Pada bulan Desember tahun lalu, saya berkesempatan untuk melakukan road trip selama sembilan hari ke empat negara bagian di Amerika Serikat (North Carolina, South Carolina, Georgia, dan Florida) serta melintasi belasan kota di antaranya. Ada kalimat bijak yang bilang ‘Sometimes it doesn’t matter where you go, but it matters who’s with you while you’re getting there’.
Bagi saya, road trip pada masa libur kuliah itu mengajarkan banyak hal tentang international friendship. It does matter where you go, especially when you go with the right people. Teman-teman road trip saat itu adalah Lima dari India, Mohammed dari Sudan, dan Manal dari Palestina. Menempuh ribuan kilometer dengan sebuah mobil bersama, rasanya kami—yang berasal dari empat negara berbeda—tak pernah menyadari sebelumnya bahwa ini akan menjadi perjalanan yang menyatukan kami berempat sebagai sahabat.
Traveling will show you everything about the person who is with you. Kata orang, kepribadian seseorang yang paling sebenarnya akan keluar ketika kita melakukan perjalanan bersama. Selama sembilan hari berkeliling pantai timur Amerika, kami belajar tentang satu sama lain lewat persamaan dan perbedaan: bagaimana memilih lokasi yang ingin dikunjungi, merencanakan perjalanan keesokan hari, berbelanja di Supermarket dan memasak di tempat AirBnB karena kami tak selalu bisa makan di restoran, Carpool karaoke sepanjang perjalanan, sampai tersesat karena Google Maps kadang juga tak akurat. Dalam perjalanan itu, kami saling menyelami personality masing-masing dan saling berbagi pengalaman hidup yang pada akhirnya mempertemukan kami di kampus Duke University.
Sepulang dari road trip, kami menjadi lebih dekat. We became what people call ‘4 am friends’. There was not a single day that went by that I didn’t talk with them. Pada semester baru setelah Winter Break, hampir setiap hari kami bertemu. Mulai dari mengerjakan tugas bersama di Perkins Library, makan siang atau makan malam di Broadhead Center, menonton pertandingan basket di Cameroon Stadium, atau memasak di salah satu apartemen tempat kami tinggal. What is more fun is that, we have this strong bond between four of us, yet we also build strong friendships with everybody in our cohort. Dalam beberapa kesempatan kami juga mengundang teman-teman datang ke apartemen dari salah satu dari kami berempat. Hidup di lingkungan persahabatan yang inklusif seperti ini adalah pengalaman yang sangat berharga.
Di samping itu, international friendship sangat penting untuk menjaga mental health di tengah tuntutan akademik yang tinggi. Menempuh studi di luar negeri, apalagi jika itu baru pertama kali, dapat menjadi pengalaman yang sangat berat. Keberadaan teman-teman seperti ini adalah support system yang penting. Mereka menggantikan peran keluarga dan teman-teman di rumah yang jauh. Good friends are a blessing, a treasure, and a true gift. They provide emotional support as you can share your ups and downs with them, independently from your family and friends back home.
Berada dalam sebuah lingkaran pergaulan internasional juga akan membuat kita menjadi lebih open minded dan memiliki perspektif yang luas dalam memandang perbedaan dan keberagaman. When people of different nationalities, religions, and cultures learn to respect and appreciate one another, it will be a big step towards promoting peace and tolerance.
Ada rangkaian kalimat bijak lain yang mengatakan:
“Become friends with people who aren’t your age. Hang out with people whose first language isn’t the same as yours. Get to know someone who doesn’t come from your social class. This is how you see the world. This is how you grow.”
I couldn’t agree more with those wise words. Pengalaman studi di luar negeri bukan hanya tentang menambah ilmu dan skills yang bersifat teknis, tetapi juga pelajaran hidup lewat berbagai interaksi dengan beragam orang yang kita temui.
Perjalanan road trip melintasi kota-kota indah di Amerika Serikat seperti Savannah, Charleston, dan West Palm Beach di empat negara bagian pada bulan Desember tepat setahun lalu adalah pengalaman tak terlupakan dan penuh pembelajaran bagi kami berempat. Setahun kemudian, kami merayakan memori tentang perjalanan itu, meski sudah tinggal di empat kota dan tiga negara berbeda. Though we don’t see each other everyday anymore, we keep our great memories in the same place, in our hearts. Forever.