Bersih dari jam analog, apartmenku merupakan ruangan steril, dengan pengecualian tanggalan yang bertengger di meja serbaguna. Hampir tiga tahun telah berlalu sejak kutinggalkan SMA Santa Laurensia, sekolah Katolik di Tangerang yang merupakan rumah keduaku selama 14 tahun lamanya. Hampir tiga tahun telah berlalu sejak kubawa kebanyakan harta bendaku ke New York City. Hampir tiga tahun telah berlalu sejak kupergi dari tanah air untuk menimba ilmu yang diharapkan akan berguna di negeri Indonesia suatu hari nanti.
Pada akhir freshman year atau tahun pertama di Sarah Lawrence, tempatku berkuliah, hidup dan berkarya, kuingat wajah pucat beberapa kakak kelas yang akan lulus pada tahun itu. Tidak terasa musim dingin telah menjadi musim semi. “Oh my gosh, we’re graduating in less than a hundred days?” salah satu dari mereka berteriak sambil menggenggam smart phonenya. “Calm down,” kata dosen mata kuliah Statistik yang tidak sabar memulai kelas pada pagi hari itu. Sebagai siswa pemula, aku tidak mengerti mengapa kakak-kakak itu nampak sangat panik. Bukankah wisuda suatu waktu emas yang dinanti-nanti kebanyakan mahasiswa, baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat?
Beberapa hari kemudian aku bertanya pada don atau faculty advisor-ku yang tertawa terbahak-bahak. “First of all, the first question you ever asked me was how to graduate as fast as possible. Before you even completely stepped into the door, you were already prepared to get out,” beliau mulai berbicara, “Second, it’s called ‘senioritis’.”
Senioritis adalah sebuah kosa kata slang yang sering diartikan sebagai suatu perasaan tidak pasti akan masa depan. Senior dipilih karena kondisi lebih banyak dialami oleh mahasiswa/i yang hampir wisuda. –itis adalah akhiran kata yang berarti inflamasi dan sering digunakan untuk menggambarkan sebuah penyakit. Gejala senioritis nampak dalam bentuk kegelisahaan karena berakhirnya masa kuliah dan juga tibanya saat untuk mandiri bagi kebanyakan orang, terutama mereka yang tidak akan lanjut sekolah. Setahuku, senioritis bisa didapati di SMA dan juga di universitas, tetapi masalah ini jauh lebih kentara dalam kultur kontemporer Amerika Serikat, dibanding Indonesia.
Terjun ke dalam dunia profesional adalah salah satu sebab senioritis. Setelah krisis ekonomi global pada tahun 2008 serta beberapa insiden finansial lainnya, lapangan pekerjaan di Amerika Serikat serta Inggris dan Australia menjadi sangat terbatas. Banyak mahasiswa baru lulus atau fresh graduate yang mengalami kesulitan mendapat pekerjaan. Sebagai penduduk asing, setiap warga negara Indonesia (WNI) yang ingin bekerja di luar tanah air membutuhkan visa yang diberikan oleh perusahaan atau organisasi dimana orang tersebut bekerja. Sebagai contoh, sebagai bagian Optional Practical Training, mahasiswa yang bersekolah di AS memiliki waktu satu tahun untuk mencari kerja dan sponsor visa kerja. Pada akhir masa percobaan, banyak siswa yang memilih untuk lanjut kuliah, mencari pekerjaan di negara lain, atau kembali ke Indonesia.
Seperti yang telah kukatakan, hampir tiga tahun telah berlalu sejak aku memulai masa kuliah di Amerika. Dalam jangka waktu itu aku telah mengambil beberapa kelas, menjalin pertemanan yang erat, serta mengumpulkan berbagai pengalaman berharga. Tetapi, berdasarkan salah satu artikel awal di IM, aku telah menghabiskan waktuku berusaha untuk mengakhiri sekolah lebih awal, agar dapat mengejar impian lain, baik secara profesional, akademis, maupun pribadi.
Terus terang, kulewati bulan-bulan terakhir ini bebas dari “penyakit” senioritis. Aku tidak merasa gatel untuk kembali ke tempat-tempat tertentu dimana aku telah meninggalkan jejak dan menanam kenangan. Tetapi, kultur ini telah menangkapku. Saat bulan Maret tiba-tiba datang, mengetuk pada pintu apartmenku, aku mulai merasakah kegelisahan yang nampak pada kakak-kakak yang sekarang sudah lepas di “dunia nyata” yang penuh dengan tanggung jawab, obligasi dan pekerjaan. Sebuah dunia yang mempertanyakan kemandirian diri kami.
Beberapa minggu lalu, kudapati sebuat email yang menyampaikan bahwa wisuda tinggal seratus hari lagi. Suatu hari yang kurindukan sejak awal masa kuliahku, akan tiba dalam waktu singkat. Memang benar, time flies. Ku-elus dada, merasa lega karena aku memiliki tujuan, suatu hal yang belum tentu menemani mayoritas teman satu angkatan lainnya. Setelah lulus, aku akan terus menimba ilmu di sekolah bergelar S2. Dengan melanjutkan kuliah, kubeli waktu untuk mengembangkan pengetahuan, mengumpulkan pengalaman, serta berkeliling dunia. Aku belum perlu masuk ke dunia karir yang penuh cerita horor yang dianggap mistis.
Tapi, kurasa, senioritis yang kurasakan adalah catatan alam bawah sadar untuk menikmati hari-hari terakhir di Sarah Lawrence, New York City, dan Amerika Serikat. Mungkin ada baiknya untuk memasang jam analog yang bersuara tiap kali jarum panjang bergerak, mengingatkan begitu cepatnya waktu berlalu. Ada banyak tempat yang belum kukunjungi, ada banyak orang yang belum kutemui. Mudah-mudahan mimpi jangka pendek ini bisa kuraih dalam waktu singkat.
The featured photo was supplied by the author.