfaatnya: modal besar yang tidak kembali. Benarkah demikian?

Perempuan mengglobal, untuk apa?

Saya mempertanyakan ini sebelum memutuskan melanjutkan studi master, hampir sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu, saya baru lulus sarjana pendidikan di Bali. Tidak tinggal di Ibu Kota dan koneksi internet masa itu yang tidak seberapa membuat saya tidak banyak mendengar informasi kecuali yang datang ke jurusan dalam bentuk surat. Cita-cita saya sederhana, menjadi pendidik yang membantu murid-muridnya merasa nyaman untuk bermatematika. Setelah yudisium, panggilan wawancara kerja di sekolah internasional pun datang; bersamaan dengan kabar peluang melanjutkan studi dalam program joint master di Utrecht University dan Universitas Sriwijaya dengan beasiswa penuh. Kesempatan studi ini membuat saya harus meninggalkan kampung halaman, sementara sekolah internasional tadi berada dekat rumah. Menimbang situasi, saya memilih melanjutkan studi – walaupun kemudian harus menempuh penerbangan tujuh belas jam lamanya, tinggal jauh dari rumah. Waktu itu saya berpikir, peluang ini mungkin akan memampukan saya untuk menjadi dosen, mengingat kualifikasi minimal untuk menjadi dosen saat itu adalah pendidikan S2.

Dosen perempuan di program studi saya saat itu memang belum banyak, kurang dari 14% dari total pengajar. Selain itu, sepanjang kuliah saya sering mendengar mahasiswa, baik yang berasal dari program kami ataupun yang bukan, berkomentar tentang citra perempuan di program studi kami yang berkutat dengan matematika. Stereotip-nya mengarah pada tidak  banyak perempuan yang memiliki kemampuan yang sama baiknya dengan laki-laki dalam program studi yang terkait dengan STEM. Kalaupun ada, perempuan itu biasanya tidak suka bergaul dan tidak memperhatikan penampilan. Saya yang secara alami memang (terlalu) ramah dan suka menggunakan pakaian yang menarik seringkali merasa sedang di-judge. Prasangka itu memotivasi saya untuk menjadi ‘contoh’ bagaimana kombinasi yang katanya tidak mungkin itu nyatanya ada. Sejak saat itu saya bertekad untuk menjadi a fashionable professor – saya mendefinisikannya sebagai akademisi yang berprestasi dan tetap penuh gaya.

Secara ilmiah, tidak ada hubungan antara jenis kelamin dan kemampuan akademik. Artinya, tidak benar jika menganggap perempuan tidak bisa bersaing di kelas maupun di dunia kerja terutama pada bidang yang didominasi laki-laki. Memang benar, dalam beberapa sektor utamanya STEM, perempuan tidak banyak direpresentasi. Tapi itu bukan karena perempuan tidak mampu. Bagaimana citra perempuan di masyarakat, kesempatan yang terbatas, dan kurangnya contoh figur yang membantu perempuan melihat dirinya di masa depan bisa bersaing dalam bidang STEM adalah salah satu penyebabnya (lebih lanjut bisa dibaca di artikel berikut, berikut, dan berikut). Bahkan sebenarnya, beberapa bidang yang kini diidentikkan dengan laki-laki dulunya didominasi perempuan. Sebagai contoh, selama ini stereotip unggul untuk bidang matematika dan komputasi didominasi laki-laki. Menarik mundur ke belakang, mari kita lihat siapa yang dijuluki ‘komputer manusia’ di era Perang Dunia I dan II. Ya, betul, perempuan. Berbagai perhitungan kompleks dan matematika tingkat lanjut dilakukan oleh perempuan dari berbagai ras dan etnis di Amerika Serikat.

Kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studi, saya mengajar di program studi pendidikan matematika dengan semangat untuk mempersiapkan calon pendidik profesional. Melihat saya (dan adik-adik) yang ternyata bisa mendapatkan kesempatan studi dan bekerja di tempat yang baik, orang tua sudah semakin jarang mendapat komentar miring seputar ‘hanya’ memiliki anak perempuan. Tapi tentu, prasangka tidak hanya berputar seputar isu yang sama. Di berbagai ruang kelas formal maupun informal, saya mendapat banyak pertanyaan terkait dengan citra perempuan yang berani melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi dan ke luar negeri. Ragam asumsi muncul terutama jika sudah berkaitan dengan peran perempuan di masyarakat: apakah perempuan yang mengglobal akan sulit untuk ‘diatur’, apakah akan menomorduakan keluarga karena sibuk berkarier, apakah akan melupakan adat ‘ketimuran’ karena kiblatnya ke ‘barat’.

Pertanyaan-pertanyaan ini tentu tidak mudah dijawab dengan kata-kata. Saya pun mencoba menunjukkannya melalui contoh, melalui apa yang saya lakukan sehari-hari Pengalaman saya studi di luar negeri membantu saya untuk lebih ‘berani’ mengemukakan pendapat dengan tidak melupakan sopan santun dan tata krama. Termasuk mengambil langkah atas apa yang menjadi kegelisahan saya sebagai wujud sadar sosial. Tidak hanya memperhatikan keluarga dan orang terdekat, saya juga menginisiasi dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan non-profit dan pemberdayaan masyarakat (salah satunya adalah keikutsertaan saya dalam Indonesia Mengglobal dan Taman Cerdas Ganesha).

Ratih during one of her teaching activities
Ratih peduli pada kualitas pendidikan yang baik sebagai cara memberdayakan diri dan sesama. Sumber: dokumentasi pribadi.

Menghalau bermacam-macam stereotip memang tidak mudah. Ketika berangkat ke California untuk melanjutkan studi doktoral, saya sampai harus membuat postingan blog berisi daftar pertanyaan yang sering muncul jika seseorang mendengar kabar bahwa saya melanjutkan studi (lagi). Sengaja ditulis agar saya tidak harus merespons pertanyaan tendensius seputar perempuan muda yang melanjutkan studi Ph.D. ke luar negeri: kenapa tidak menikah dulu, bagaimana jika tidak ada yang berani mendekati karena gelarnya sudah semakin panjang, dan sengaja studi ke luar negeri supaya mendapat ‘bule’. Saya yakin, tekanan berbalut pertanyaan ini bukan saya saja yang mengalami.

Tapi tentu, saya tidak akan berangkat jika tidak siap dengan jawabannya. Pemahaman ini kemudia dikuatkan oleh diskusi kritis yang saya alami di ruang kelas: membuka perspektif baru bagi saya untuk menjawab pertanyaan perempuan mengglobal, untuk apa? dan menambahkannya menjadi untuk siapa? 

Untuk dirinya sendiri

Pertama dan utama, perempuan bersaing di kancah internasional adalah untuk dirinya sendiri – untuk menemukan jawaban atas pertanyaan hidupnya, entah yang terkait bidang keilmuan atau implementasinya di masyarakat. Perempuan memiliki hak menentukan jalan hidupnya, kita kompeten dan bisa dipercaya. Memberi masukan pada perempuan adalah hal baik, tapi keputusan selalu ada ditangan kita sebagai individu. Perempuan yang ingin mengglobal telah menimbang konsekuensi dari keputusannya, kita tahu apa yang menjadi tujuannya dan bahkan jika nantinya kita melakukan modifikasi, adaptasi, bahkan mengambil arah yang berbeda dalam prosesnya.

Untuk perempuan lainnya

Perempuan mengglobal untuk menjadi contoh bagi perempuan lainnya. Kita menjawab prasangka dengan data atas hasil kerja nyata yang kita lakukan. Perempuan berdaya memberdayakan perempuan tidak dimaksudkan untuk mengkerdilkan identitas gender lainnya. Keberadaan dukungan ini dimaksudkan untuk meyakinkan perempuan untuk maju bersama dan menepis sebagian beban karena kita tidak berjuang sendirian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa perempuan ragu-ragu untuk melanjutkan studi di bidang tertentu karena profesi yang terkait bidang tersebut jarang diasosiasikan dengan perempuan. Bergerak bersama menjadi figur teladan akan menguatkan perempuan lain untuk berani mencoba meraih mimpinya.

Untuk kemaslahatan dunia

Perempuan perlu mengglobal karena kemampuannya dibutuhkan dunia, baik dalam skala kecil, sedang, ataupun luas. Kadang kita tidak merasa cukup penting untuk diperhitungkan dalam dinamika dunia. Tanpa kita sadari dalam sistem yang sedemikian kompleks dan dinamis, satu perbuatan kecil kita mungkin akan mengubah hidup kita esok hari – atau bahkan orang lain yang berinteraksi dengan kita. Langkah yang kita anggap kecil tapi dilakukan secara konsisten dengan intensi baik kemudian akan memampukan kita secara kolektif memperoleh hasil yang besar dan bermanfaat. Selain itu keikutsertaan perempuan untuk menentukan kebijakan strategis akan dibutuhkan untuk memberikan perspektif yang berbeda dari sudut pandang yang selama ini mendominasi.

Perempuan di panggung global adalah bentuk aktualisasi dirinya sebagai individu dan perannya sebagai makhluk sosial. Realisasinya bisa beragam tergantung situasi, kebutuhan, dan keputusan perempuan itu sendiri. Penilaian atas potensi dan kualitas kemampuan perempuan sudah seharusnya dilakukan secara komprehensif, tidak melalui bias prasangka karena jenis kelamin. Jika terlahir sebagai perempuan, gunakan kesempatan ini untuk meraih banyak hal baik dalam hidup sehingga kita bisa memberikan lebih banyak lagi bagi dunia. Jika tidak, dukung kami untuk mewujudkan kesetaraan dan memberdayakan lebih banyak perempuan. Bersama, kita bisa melihat lebih banyak lagi perempuan di panggung global yang berkontribusi pada kemajuan peradaban. Runtuhkan bias, selamat melanjutkan perjuangan!

Perempuan di Panggung Global
Ratih percaya perempuan yang berpendidikan akan membantu membuat dunia menjadi lebih baik. Sumber: dokumentasi pribadi.

***

Editor: Nefertiti Karismaida


BAGIKAN
Berita sebelumyaSupporting International Students at An Australian University: Yogi’s Experience
Berita berikutnyaRayakan Hari Perempuan Sedunia, British Council Indonesia Promosikan Beasiswa Women in STEM
Ratih Ayu Apsari merupakan dosen Pendidikan Matematika di Universitas Mataram. Ia menyelesaikan S1 Pendidikan Matematika di Universitas Pendidikan Ganesha pada tahun 2012 dan S2 Pendidikan Matematika di Utrecht University – Universitas Sriwijaya dalam program beasiswa International Master Program on Mathematics Education (IMPoME) dengan beasiswa STUNED-DIKTI pada tahun 2015. Selain aktif mengajar dalam institusi formal di perguruan tinggi, Ratih juga aktif terlibat dalam upaya memberikan akses pendidikan yang lebih luas dan terbuka. Salah satunya melalui kelas belajar sukarela Taman Cerdas Ganesha yang dinisiasinya pada tahun 2017 ketika menjadi dosen di Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Ganesha (2015-2019). Ratih juga terlibat aktif dalam organisasi pro-bono Indonesia Mengglobal yang bertujuan untuk menginspirasi & memberdayakan generasi muda Indonesia untuk melanjutkan studi & berkarya di kancah global. Kecintaannya pada dunia pendidikan, keinginannya untuk berkontribusi lebih pada lembaga pendidikan guru, dan perhatiannya pada optimalisasi tumbuh kembang anak khususnya dalam bidang matematika memotivasinya untuk melanjutkan program doktoral di Graduate School of Education, University of California at Berkeley dengan beasiswa LPDP. Ratih bisa dihubungi melalui kanal sosial media instagram @aayuratiih atau surel ra.apsari@gmail.com.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here