Apakah teman-teman berkeinginan untuk membangun kehidupan di luar negeri? Mungkin pengalaman Iwan dan Chintya bisa menjadi inspirasi. Iwan dan Chintya memulai petualangan dengan visa student dan WHV (Working Holiday Visa). Saat ini keduanya tengah menunggu proses visa PR (Permanent Resident).
Bekerja dan menjadi self-funded student
Kisah Iwan dan Chintya bermula saat Iwan memutuskan untuk mengambil studi dengan biaya sendiri dan bekerja di Australia pada tahun 2015. Setelah beberapa lama mengecapi kehidupan di Australia tepatnya di kota Melbourne, Iwan yang saat itu merupakan teman dekat Chintya pulang ke Indonesia.
Dalam masa kepulangan itu, Iwan berbagi cerita tentang kehidupannya di Australia. Iwan tidak hanya bekerja di Australia, tetapi juga belajar di Crown College Melbourne di jurusan Cookery. Awalnya, Iwan bekerja di sebuah restoran Jepang selama tiga bulan, kemudian ia dpromosikan menjadi manager di restoran berbeda. Mendengar kisah tersebut, Chintya pun terinspirasi untuk mengikuti jejak Iwan untuk bekerja di negeri kangguru sebab gaji yang diperoleh disana lebih tinggi dari pada di dalam negeri.
Akhirnya, tertarik dengan kehidupan di Australia, Chintya meminta restu orangtuanya untuk menyiapkan diri mengikuti program WHV. Berbekal ijin orangtuanya, Chintya mulai belajar IELTS dan mendaftarkan diri untuk memperoleh visa. Ia juga harus terbang ke Jakarta untuk mengurus Visa. Ia pun harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal untuk semua proses yang di tempuh. Namun Chintya mengaku semua perjuangan dan pengorbanannya terbayar setelah ia berhasil mendarat di bandara Tullamarine, Melbourne Australia. Chintya memulai kehidupan dan pengalaman baru dan baginya hal ini sangat luar biasa, sebab sebagai anak tunggal ini adalah perjalanan merantau pertama dan terjauh selama hidupnya. Chintya sangat bersyukur dengan motivasi dari orangtuanya. Dengan bahagia ia berujar ‘Thanks to Mama, bener-benar sudah menjadi motivasi terbesar buat berangkat WHV’
Perjuangan mencari pekerjaan
Usaha memperoleh pekerjaan bagi Chintya tidak semulus Iwan. Di awal masa ketibaannya di Australia, Ia sempat tidak memiliki pekerjaan selama tiga minggu, sampai akhirnya ia diterima bekerja di sebuah restoran Indonesia di Melbourne. Bahkan, ia sempat mengalami beberapa pengalaman kurang menyenangkan. Pertama, ia sempat kehilangan tas beserta isinya termasuk passport di pusat kota Melbourne. Chintya terpaksa mengurus kembali ke KJRI dengan meminjam uang temannya. Kedua, ia sempat menerima perlakuan kurang menyenangkan dari orang asing di sana karena ia berkerudung. Menurut Chintya, hal ini sudah tidak terjadi lagi, seiring banyaknya muslim di Australia.
Meski sulit mendapat pekerjaan di awal, Chintya sempat melakoni dua pekerjaan di dua tempat berbeda. Ia menghabiskan hari-harinya untuk bekerja. Hal ini biasa dilakukan anak anak WHV, karena waktu bekerja yang berbeda sehingga memungkinkan untuk memperoleh lebih dari satu pekerjaan dalam seminggu. Satu pekerjaan di pagi hari dan satu lagi di siang atau malam hari.
Visa WHV hanya berlaku satu tahun, maka untuk tahun kedua Chintya bekerja di Alicesprings, sebuah kota di utara Australia. Ia harus mendapatkan bukti pembayaran gaji selama 88 hari bekerja di utara sebagai syarat visa tahun kedua WHV nya. Di Alicesprings, Chintya bekerja di bagian houskeeping dan laundry hotel. Bekerja di bagian utara sering menjadi hal menantang bagi anak WHV sebab kotanya jauh lebih sepi daripada kota besar lainnya di Australia dengan cuaca yang jauh lebih panas. Tetapi Chintya yang awalnya anak manja, bisa melewati perjuangan berat ini demi tujuannya memperoleh Visa. Chintya kembali bekerja di restoran Melbourne sampai akhirnya ia mendapat tawaran di Brisbane dengan visa tahun keduanya.
Beradaptasi dengan berbagai situasi
Meski menjalani studi dan bekerja sebagai manager restoran di Melbourne cukup menenangkan secara finansial, Iwan harus menghadapi berbagai hal tak terduga. Ketika apa yg Iwan rencanakan tidak dapat di eksekusi, ia harus beradaptasi dengan situasi.
Jika Iwan menyelesaikan studi Cookery, maka ia harus bekerja sebagai chef atau cook. Tetapi setelah menyelesaikan certificate IV, Iwan harus pindah ke kota lain karena mendapat tawaran sebagai manager di restoran yang sama namun di kota berbeda. Restaurant tempat Iwan bekerja membuka cabang baru di Brisbane, Queensland. Sehingga Iwan pun pindah bekerja.
Namun, restoran tempat Iwan bekerja tak bisa memberinya sponshorship sebagai pekerja fulltime. Iwan kemudian memutuskan pindah bekerja ke restoran Indonesia di Brisbane sekaligus pindah sekolah dengan jurusan yang mendukung situasinya saat itu. Iwan memilih studi Leadership and Management dan menyelesaikan studi hingga diploma. Hal ini untuk kepentingan pekerjaannya sebagai manager. Kesesuaian antara keahlian dengan bidang pekerjaan sangatlah penting. Dengan demikian, Iwan bisa mendaftar Visa sponsorship sebagai manager restoran.
Pernikahan dan Ujian Covid-19
Setelah perjuangan pindah ke kota yang baru, Iwan akhirnya memantapkan hati meminang Chintya. Mereka melaksanakan pernikahan di kampung halamannya, di kota Padang. Setelah itu mereka kembali ke Australia sebagai suami istri. Setelah menikah keduanya masih sama sama bekerja di Australia.
Namun hal indah tak berlangsung lama, ketika hamil, Chintya memutuskan pulang kampung karena ingin membersamai orangtuanya. Dalam masanya di Indonesia, terjadilah badai Covid-19 yang memaksa Australia menutup border, sehingga Iwan dan Chintya harus berpisah lebih lama. Hal ini tentu tidak mudah bagi keduanya, tetapi mereka tidak memiliki pilihan.
Setelah border Australia dibuka, Iwan akhirnya bisa memboyong Chintya kembali ke Australia sekaligus bersama buah hatinya dengan Visa sponsorship.
Tips bekerja di Luar negeri
Iwan menjelaskan bahwa konsistensi dalam bekerja sangat penting. Untuk memperoleh pekerjaan yang diinginkan dibutuhkan ketekunan mencari informasi. “Buatlah perencanaan yang baik, ada Plan A dan Plan B, sehingga ketika terjadi sesuatu di luar kendali, kita tidak stuck. Sejatinya banyak peluang dan kesempatan bekerja di luar negeri, tetapi kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkannya” kata Iwan.
Saat ditanya tentang kesulitan bekerja di luar negeri, Iwan memberi jawaban yang mungkin dapat ditiru.
“Setiap pekerjaan tentu ada risiko dan hal yang di luar prediksi kita, yang mana disuatu tempat pekerjaan ada banyak kepala nya. Apalagi tidak di negara asal kita sendiri, kultur yang berbeda, bahasa yang berbeda dan juga peraturan yang berbeda.
“Untuk pribadi saya kebetulan tidak merasa sulit karena saya orang yang sudah biasa bekerja dari remaja. Dan saya selalu membentuk attitude kerja saya yang tidak terlalu sensitif dengan hal sekitar dan tidak membebani diri saya sendiri selagi saya bisa menyelesaikan pekerjaan itu dan sesuai tanggung jawab saya.”
Saat ini Iwan dan Chintya masih berstatus TR (temporary resident) dengan sponsorship. Jika tak ada kendala, tahun ini mereka sudah memenuhi syarat untuk memperoleh Permanent Resident (PR).
Editor: Rili | Indonesia Mengglobal