Mencari beasiswa ke luar negeri membutuhkan persiapan waktu dan sumber daya yang cukup besar, baik dari segi uang maupun tenaga. Karena itu, umumnya orang akan memilih negara yang berbahasa Inggris seperti UK, US, dan Australia karena tidak memerlukan tambahan persiapan untuk mempelajari bahasa lainnya. Hal ini yang saya pikirkan ketika pertama kali mendaftar beasiswa di tahun 2019.
Namun, di luar negara tersebut banyak sekali beasiswa yang ditawarkan oleh negara lainnya, salah satunya adalah beasiswa DAAD dari Jerman. Saat saya secara aktif mencari referensi pengalaman mahasiswa Indonesia di luar negeri, website Indonesia Mengglobal (IM) merupakan salah satu rujukan utama saya. Sayangnya, minim sekali informasi yang bisa didapat terkait beasiswa DAAD maupun perkuliahan di Jerman di website IM. Oleh karena itu, saya harap artikel kali ini bisa membuat teman-teman memperluas pencarian beasiswanya dan menyadari peluang besar yang bisa dimanfaatkan melalui beasiswa DAAD.
Sekilas DAAD
DAAD adalah lembaga pengelola program pertukaran pelajar dan akademisi dari pemerintah Jerman. Terdapat banyak sekali program beasiswa DAAD, baik untuk jenjang S2, S3, maupun pertukaran pelajar singkat di berbagai bidang keilmuan. Program DAAD yang saya ikuti adalah DAAD EPOS (Development-Related Postgraduate Courses). Pada skema beasiswa ini, program studi yang ditawarkan adalah bidang terkait Sustainable Development Goals (SDGs) dan ditujukan untuk peserta dari negara berkembang. DAAD EPOS menyeleksi kampus yang memenuhi persyaratan sehingga pendaftar beasiswa hanya dapat memilih kampus dan program studi yang telah ditetapkan. Pada bidang kesehatan masyarakat yang menjadi fokus saya misalnya, hanya ada empat kampus di Berlin, Heidelberg, Freiburg, dan Bonn yang masuk ke dalam list DAAD EPOS.
Bidang yang ditawarkan DAAD EPOS pun cukup beragam, seperti ekonomi, teknik, eksakta, sosial, dan kesehatan. Mayoritas program ini memiliki pengantar bahasa Inggris. Hanya dua dari total 40 program di tahun 2024 yang disampaikan dalam bahasa Jerman. Meskipun begitu, penerima beasiswa wajib mengikuti kursus bahasa Jerman selama minimal 2 bulan sebelum kegiatan perkuliahan dimulai. Hal ini penting karena bahasa Jerman tetaplah dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Mengapa DAAD?
Di bagian ini, saya mencoba menjabarkan beberapa fitur beasiswa DAAD yang dapat dijadikan pertimbangan dibandingkan beasiswa lainnya.
- DAAD mengadopsi seleksi satu pintu untuk kampus sekaligus beasiswa. Saat mendaftar DAAD, pendaftar mengirimkan seluruh berkas aplikasi ke pihak kampus sebagai seleksi pertama. Kampus kemudian akan merekomendasikan daftar nama kandidat penerima beasiswa ke pihak DAAD, untuk kemudian akan direview kembali oleh pihak DAAD. Interview juga secara umum dikelola oleh pihak kampus sehingga tidak perlu mendaftar secara terpisah antara kampus dan beasiswa.
- DAAD tidak mensyaratkan kewajiban untuk kembali ke negara asal setelah studi. Hal ini menjadi topik perdebatan bagi beberapa orang yang berkeinginan untuk bekerja di luar negeri. Meskipun tentu saja sebagai pemberi beasiswa DAAD berkeinginan agar alumninya dapat menjadi jembatan kerjasama Jerman dengan negara lainnya, namun DAAD memberikan kebebasan kepada penerima beasiswanya untuk menentukan arah karir sesudah lulus.
Selain dua poin diatas, saya rasa jika memang ingin berkuliah di Jerman, beasiswa DAAD juga dapat memberikan kemudahan dari segi birokrasi. DAAD cukup dikenal berbagai kantor pemerintahan di Jerman sehingga mengurus visa dan izin tinggal menjadi lebih mudah.
Beasiswa DAAD juga membuka peluang untuk membawa keluarga ke Jerman karena terdapat tunjangan pasangan dan anak. Namun, perlu diperhatikan bahwa ada masa tunggu sebelum keluarga boleh menyusul. Selain itu, pengurusan visa juga memakan waktu yang lama (bisa mencapai 6 bulan). Pemerintah Jerman juga memiliki aturan yang ketat terkait syarat luas minimal tempat tinggal bagi setiap orang. Penerima beasiswa biasanya harus pindah dari asrama kampus ke apartemen atau rumah yang cukup untuk keluarga. Pencarian tempat tinggal ini juga menjadi tantangan tersendiri, apalagi di kota padat penduduk seperti Berlin dan München. Hal ini harus dipertimbangkan dengan matang untuk mengantisipasi worst case scenario apabila keluarga pada akhirnya tidak bisa menyusul.
Poin lainnya, DAAD juga memungkinkan untuk mengambil gelar master kedua. Tidak ada restriksi khusus terkait hal ini selama dapat menunjukkan relevansi dan urgensi dari studi kedua tersebut. Gelar terakhir yang dimiliki umumnya tidak boleh lebih dari 6 tahun, meskipun hal ini bukanlah persyaratan mutlak. Terdapat beberapa kondisi yang dapat dijadikan pengecualian seperti hamil, melahirkan, mengurus keluarga yang sakit, dan lain-lain yang dapat menunjukkan alasan jeda karir yang diambil.
Perlu diingat bahwa persyaratan, deadline, dan proses pendaftaran DAAD EPOS dapat sangat berbeda untuk setiap jurusan dan program studinya. Selalu cek buku panduan DAAD dan website setiap program studi. DAAD Indonesia juga menyediakan jam konsultasi yang bisa dimanfaatkan untuk bertanya terkait proses pendaftaran beasiswa EPOS.
Kehidupan sebagai Mahasiswa di Jerman
Saya mendapatkan beasiswa EPOS untuk melanjutkan studi magister di bidang International Health di University of Heidelberg, universitas publik tertua di Jerman. Heidelberg merupakan sebuah kota kecil di wilayah selatan Jerman yang memang terkenal sebagai kota pelajar. Secara umum, populasi di Heidelberg sangatlah muda dan multikultur, sehingga kemampuan bahasa Jerman tidak terlalu dibutuhkan di kota ini. Saya sendiri tidak memiliki kemampuan bahasa Jerman sebelum berangkat dan hanya menyelesaikan hingga level A1 saat kursus bahasa wajib setibanya di Jerman.
Perkuliahan saya selama satu tahun terbagi menjadi 3 modul: core course, elective course dan thesis. Core module berlangsung dari bulan September hingga Desember, elective course dari Januari hingga Mei, serta thesis di bulan Juni-Juli. Selain thesis, terdapat oral exam di bulan September yang menjadi salah satu komponen penentu kelulusan. Program saya sebetulnya tergolong cepat untuk studi S2 di Jerman karena mayoritas bidang lainnya membutuhkan waktu hingga dua tahun.
Selama berkuliah di Jerman, saya melihat bahwa support pemerintah terhadap pendidikan sangat besar. Hal ini tercermin dari biaya perkuliahan yang murah, meskipun umumnya program studi berbahasa Inggris lebih mahal. Selain itu, kesejahteraan mahasiswa juga sangat diperhatikan. Terdapat pemisahan peran di tingkat universitas: kampus berfokus pada riset dan pengajaran, sementara Studierenwerk berfokus pada fasilitas pendukung kebutuhan mahasiswa. Fasilitas seperti asrama, kantin, hingga bantuan psikologis disubsidi oleh pemerintah sehingga bisa sangat murah dibandingkan harga normal diluar kampus.
Berkuliah di Jerman juga membuat saya berpikir ulang terhadap akses pada ahli dan lembaga internasional. Tidak bisa dipungkiri, pada dunia sains maupun pembangunan, terdapat ketimpangan antara the global north dan global south. Banyak sekali ahli maupun organisasi internasional yang menentukan kebijakan global berdomisili di Eropa. Saat berkuliah di Jerman, otomatis akses terhadap berbagai ahli dan organisasi internasional ini pun terbuka. Melalui proses pertukaran pengetahuan yang terjadi di ruang-ruang kelas, saya menyadari pada dasarnya kemampuan kita dengan negara lain sebetulnya setara. Namun, ketimpangan akses dan kekuasaan membuat negara kita seringkali merasa inferior. Saya berharap melalui kesadaran ini, gap yang ada bisa terurai perlahan.
Berkuliah di Jerman tentu memiliki tantangannya tersendiri. Meskipun kuliah dapat dilakukan dalam bahasa Inggris, banyak peluang kerja dan kesempatan yang hanya bisa diakses apabila kita bisa berbahasa Jerman. Selain itu, birokrasi yang rumit karena proses yang masih sangat berbasis kertas dan lamanya daftar tunggu untuk mengurus izin tinggal sudah sering dikeluhkan oleh mahasiswa asing. Belum lagi sulitnya untuk berbaur dengan penduduk lokal dan rasa kesepian yang tak terhindarkan saat jauh dari support system di negara asal.
Ketika memutuskan untuk kuliah ke luar negeri, tentu tantangan-tantangan ini menjadi satu kesatuan dari pengalaman yang harus kita terima. Pada sesi orientasi pre-departure yang diberikan DAAD Indonesia, salah satu narasumber pernah berkata: “Education doesn’t just make us smarter. It makes us whole.” Saya mengamini hal tersebut. Perjalanan mendapatkan pendidikan di luar negeri bukan hanya tentang ilmu yang dibawa, tetapi juga pengalaman hidup yang membentuk satu kesatuan kita sebagai manusia.
Disclaimer: informasi yang dituliskan adalah pengalaman pribadi dan tidak bisa dijadikan sebagai rujukan resmi. Silakan mengunjungi website DAAD Indonesia untuk mengetahui informasi terkini terkait beasiswa DAAD EPOS.