Bagi yang sempat mengenyam pendidikan di Amerika Serikat (AS), apakah di level S1, S2, atau S3, tentu merasa senang dan beruntung, karena telah mendapat kesempatan untuk menghadapi lingkungan akademis dan budaya yang berbeda dengan yang ada di Indonesia. Perbedaan ini tentunya merupakan tantangan yang tidak ringan. Namun, bila dimanfaatkan dengan baik, lingkungan akademis dan budaya yang sangat berbeda ini dapat dijadikan aset keunggulan yang penting.
Selain sebagai negara adikuasa di dunia, AS adalah negara inovator. Di tahun 2011 saja misalnya, 51,6% dari 115.879 paten yang terdaftar di WIPO (World Intellectual Property), berasal dari para penemu di AS. Jadi, lebih dari separuh penemuan yang ada di dunia ini berasal dari AS. Penemuan-penemuan ini merupakan motor kegiatan ekonomi dan pendorong berbagai perubahan. Semangat berinovasi ini didorong oleh kepastian dan perlindungan hukum yang memadai. Imbalan hasil dari penemuan yang mengacu kepada pasar, memberikan peluang yang tak terbatas bagi individu yang kreatif untuk terus melakukan inovasi. Inovasi terbuka untuk siapa saja dengan latar belakang yang berbeda-beda. Fluiditas sistem masyarakat inovator ini memungkinkan munculnya banyak self-made millionaire dan billionaire, seperti Mark Zuckerberg, Steve Jobs, Bill Gates, Kevin Plank, atau Sara Blakely.
Universitas di AS berfungsi penting dan merupakan salah satu penggerak roda ekonomi. Budaya kampus dengan kebebasan berkreasi merupakan tempat yang sangat menarik. Sebagai professor di salah satu universitas di AS, bisa dirasakan mengapa banyak universitas di AS menjadi universitas terkemuka di dunia. Pengalaman selama membimbing Permias (Perhimpunan mahasiswa di Amerika Serikat) juga mengingatkan kalau mahasiswa asal Indonesia tidak kalah kepandaiannya dengan mahasiswa yang lain. Namun, keberanian dalam berdiskusi dan kemauan untuk berinteraksi dengan masyarakat Amerika memang masih menjadi kendala.
Keterbukaan dan kebebasan berfikir sangat dihargai di AS. Semangat semacam ini merupakan ciri dasar dari masyarakat AS. Amerika Serikat adalah negara imigran. Hukum, pandangan hidup, dan budaya dibangun berdasar semangat dan daya juang masyarakat yang berjiwa imigran. Hal yang baik semacam ini tentunya patut dicontoh. Keterampilan berfikir terbuka dan bebas ini sangat penting bagi siapapun, baik yang akan menetap dan berkarir di AS, atau berencana pulang dan bekerja dan berkarya di Indonesia setelah menyelesaikan sekolahnya.
Sering kali seseorang menganggap dengan mendapatkan gelar dari universitas di AS dengan GPA (Grade Point Average) yang tinggi, maka dengan sendirinya sudah mendapatkan kualitas diri seperti yang dikwalifikasikan oleh universitas tersebut. GPA penting dalam menunjukan kemampuan intelektual. Namun, keterampilan berinteraksi dan berhubungan sosial merupakan dimensi lain dan hal ini merupakan bagian dari paket kelengkapan yang semestinya dimiliki oleh setiap lulusan. Keterampilan berdiskusi dan tukar pendapat merupakan komponen penting untuk menciptakan kultur inovasi yang produktif. Secara gamblang dimensi sosial dan kultur inovasi ini merupakan bagian yang penting dalam membangun universitas kaliber dunia. Dalam bukunya “The Making of Princeton University: From Woodrow Wilson to Present”, James Axtell mendiskripsikan kehebatan Professor Woodrow Wilson dalam mentransformasikan Perguruan Tinggi (Princeton University) yang semula biasa saja menjadi salah satu “Powerhouse”-nya intelektualitas di dunia. Selain ditentukan oleh kemampuan intelektual, fungsi powerhouse ini ditentukan oleh budaya dan perilaku akademisi dan mahasiswanya. Keberhasilan merubah Princeton University menjadi powerhouse intelektualitas selain ditentukan oleh proses penerimaan mahasiswa yang ketat, kurikulum yang handal, juga ditentukan oleh kegiatan ekstra-kurikuler, dengan memperhatikan pelataran “student culture” sebagai prioritas dan selalu disesuaikan dengan tuntutan perubahan waktu. Jelas dalam deskripsi yang diberikan, bahwa interaksi dan keterampilan sosial diperlukan untuk mewujudkan kultur produktif dan inovatif.
Pelataran dimensi “student culture” ini perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin. Oleh sebab itu, selama menjadi mahasiswa sangat penting untuk berinteraksi dengan American students, associates, professors, dan lain-lain. Namun, sebagian besar mahasiswa asal Indonesia kurang memanfaatkan kesempatan ini. Mereka lebih menitikberatkan pada kehadiran di kelas dan belajar sendiri sehingga sebagian besar kegiatan didominasi dengan pergi ke kelas, perpustakaan, dan pulang ke apartemen. Mungkin karena waktu menjadi pelajar di Indonesia tidak terbiasa dengan diskusi terbuka, maka kelemahan yang nampak secara umum adalah lemahnya keterampilan berdiskusi. Diskusi dan interaksi aktif adalah “the fabric of U.S. education system”, dan karenanya perlu dimanfaatkan. Dalam interaksi dan diskusi itu sering ditemukan ide terkini, pemikiran baru, atau pendapat umum.
Bergaul dengan orang Amerika memang tidak mudah dan memerlukan upaya dan keseriusan. Oleh sebab itu, sebagian besar mahasiswa Indonesia meninggalkan peluang ini dan lebih mengkonsentrasikan diri pada pencapaian nilai GPA yang sempurna dan lebih sering hanya berinteraksi dengan sesama mahasiswa Indonesia yang lain. Berkumpul dan saling bantu-membantu sesama warga Indonesia dapat merupakan “safety net”. Namun, pengalaman langsung dalam berinteraksi dengan warga Amerika merupakan suatu keterampilan dan pengalaman yang sangat berharga. Apakah seseorang akan kembali ke Indonesia setelah selesai studinya atau akan menetap di AS, keterampilan sosial ini merupakan salah satu kunci kesuksesan dalam berkarir. Dengan slogan “Indonesia Mengglobal”, seperti logo blog ini – maka keterampilan multi-kultural dan berdiskusi aktif adalah keahlian yang perlu dikuasai. Untuk itu diperlukan tekad yang kuat dan keberanian untuk membuka diri, terjun menyelami “student culture” dalam berbagai aktifitas.
Photo by Lassi Kurkijärvi via flickr
Artikel yg menarik, mas Herry. Sy jd penasaran,
Sebenarnya yg menjadi kendala utama pelajar di negara asing ketika menghadapi lingkungan yg berbeda apa ya? Apakah karena beban akademik yg berat, misalnya karena beasiswa yg mensyaratkan prestasi, shgga menjadi terlalu fokus ke akademik?
Apa karena kendala bahasa, misalnya karena bhs slang yg kadang susah dimengerti, jadi membuat kt minder untuk bergaul dg native? Mgkn sama halnya dengan pelajar asing di Indonesia, karena brdsrkan pengalaman sy, mereka agak kesulitan memahami bhs sehari2 kita yg terkadang bisa sangat berbeda dg bhs baku indo yg mereka pelajari. Terkadang hal seperti ini bisa menjadi kendala walaupun sebenarnya mereka aktif berdiskusi.
Kalau masalah perbedaan culture, pelajar disini jg aktif bergaul dan berdiskusi walaupun mereka punya karakter dan culture berbeda dr daerah msg2, ini kl menurut pengalaman sy kuliah di PT yg mhswany sangat beragam dr berbagai daerah. Yah, mgkn kl sy analogikan seperti itu.
Mas Andria: Terima kasih atas komentarnya
yang sangat bagus.
Belajar di AS atau LN memang
tidak ringan. Selain beban akademik
(tentunya), juga harus mengatasi bahasa dan budaya (atau kebiasaan, pandangan
hidup, tata cara atau sopan santun, dll.; hubungan sosial atau pertemanan). Yang
manakah dari ketiga faktor ini yang paling utama? Jawabannya tentunya, berbeda
dari satu individu ke yang lain. Ada yang berat di akademik, ada yang di
bahasa, ada yang di penyesuaian budaya.
Namuin, setiap orang yang
akan belajar ke LN sangat menyadari akan ke-tiga tantangan yang akan
dihadapinya, dan karenanya dengan sungguh-sungguh akan mempersiapkan diri untuk
mengatasinya (misalnya: dengan belajar lebih giat, menguasai bahasa Ingris atau
bahasa yang lain, dan mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai penyesuaian
budaya).
Faktor ke-empat yang saya
sampaikan dalam tulisan ini adalah memasukan “STUDENT CULTURE” sebagai
tantangan yang juga harus dihadapi. Faktor ini yang oleh sebagian besar orang
tidak dimasukan dalam target yang mesti diatasi. Saya berpendapat, bila hal ini
dimasukan dalam framework pemikiran, maka tidak sedikit dari mahasiswa kita
yang bakal berhasil mengatasi kesemuanya.
Kelulusan ditentukan oleh nilai GPA dan GPA
merupakan ukuran pencapaian akademik yang penting. Maka, tidaklah salah bila seseorang
hanya berkonsentrasi untuk mendapatkan GPA yang sempurna. Perfect GPA memang akan
mengantarkan seseorang ke pintu karir yang dipilihnya. Namun, keterampilan
sosial (leadership yang didapatkan dari “Student Culture”) akan sangat membantu
kesuksesan seseorang dalam berkarir, yaitu setelah memasuki pintu karir yang
dipilihnya. Setidaknya, ini yang sering terjadi di AS. Namun, saya kira demikian pula dengan di
Indonesia.