“Memulai perjalanan akademik di jenjang universitas bukanlah hal yang mudah, terutama di jenjang magister yang menekankan kombinasi antara pemahaman disiplin ilmu dan kemampuan riset. Kisah resiliensi Nefertiti Karismaida, Content Director Indonesia Mengglobal untuk North and Latin America yang saat ini mengenyam studi MA in English Program di East Carolina University, dalam mengatasi kecemasan yang melanda di pekan perdana kuliahnya dapat menjadi referensi penting bagi kamu yang akan atau sedang memulai pengalaman kuliah di luar negeri.”
***
Bagi sebagian besar orang yang tinggal di Amerika Serikat dan negara-negara lainnya di belahan bumi utara, musim panas adalah saatnya bersantai sejenak dan melupakan kesibukan harian. Hal itu tidak berlaku buatku musim panas ini. Alih-alih memilih untuk menikmati musim panas, bulan Mei sampai Juli ini aku mengikuti dua mata kuliah online yang ditawarkan oleh kampusku tersayang, East Carolina University, dalam format summer semester.
Aku masih tergolong mahasiswi baru di sini; aku mendaftar ke Departemen Sastra Transnasional dan Multibudaya ECU sekitar bulan Desember tahun lalu dan mendapatkan surat penerimaan di pertengahan bulan Maret. Aku sebenarnya sangat disarankan oleh pihak admission untuk memulai perkuliahan di musim gugur, atau bulan Agustus, seperti yang lazim dilakukan para mahasiswa di AS, namun jiwa penasaranku berkobar-kobar dan aku ingin bisa sesegera mungkin mencicipi bangku graduate school.
Setelah menerangkan panjang lebar ke pimpinan fakultas yang bersangkutan mengapa aku harus berkuliah sekarang dan bukan nanti saja menunggu musim panas selesai, permohonanku untuk mengambil kelas-kelas summer semester akhirnya disetujui.
Summer semester di ECU dibagi menjadi dua sesi; sesi pertama berlangsung dari tanggal 16 Mei sampai 15 Juni dan sesi kedua berlangsung dari tanggal 16 Juni sampai 15 Juli. Di setiap sesi lima minggu tersebut, para mahasiswa diperbolehkan ikut satu kelas.
Untuk sesi pertama, aku ikut kelas Multicultural Women’s Literature and Politics of Feminism, suatu kelas yang membahas sisi politik berbagai karya sastra karangan penulis-penulis perempuan dari beragam latar belakang ras dan strata sosial, misalnya komunitas Muslim di Timur Tengah, komunitas kulit hitam di Amerika Utara, dan komunitas Kristen di Afrika Barat.
Buku-buku rujukan dan jurnal ilmiah yang menjadi bahan bacaanku ditulis oleh cendekiawan dari berbagai negara pula, misalnya Nigeria, Senegal, Yordania, Meksiko, Vietnam, dan Tiongkok, sehingga aku dan teman-teman seangkatanku yang mengambil program ini akan terlatih menimbang persoalan dari perspektif yang berbeda-beda dan dapat menghargai aneka macam kultur dan tradisi.
Minggu pertamaku bisa dikatakan berjalan cukup lancar tanpa hambatan yang berarti. Aku berkenalan dengan teman-teman sekelas yang datang dari berbagai kota di North Carolina dan beberapa negara bagian lainnya yang bertetangga dengan NC.
Sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai guru Bahasa Inggris Untuk Penutur Asing di sekolah menengah pertama dan atas atau profesi lain yang masih berhubungan dengan pendidikan, misalnya pengajar untuk anak-anak usia dini dengan disabilitas, sementara akulah satu-satunya yang bekerja sebagai penerjemah dan pengarang lepas. Walau profesiku tidak sama dengan mereka, teman-temanku tetap ramah padaku dan mendorongku untuk berpartisipasi sesering mungkin dalam diskusi kelompok. Suasana egalitarian ini membuatku nyaman beradu pendapat dan argumentasi.
Cobaan yang sesungguhnya datang di minggu kedua perkuliahan. Tugas yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah semakin banyak dan berat, pertanyaan yang beliau kemukakan seputar materi yang diberikan juga menjadi lebih mendalam dan terperinci. Tema utama di minggu kedua adalah bagaimana keragaman bahasa ibu membentuk identitas sosial dan bagaimana kolonialisme, rasisme, dan imperialisme membuat bahasa-bahasa tertentu (misalnya Bahasa Spanyol di Amerika Latin) mendominasi sampai bahasa asli suatu kaum jadi terlupakan dan tersingkirkan, bahkan terancam punah.
Aku merasa tidak cukup cerdas atau mahir membedah topik tersebut secara intelektual. Jargon-jargon akademis pelik yang menghiasi artikel-artikel panjang dan menjemukan yang menjadi bacaan mingguanku terasa sangat asing dan membingungkan, sulit untuk aku pahami. Bacaan-bacaan wajib mulai menjadi beban untukku dan bukan lagi sesuatu yang membuatku bersemangat. Sadar bahwa aku memerlukan bantuan untuk mengatasi perasaan penat dan suntuk ini, namun dihinggapi rasa takut berlebihan mengenai apa yang mungkin bakal dipikirkan sang profesor jika tahu aku tidak benar-benar mengerti apa yang diajarkan olehnya, aku menunda meminta pertolongan. Aku berjibaku sendirian mencari referensi tambahan yang bisa dipakai untuk menambah pengetahuanku soal efek penjajahan dan kebijakan diskriminatif dalam mengerdilkan keragaman bahasa di negara bekas jajahan.
Pada suatu titik, aku kelelahan mental dan memutuskan menghubungi adikku di Jakarta untuk curhat. Aku mengutarakan segala keluh kesahku dan bercerita bahwa aku tidak mau dilabeli sebagai seorang mahasiswi yang kurang mumpuni dan kurang kritis. Dalam benakku, mahasiswi sepertiku yang tengah mengenyam pendidikan S2 haruslah mampu belajar secara mandiri.
Menjawab keresahanku, adik menyanggah pemikiranku dengan menyatakan “Kak, kamu tahu bukan ada perbedaan antara menjadi mandiri dan menjadi terlalu keras kepala untuk mengakui kapan kamu butuh dibantu? Hanya karena kamu sudah dewasa bukan berarti kamu tidak boleh minta tolong kalau kamu memang sudah merasa buntu dan kehilangan arah.”
Aku sempat mendebat perkataan adikku dengan dalih “iya, tapi gimana kalau nantinya aku justru dianggap tidak becus, tidak kompeten, dan gagal mengembangkan pikiran yang orisinal?” dan dia mendebatku kembali dengan argumen yang masuk akal: “Enggak, Kak, justru kalau kamu menemui kesulitan itu malah wajar! Normal banget untuk merasa bingung saat transisi dari satu bidang ilmu ke bidang lainnya, seperti kamu yang awalnya mendalami Ilmu Sosial dan sekarang mempelajari Ilmu Sastra. Jika segalanya mudah, kamu gak berkembang, dong?”
Setelah menenangkan pikiran dan batin, aku akhirnya memberanikan diri untuk menghubungi dosenku dan jujur perkara merasa tidak sanggup menyelami kedalaman topik-topik yang beliau bahas. Dalam email yang aku kirim, aku menjelaskan bagaimana aku merasa kurang pintar dan juga bagaimana aku merasa yakin hasil belajarku tidak menunjukkan pemahaman yang memadai atas apa yang sudah aku pelajari.
Di luar dugaan, dosenku tidak setuju dengan penilaian yang main hakim sendiri itu. Di mata beliau, aku sudah cukup menunjukkan bahwa aku mampu mendukung argumen-argumen dalam tulisanku lewat bukti-bukti tekstual dan analisis yang tajam. Beliau percaya padaku dan beranggapan aku telah terlalu keras pada diri sendiri.
Membaca pesan beliau dan mendapatkan reaksi yang demikian tak terduga, aku jadi terharu. Mungkin betul aku sudah jahat pada diri sendiri dengan berpikir negatif soal kemampuanku dan mengecilkan usaha-usaha yang sudah aku lakukan untuk menulis dan berdebat dengan baik. Terpukau oleh kebijaksanaan beliau, aku bertekad untuk memberikan penghargaan pada diri sendiri karena sudah berjuang dengan maksimal. Perjuanganku membuahkan hasil dan tidak sia-sia; beliau melihat apa yang aku sempat gagal lihat, contohnya potensi yang aku miliki dan daya juang yang terus menyala dalam diriku.
Kini aku memasuki minggu ketiga perkuliahan. Aku masih meraba-raba strategi yang efektif dan efisien untuk belajar dan menganalisis teori-teori unik dan menarik yang aku temui. Apa yang membedakan minggu ketiga dengan minggu kedua tadi adalah caraku menilai dan menghakimi diri sendiri. Pelan-pelan, aku mengubah persepsiku dari “pokoknya aku sama sekali tidak boleh terlihat bodoh dan lemah, aku harus selalu terlihat cerdik!” menjadi “tidak ada salahnya punya keraguan dan bertanya, yang salah adalah jika kita terlalu angkuh untuk menanyakan pada orang lain soal performa kita. Bisa saja apa yang kita pikirkan bukanlah apa yang mereka pikir tentang kita. Terkadang kita menyakiti diri sendiri dengan pikiran-pikiran aneh dan buruk.”