Perjalanan Ibu-Ibu Mahasiswa Internasional di Osaka University, Jepang

1
1564
Glico man! Icon Osaka
Glico man! Icon Osaka. Sumber: Dokumentasi Pribadi.

Mimpi Kiky sejak dulu untuk studi di luar negeri akhirnya dapat tercapai setelah mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan tentang Bioteknologi di Osaka University. Namun pandemi Covid-19 sempat menunda keberangkatannya. Dibalik kekecewaan tersebut ada hikmah yang dapat diperoleh bersama keluarga kecilnya. Setelah Jepang membuka border, keterlambatan penelitian Kiky dapat dikejar dengan fasilitas penelitian yang mendukung di laboratorium departemennya. Yuk, simak kisah perjalanan seorang ibu dan wanita karir yang banyak mengambil pelajaran dari pengalaman menjadi mahasiswa di luar negeri.

***

Dari ibu-ibu kantoran jadi mahasiswa internasional

Menempuh pendidikan tinggi adalah impian saya sejak kecil. Impian itu tidak pernah surut meskipun saya sudah menjadi ibu-ibu kantoran dengan pengalaman kerja selama lima tahun di bidang produksi, riset dan pengembangan industri pupuk, serta memiliki satu anak. Tahun 2019 adalah tahun yang bersejarah dalam perjalanan mewujudkan mimpi tersebut. Saat itu, perusahaan tempat saya dan suami bekerja mengadakan seleksi beasiswa S-2. Kami memutuskan untuk mengikuti seleksi tersebut. 

Sejak awal seleksi, saya sudah mengutarakan keinginan saya untuk sekolah ke luar negeri kepada suami. Rupanya keinginan kami tidak sejalan, suami ingin menempuh S-2 di dalam negeri saja. Namun, suami meyakinkan bahwa akan mendukung sepenuhnya apabila saya mendapat kesempatan itu. Dengan mengucap hamdalah atas restu suami dan basmalah, saya siap mewujudkan mimpi saya! 

Saat itu, anak saya masih berumur satu tahun. Mengasuh anak, bekerja, dan mempersiapkan diri untuk seleksi beasiswa tentunya merupakan tantangan yang saya dan suami harus hadapi. Ada kalanya kami buka buku latihan TOEFL dan TPA sambil main dengan anak di hari libur dan mempersiapkan proposal S-2 di tengah malam saat anak tidur. 

Kami tidak mau kalah! Meskipun akan keluar negeri, sejak seleksi beasiswa, saya pun mempertimbangkan negara tujuan yang tidak terlalu jauh dari Indonesia. Setelah melakukan riset dari internet dan referensi dari rekan-rekan yang telah menempuh S-2 di luar negeri, Jepang adalah pilihan saya dan Osaka University adalah target perguruan tinggi yang ingin dituju. Universitas ini memiliki reputasi yang baik di tingkat Jepang dan dunia, termasuk untuk bidang Bioteknologi sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

Di awal tahun 2020, hasil seleksi beasiswa diumumkan. Alhamdulillah, saya dan suami dinyatakan lulus seleksi sesuai dengan keinginan kami. Saya mendapat beasiswa untuk pendidikan S-2 luar negeri bidang Bioteknologi dengan target perguruan tinggi Osaka University di Jepang sedangkan suami di dalam negeri. Sejalan dengan pembicaraan kami di awal masa seleksi, kami pun sepaham bahwa tidak ada gunanya memaksakan keinginan satu sama lain dan kami siap menghadapi konsekuensi serta tantangan akibat keputusan yang kami ambil, terutama dalam hal membina rumah tangga jarak jauh dan membesarkan anak. Tentu saja kami bukan yang pertama menghadapi keadaan seperti ini, tapi keadaan seperti ini adalah yang pertama bagi kami.

Saya segera menghubungi kandidat pembimbing dari Osaka University melalui e-mail. Beliau yang saya hubungi karena laboratorium beliau kemungkinan berhubungan dengan penelitian yang ingin saya lakukan dan itu pun diamini oleh teman yang sedang menempuh pendidikan di tempat tersebut. Dalam hari yang sama, calon pembimbing tersebut merespon e-mail dan mengajak saya untuk wawancara di minggu depannya melalui Skype. Satu hari setelah wawancara, saya mendapat email rekomendasi dari calon pembimbing untuk melanjutkan pendaftaran. Alhamdulillah! One step closer!

God is the best planner!

Rencana awal kami setelah dinyatakan lulus seleksi beasiswa adalah menyamakan masa pendidikan sehingga kami bisa melakukan tugas belajar dan kembali ke kantor di waktu yang relatif sama, yaitu dalam kurun waktu 2020–2022. Bulan Juni 2020 saya menerima pengumuman bahwa resmi diterima dalam program master Departemen Bioteknologi untuk enrollment Oktober 2020. Suami pun dinyatakan diterima di program master Teknik Manajemen Industri Institut Teknologi Bandung untuk mulai perkuliahan di pertengahan tahun 2020.

Rupanya tahun 2020 adalah tahun yang bersejarah, tidak hanya dalam perjuangan saya dalam mengejar cita-cita, tapi untuk seluruh dunia. Masa pandemi dideklarasikan secara internasional. Saat itu berbagai negara menutup perbatasan dan melarang kunjungan dari luar negeri. Jepang termasuk salah satu yang paling ketat dalam memberlakukan ketentuan tersebut. Saya hanya bisa pasrah. 

Awal September 2020 saya harus menentukan apakah saya akan menunda studi saya karena keadaan pandemi atau tetap lanjut dengan konsekuensi kuliah online dan baru berangkat ke jepang ketika perbatasan dibuka yang entah kapan. Akhirnya berdasarkan rekomendasi pembimbing perusahaan dan universitas, saya putuskan untuk menunda waktu mulai studi dan keberangkatan menjadi April 2021, terlebih lagi karena bidang yang saya pilih adalah Bioteknologi yang memerlukan penelitian di fasilitas laboratorium universitas.

Perjalanan Ibu-Ibu Mahasiswa Internasional di Osaka University, Jepang
Masa pandemi memungkinkan kami sekeluarga foto di depan almamater. Sumber: Dokumentasi pribadi.

Mendekati bulan April 2021, keadaan masih belum berubah. Saya pun sudah tidak bisa mundur lagi. Akhirnya saya putuskan untuk memulai perkuliahan secara online sambil menunggu dibukanya perbatasan Jepang. 

Perkuliahan online sambil mengasuh anak pun memunculkan banyak pengalaman unik. Saat itu, anak saya juga sudah mulai masuk sekolah. Jadi kami sekeluarga bergantian ikut kelas online. Teman-teman dan dosen di kelas sudah tidak heran apabila ada kepala anak kecil yang menyembul di layar Zoom saya atau ada background music celotehan anak. Ketika anak kelas online, giliran saya ikut joget dan nyanyi lagu anak-anak. Seringkali juga saya menguping kuliah online suami, lumayan diversifikasi ilmu.

Terkadang saya merasakan sedih dan frustasi karena belum kunjung berangkat ke Jepang untuk melaksanakan penelitian, mengikuti perkuliahan secara langsung, bertemu sensei dan teman-teman, dan benar-benar merasakan jadi mahasiswa internasional. Tapi di sisi lain, keluarga kecil kami tetap bisa berkumpul. Tidak tanggung-tanggung, 24/7 bersama di rumah. Selain itu, saya pun bisa tinggal di dekat orang tua karena bebas tugas dari pekerjaan kantor dan perkuliahan masih online dari Indonesia. 

Saya yakin bahwa sesungguhnya God is the best planner! Semua pasti ada hikmahnya dan ini adalah skenario terbaik bagi kami. Kehidupan tersebut saya jalani selama satu tahun. Bulan Maret 2022, Jepang mulai membuka perbatasan untuk pelajar asing.

Jepang: Negara Super Tertib yang Ramah Seluruh Kalangan

Perjalanan Ibu-Ibu Mahasiswa Internasional di Osaka University, Jepang
Ukimido, Nara. Sumber:  Dokumentasi pribadi.

Tanggal 11 Mei 2022 merupakan hari pertama saya menginjakkan kaki di Jepang dan di luar negeri! Ya, saya belum pernah pergi ke luar negeri sama sekali. Berbekal bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar utama dalam berkomunikasi, saya pun memulai perjalanan di Osaka. 

Namun ternyata, tidak semua orang luar negeri itu pandai berbahasa Inggris, termasuk orang Jepang. Orang-orang yang saya temui di awal saya menginjakan kaki di Jepang, seperti pelayan restoran, resepsionis hotel, kasir mini market, hingga staf kantor kota tidak seluruhnya bisa berbahasa Inggris. Meskipun begitu, mereka semua berusaha semaksimal mungkin untuk membantu atau berkomunikasi, dari menggunakan bahasa tubuh hingga menggunakan translator. Inilah yang saya kagumi dari budaya pelayanan Jepang. 

Selain itu, semua orang (setidaknya yang saya temui) sangat tertib mengikuti peraturan seperti lampu penyeberangan. Di Osaka, hampir seluruh penanda jalan, transportasi, dan sarana umum sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa, terkadang dalam bahasa Indonesia pun ada. Seluruh rute transportasi dapat diakses dengan mudah dan up to date hanya dengan Google Map. Fasilitas umum dan transportasi dilengkapi akses untuk anak-anak, penyandang disabilitas, dan orang tua. Sehingga tidak jarang saya melihat orang tua atau anak-anak berjalan sendiri tanpa ditemani caretaker.

Di awal masa saya tinggal di Jepang, saya tinggal di asrama universitas dengan mahasiswa-mahasiswa internasional lain. Di sana saya banyak belajar mengenai kebiasaan, pola pikir, dan cara bergaul dengan orang-orang yang memiliki latar belakang berbeda dan tentu saja umur yang jauh lebih muda. Di kampus dan lab pun begitu. 

Karena saya seorang muslim, banyak pertanyaan-pertanyaan menarik yang kerap kali disampaikan, seperti apakah kamu punya rambut, apakah ada style hijab yang berbeda di musim panas, kalau kamu sedang di bulan, kemana kamu menghadap saat sedang salat, kenapa kamu harus pakai hijab, dan lain-lain. Pertanyaan-pertanyaan yang unik ini membuat saya tersadar bahwa masih banyak hal yang saya tidak ketahui terkait ajaran agama saya dan menjadi tergerak untuk belajar lebih. Namun di luar itu, mereka sangat menghormati saya sebagai muslim dan tidak keberatan apabila di tengah-tengah aktivitas saya izin salat atau tidak makan apa yang mereka makan.

Meskipun begitu, ada juga hal-hal yang membuat saya rindu dengan tanah air dan kehidupannya. Selain makanannya, saya juga rindu dengan kemudahan transportasi dan delivery online. Tetapi mungkin karena perbedaan budaya dan kemudahan transportasi umum, layanan online seperti di Indonesia tidak berkembang di sini. Semua orang sudah terlanjur nyaman dengan sistem yang sudah ada sebelumnya yang memang sudah sangat tertib. Bukan hanya itu, sistem pembayaran cashless pun rupanya baru berkembang secara pesat sejak pandemi, tidak seperti di Indonesia yang sudah menjadi hal umum. 

Jam kerja di Jepang dimulai sekitar jam 9.00, lebih siang dari umumnya di Indonesia. Hal ini dikarenakan mereka memperhitungkan waktu untuk orang tua mengantar anaknya terlebih dahulu ke penitipan anak atau sekolah. Terkadang saya agak jetlag jam kerja. Saya terbiasa memulai bekerja dari pagi sekitar jam 7.30 sehingga belum ada orang yang hadir di lab. Saya terbiasa mengakhiri pekerjaan jam 16.30. Namun di jam segitu belum ada satu pun orang yang keluar lab. Jadi jam kerja saya lebih panjang dari yang seharusnya. Tapi dengan begitu, saya bisa mengejar penelitian yang sempat ketinggalan satu tahun.

Perjalanan Ibu-Ibu Mahasiswa Internasional di Osaka University, Jepang
Salah satu kegiatan lab: Lab Trip. Sumber: Dokumentasi pribadi.

Fasilitas Penelitian Free Flow!

Sejak saya memulai penelitian di Osaka University, saya melihat ada perbedaan paradigma dalam tujuan pelaksanaan penelitian dengan yang saya dapat di Indonesia. Tujuan penelitian bukan untuk membuktikan apa yang kita kerjakan itu benar secara teori yang ada, melainkan untuk melakukan eksplorasi teori baru. Hasil penelitian yang tidak sejalan dengan teori yang ada bukan berarti penelitian tersebut gagal, melainkan membuka peluang eksplorasi ke arah yang baru. Setiap “kegagalan” menjadi landasan untuk penelitian baru yang mungkin dapat melahirkan penemuan baru. 

Akses ke fasilitas penelitian tidak dibatasi dengan seberapa yakin kita terhadap keberhasilan penelitian tersebut dengan dilandasi teori yang proven, melainkan apakah yang kita lakukan ini adalah hal yang baru dan memiliki prospek untuk prove something new yang dapat mendatangkan manfaat bagi ilmu pengetahuan. Pola pikir selangkah lebih di depan seperti itu dan integritas dalam pemanfaatan sumber daya, menurut saya turut mendorong kemajuan dalam lingkungan pendidikan tinggi di Osaka University, lebih luas lagi di Jepang.

Perjalanan Ibu-Ibu Mahasiswa Internasional di Osaka University, Jepang
Gerbang kampus di sore hari. Sumber: Dokumentasi pribadi.

Di hari pertama saya datang ke lab, saya sudah diberikan kunci akses lab yang memungkinkan saya mengakses lab, basically, kapanpun. Kami sebagai mahasiswa juga bebas memberikan masukan agar operasional lab menjadi lebih efektif dan efisien. Efektif dan efisien bukan berarti dengan membatasi anggaran yang ujung-ujungnya membuat penelitian jadi tidak realistis. Namun dengan mengadakan peralatan yang tepat guna. 

Sensei tidak segan-segan mengadakan peralatan, reagen, atau fasilitas lain seperti kitchen stuffs yang menurut warga lab dapat menunjang lingkungan bekerja yang lebih baik. Pengadaan peralatan pun bukan cuma dengan membeli baru, bisa dengan pinjaman dari fasilitas penelitian yang lain. Pokoknya selama ada gunanya, sebisa mungkin akan tersedia. 

Dengan kemudahan seperti itu, mahasiswa pun dibimbing dan diberi kepercayaan untuk senantiasa menjaga fasilitas dan melakukan penelitian dengan sungguh-sungguh. Kalau semuanya sudah tersedia, tidak ada alasan untuk tidak melakukan penelitian dengan sungguh-sungguh, bukan?  

***

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here