“Where are you from?” pertanyaan ini dilontarkan kepada saya. Sekali, dua kali, tiga kali, sepuluh kali, hingga tak terhitung lagi oleh jemari.
“Indonesia. Indonesia. Indonesia.” Sampai kapan pun saya akan selalu menjawab Indonesia. Kemudian di benak mereka, pertanyaan ini menggentayangi, “Di mana Indonesia?” Tidak peduli apa kebangsaan mereka, kebanyakan dari mereka menunjukkan respon demikian setelah saya menyebut “Indonesia”, entah mereka melontarkannya secara langsung atau roman wajah mereka menunjukkan bahwa mereka minim ide tentang di mana Indonesia itu sambil memendam pertanyaan itu di dalam hati.
Sebelum saya menjelaskan cerita lebih lanjut tentang di mana Indonesia menurut mereka, saya akan bercerita tentang di mana saya berada sekarang. 14.400 km, kurang lebih jarak yang ditempuh dari Jakarta ke kota di mana saya tinggal sekarang, di Aarhus, kota terbesar kedua di Denmark. Baru tiga bulan saya tinggal di kota ini, untuk mengenyam pendidikan S-2 di Aarhus University, dan dalam tiga bulan saya menghabiskan waktu di negara ini maupun di beberapa negara di Eropa yang saya kunjungi ketika traveling, sangat banyak penduduk lokal maupun internasional yang “penasaran” dengan saya.
Yang jelas, dari wajah saya sangat tercermin bahwa saya orang Asia. Akan tetapi, sayangnya kebanyakan dari orang-orang Eropa mengasosiasikan bahwa Asia berarti Jepang, China, dan sushi. Mungkin jika saya beruntung dan bertemu dengan orang Eropa yang pernah ke Asia, entah itu hanya Cina, Korea, Vietnam, atau Thailand, hati saya bisa cukup lega mengetahui bahwa mereka tahu di mana letak Indonesia, yang kemungkinan karena mereka sempat melihatnya di peta ketika mereka merencanakan Asian trip beberapa waktu yang lalu. Namun, belum tentu juga mereka yang pernah ke Asia tahu di mana letak Indonesia dan apa ibukota Indonesia. Salah seorang teman internasional saya yang European pernah bertanya kepada saya, “Indonesia, is it Manila for the capital?” Padahal teman saya ini termasuk traveler sejati dan pernah ke Vietnam. Tapi mungkin saja dia lupa, atau ada faktor lain yang saya tidak tahu itu apa.
Masih banyak pertanyaan-pertanyaan lucu lainnya seperti, “Is Indonesia small? Is it bigger than Denmark?” “Do you write these characters? (sambil menunjuk Chinese letters)” Dan tentu saja semua pertanyaan tersebut saya jawab sejujurnya, “Indonesian capital is Jakarta.” “Indonesia is big, we have more than 17 thousand islands.” “No, in Indonesia we use the same Alphabets, Chinese letters are for China, Kanji is for Japanese.”
Tetapi tidak semua orang lokal maupun penduduk internasional yang saya temui buta tentang Indonesia untungnya. Saya menemukan ada teman sekelas saya, orang Denmark yang pernah menghabiskan 7 tahun di Jakarta karena orang tuanya bekerja di sana, dan ia bisa berbahasa Indonesia. Ada juga teman satu kampus saya yang ketika kecil dia pernah ke Indonesia, dan sangat menikmati kunjungannya ke Candi Borobudur, dan ajaibnya ia masih bisa berhitung dari 1 hingga 10 menggunakan bahasa Indonesia. Ada pula suatu malam ketika saya menonton bioskop dengan teman-teman saya orang Indonesia di sini dan tentu saja di antara kami saat itu berbicara satu sama lain dengan bahasa Indonesia, kemudi
Atau ada pula beberapa orang yang ketika saya menjawab bahwa saya dari Indonesia, kemudian mereka bertanya, “Indonesia is the biggest Muslim country in the world, right?” Jawaban saya iya. Tetapi mereka kebanyakan menyangka bahwa di Indonesia menganut hukum Islam, hanya karena berita yang mereka baca Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Tentu saja saya kembali meluruskan hal itu dan menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara republik yang menganut asas demokrasi dengan kebebasan memeluk agama di dalamnya, dan di negara kami tidak menganut hukum Shariah Islam seperti di negara-negara Arab (meskipun setelah saja jelaskan nampaknya mereka masih belum terlalu mengerti).an seorang wanita berambut pirang tiba-tiba menghampiri saya dan bertanya, “Excuse me, are you from Indonesia?” Kemudian saya sedikit terperanjat kaget, dalam hati saya bertanya-tanya, “Bagaimana cewek bule ini bisa tahu saya dari mana?” Setelah saya mengiyakan, ia kemudian berkata bahwa dia pernah ke Indonesia selama 6 bulan dan dari mendengar percakapan kami para mahasiswa Indonesia, ia seperti mengenali bahasanya, tetapi kami berbicara terlalu cepat, jadi ia memastikan kembali.
Saya kuliah di Denmark ini kebetulan mendapatkan beasiswa dari universitas saya, Aarhus University. Yang menarik dari beasiswa ini adalah karena beasiswa ini diperuntukkan untuk mahasiswa dari Indonesia dan Cina saja. Pada saat saya mendaftar di awal 2014 di kampus ini, yang saya amati di website kampus saat itu tidak ada beasiswa lain yang ditawarkan untuk program Full Degree Master, meskipun untuk tahun mendatang mereka membuka kesempatan beasiswa jenis lainnya untuk warga negara lain. Wow, berarti Indonesia cukup diperhitungkan juga ya? Sampai diberi jatah khusus seperti ini. Tentu saja iya, dan barangkali Denmark melihat potensi negara Indonesia dan SDM-nya yang sangat berkembang dan kompetitif. Atau mungkin ada tujuan berbau kerjasama ekonomi di balik itu antara Denmark dan Indonesia ke depannya saya belum menemukan jawaban konkritnya.
Ada hal menarik lagi yang saya temukan hari ini. Mengetahui bahwa sepertinya banyak orang di Denmark yang tidak tahu tentang Indonesia, saya cukup terkejut mendapati poster Career Centre di kampus saya menggunakan kata “Selamat Datang” di Headline bersanding dengan bahasa-bahasa lain seperti “Welcome” “Willkommen” dan lain sebagainya. Dan kata “Selamat Datang” diletakkan di posisi kedua. Padahal setahu saya di kampus saya berada jumlah mahasiswa Indonesia tidak banyak, tetapi mereka cukup “menyambut” kami, Indonesian students. Saya cukup senang mengetahui hal tersebut.
Sejujurnya sebelum saya datang ke Denmark saya belum pernah ke Eropa sama sekali. Jika saya pergi traveling ke luar negeri, destinasinya baru sebatas Asia saja. Dan meskipun di Indonesia saya pernah bekerja di multinational company dengan atasan expats dan saya bergaul dengan beberapa expats juga sebagai teman saya, saya cukup khawatir menjelang keberangkatan saya ke Denmark. Saya khawatir apa persepsi para bule (European) terhadap orang Asia dan Indonesia. Apakah mereka akan menganggap kami nerd atau geek? Konyol memang prasangka saya, mungkin karena saya kebanyakan menonton film-film Amerika yang selalu menggambarkan kalau orang Asia itu kutu buku, tidak gaul, dan hanya sebagai pemeran pembantu. Sampai-sampai sebelum saya berangkat saya mengajak salah satu teman saya yang Indonesian tapi bahasa Indonesianya tidak lancar karena dia lama tinggal di Australia, Singapura, dan US untuk sesi curhat. Sarannya simpel, di manapun kita berada, dan apapun kebangsaan orang, selalu saja ada yang ramah ada yang tidak. Dan apa yang ada di benak kita tentang suatu hal, hal itulah yang akan terjadi. Jadi misalnya kita berpikir kalau para bule menganggap Asian itu nerd, ya itulah yang akan terjadi, kita akan menganggap diri kita sendiri nerd. Jadi sebaiknya have fun saja, berpikir positif, dan in case terjadi sesuatu, pulang saja ke Indonesia, tidak akan ada yang menyalahkan. Begitu kata teman saya.
Saat ini saya tergabung dalam grup mahasiswa yang menjadi volunteer untuk Faculty of Business and Social Sciences, Aarhus University dalam mempromosikan kampus kami. Grup kami bernama BSS Students to Students dan di dalam grup ini berisi beberapa mahasiswa internasional dari beberapa negara. Kebetulan saya mewakili Indonesia dan saya akan menjawab segala pertanyaan calon mahasiswa baru di Aarhus University terkait perkuliahan dan juga bagaimana belajar dan tinggal di Denmark. Tentu saja kamu yang membaca artikel ini juga bisa bertanya pada saya http://bss.au.dk/education/international-students/international-full-degree-students/student-to-student-ask-a-student/indonesia/
Terlepas dari banyak Europeans yang tidak tahu “Di Mana Indonesia” dan mengira kalau saya adalah Chinese atau random Asian yang makan menggunakan sumpit, di antara mereka juga banyak yang ramah atau tahu mengenai Indonesia seperti saya ceritakan di atas. Tetapi seandainya mereka belum tahu tentang Indonesia, tidak ada salahnya dan jangan bosan untuk menjelaskan pesona negara kita. Katakan kepada mereka bahwa negara kita memiliki banyak potensi dari SDM maupun pariwisata. Biasanya hal pertama yang saya katakan adalah di Jakarta penduduknya ada sekitar 14 juta orang dan di Jakarta ada banyak gedung-gedung menjulang tinggi (penduduk di Denmark hanya sekitar 5 juta orang – jadi mereka pasti akan terkagum-kagum). Kemudian hal lain yang saya ceritakan adalah tentang kampong halaman saya, Yogyakarta. Bahwa rumah saya hanya 40 menit dari Candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur. Dan jangan kira semua European tahu Borobudur, karena kebanyakan tidak. Hal ketiga yang saya elu-elukan adalah Bali. Dan kebanyakan dari European tahu tentang Bali, karena Bali adalah destinasi wisata yang sangat populer. Bahkan saya sempat terkejut melihat di salah satu toko buku di bandara Copenhagen memajang Lonely Planet Bali di etalase depan toko yang sangat terlihat.
Saya tidak tahu bagaimana media memberitakan dan bercerita tentang Indonesia di Eropa atau di negara lain, tetapi saya heran juga kenapa setiap kali saya menonton berita di TV lokal Denmark, cerita yang mereka bawa mengenai Indonesia selalu buruk. Yang pertama, saya menonton berita tentang kapal Indonesia dan beberapa nelayan Indonesia yang nyasar ke perairan Australia. Kedua, saya melihat acara documenter tentang bagaimana penjara Indonesia memperlakukan prisoner asing di era lampau (mungkin sekitar tahun 80an). Tetapi mungkin saja ada berita menggembirakan mengenai Indonesia yang disiarkan di sini yang saya tidak pernah lihat. Bagaimana pun cerita dunia tentang Indonesia, kita bisa merubahnya, dan ini tidaklah susah, tetapi hanya memakan waktu yang tidaklah instan. Tunjukkan bahwa kita orang Indonesia berprestasi dan berwawasan luas, ceritakan hal-hal membanggakan dan tempat-tempat indah di Indonesia, bertemanlah dengan banyak orang internasional dan jadilah pribadi yang menyenangkan. Sesimpel memasak bersama dan menunjukkan bahwa masakan Indonesia sangatlah lezat atau jika kamu suka party, tunjukkan bahwa kita orang Indonesia jago dan asik untuk dance on the dance floor. Kebetulan saya cukup jago masak setelah pindah ke sini dan orang-orang yang mencicipi masakan saya selalu bilang enak, dan kebetulan saya cukup jago dan energetic untuk meramaikan dance floor. Mungkin beberapa cara saya bisa dicoba untuk menunjukkan bahwa kita orang Indonesia bukanlah dari negara antah berantah yang cupu. Yang jelas kalau mereka tidak tahu “Di Mana Indonesia” mereka lebih cupu. Mudah bukan?
Hahaha, european bahkan gak bisa membedakan mana orang India, China, Jepang, Indonesia. Dulu saya mengalaminya di Toulouse dan lucunya kalau saya masuk ke toko vietnam pemilik tokonya nanya apa saya orang vietnam, ke rumah makan jepang pemiliknya nanya apa saya Jepang. Kadang kita juga disangka orang Madagaskar !!
Hi Ethenia,
Aku juga baru aja dapet acceptance letter dan scholarship dari Aarhus. Jurusannya sama persis lagi, Corporate Communications 🙂
Can we e-te-talk maybe by facebook messenger or something?
mba citra, dan mba ethenia, boleh minta link untuk dapetin LOA di Aarhus? pake agen kah? thanks
Hi Mas Mairestu, nggak pake agen kok. Daftar langsung aja ke Aarhus University, dokumen yang diperlukan juga nggak ribet 🙂
Typo. I mean e-talk hehe
Halo kak Ethenia, kalo daftar ke Aarhus University lewat beasiswa lpdp apa sama dengan apply langsung ke universitasnya? Kalo boleh tau biasanya kuota untuk mahasiswa Indonesia yg diterima disana berapa ya kak? hehe penasaran mau coba apply ke Aarhus