Hai semua! Kali ini, kita mendapatkan kesempatan untuk mendengarkan cerita dari kontributor kita Harry, yang berkuliah di “Harvard of China”. Penasaran bagaimana caranya hingga Harry dapat berkuliah S2 di China? Yuk, kita baca kisahnya!
***
“Hah? Kuliah di China? No no no, kalau sekedar jalan-jalan sih boleh lah ya. Tapi kalau kuliah, gak mau aku.” Masih teringat dalam benak saya, kalimat yang pernah saya ucapkan kepada teman saya sewaktu kuliah S1 dulu. Namun, semuanya berubah karena “keisengan” saya.
Halo! Nama saya Harry, asal Medan. Saya adalah lulusan Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara pada tahun 2013. Seperti kebanyakan lulusan anak “Sascin”, saya memutuskan menjadi guru Bahasa Mandarin untuk menafkahi diri saya sendiri (tanpa keluarga, saya masih single, cie). Pekerjaan sebagai guru privat saya tekuni mulai dari tahun 2009 hingga saya lulus. Bahkan setelah lulus pun, saya tetap lanjut mengajar karena saya pribadi sudah merasa nyaman dengan pekerjaan ini.
Suatu hari pada tahun 2016, adik saya melihat penawaran pelatihan guru Bahasa Mandarin ke Beijing selama 21 hari. Karena kebetulan saya punya hobi berwisata dan terobsesi dengan segala sesuatu yang berbau murah-murah (adik saya menekankan kalau saya hanya perlu membayar Rp1.000.000,- dan tiket pesawat saja), tentu saja, saya mendaftarkan diri, dengan tujuan tidak lain tidak bukan adalah jalan-jalan “gratis”. ISENG yah! Selama perjalanan pelatihan 21 hari, saya berkenalan dengan teman-teman baru, berkunjung ke tempat baru, dan merasakan pengalaman baru. Sepulangnya dari sana, saya tetiba memiliki sebuah niat, “Kalau bisa kuliah di Beijing, lumayan juga ya?” Perjalanan saya pun dimulai dari sini, dari keisengan, eh, maksud saya, dari sebuah niat.
Lalu, saya pun mulai aktif mencari informasi tentang berbagai beasiswa yang tersedia, mulai dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Chinese Government Scholarship (CGS), Confucius Institute Scholarship (CIS), dan berbagai beasiswa lainnya. Akhirnya, karena jurusan pengajaran Bahasa Mandarin yang ingin saya ambil, pilihan saya jatuh kepada beasiswa CIS karena ruang lingkup yang lebih kecil (dan tentu saja kompetitor yang lebih terbatas, hohoho). Alasan lainnya adalah karena beberapa teman S1 saya sudah ada yang berhasil melanjutkan studi ke Tiongkok dengan beasiswa yang sama, sehingga mencari referensi atau informasi terkait beasiswa akan menjadi lebih mudah.
Setelah menetapkan beasiswa, saya pun mulai memilih universitas. Pilihan saya jatuh kepada 2 universitas: Peking University dan Fudan University. Alasan saya memilih 2 universitas ini adalah: Peking University merupakan salah satu universitas terbaik di seluruh Tiongkok, sementara Fudan University merupakan universitas terbaik di Shanghai. Saat itu memang saya ingin merasakan suasana Shanghai jika tidak berhasil masuk ke Peking University.
Alasannya? Yah… bisa jalan-jalan gratis sambil belajar… Hehehe (iseng lagi ya Pak). Toh saya baru pulang dari Beijing, jika tidak berhasil masuk ke universitas top, kenapa tidak ganti ke universitas terbaik di kota terpadat di Tiongkok, Shanghai? Alasan lainnya memilih kota Beijing dan Shanghai, adalah karena menurut saya, dua kota ini merupakan kota utama di Tiongkok (selain Guangzhou dan Shenzhen). Jadi, selain sekolah, saya memang dari awal sudah menetapkan hati untuk mencari “kesempatan” baru di Tiongkok. Oh ya, ini sebenarnya juga pilihan yang “iseng”, mengingat saya bukan merupakan lulusan universitas ternama di Indonesia, tidak memiliki latar belakang akademis yang luar biasa, dan tidak terlalu suka belajar. Pikiran saya saat itu: “Iseng ah coba tembak ke universitas top, siapa tau tembus.” Gile aje!
Oh ya, jadi untuk program beasiswa CIS itu, saya hanya perlu melamar ke institusi beasiswa (dalam hal ini online via website CIS) saja tanpa perlu melamar secara terpisah ke universitas dituju. Jadi CIS-lah yang akan mengirimkan lamaran saya ke universitas tujuan saya. Sekedar catatan, proses ini mungkin akan berbeda untuk program beasiswa yang lain. Misalnya ada program beasiswa yang mewajibkan kamu untuk memperoleh Admission Letter dari universitas dituju sebelum bisa melamar beasiswa, nah kalau untuk kasus seperti ini, berarti kamu harus mengirim lamaran ke universitas dituju dan institusi beasiswa secara terpisah. Jangan lupa memperjelas alur administrasi program beasiswa yang kamu inginkan ya!
Singkat cerita, saya mengikuti pelatihan guru Bahasa Mandarin di Medan, mendapatkan surat referensi dari profesor yang datang mengadakan latihan, mengurus seluruh berkas beasiswa, digoyahkan imannya dengan ditawarkan beasiswa ke Guangzhou dan Shenzhen (tapi saya tolak karena saya sudah bertekad ingin ke Beijing dan Shanghai), submit dokumen online melalui website hingga mendapatkan panggilan tes dari jurusan School of Chinese as Second Language, Peking University.
Interview-nya terdiri dari 2 sesi: tertulis dan lisan. Karena kendala waktu dan tempat, saya akan ceritakan proses tes di lain waktu. Dan… ta da!!! Pengumumannya keluar. Saya diterima! Saya diterima di Peking University dengan beasiswa penuh dari Confucius Institute Scholarship! Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan perasaan saya pada saat ini. Saya pun mempersiapkan mental dan diri saya.
Pada 28 Agustus 2017, saya berangkat ke Beijing, memulai kehidupan saya yang baru. Hidup di luar tidaklah mudah, gaes. Tidak ada seorang pun yang saya kenal ketika pertama kali tiba di sana. Saya berjalan kaki dua jam hanya untuk mencari makanan di hari kedua saya tiba di Beijing. Kebetulan saya adalah seorang vegetaris yang ketat, pilihan makanan saya sangat terbatas. Ini sudah menjadi salah satu kekhawatiran saya sebelum berangkat, bahkan saya sudah terlebih dulu mencari daftar tempat makan yang menyediakan makanan vegetarian.
Selain dari kebutuhan makanan setiap hari, kemampuan self-management saya juga diuji: Bagaimana menjaga diri sendiri agar tidak sakit? Apa yang harus lakukan untuk menjaga diri kita tetap aman? Bagaimana cara mencuci baju dan piring? Apa yang harus dilakukan setelah baju keluar dari mesin cuci? Apa fungsi softener? Bagaimana cara mengepel dan menyapu? Jujur saja, berapa banyak dari kita sih yang pernah mencuci dan menjemur baju sendiri? Menurut saya, ini semua adalah hal dasar yang harus dipersiapkan oleh seseorang yang ingin menuntut ilmu ke luar negeri. Menurut persepktif saya, masih ada 2 jenis tantangan lain selain self-management yang saya sebutkan di atas: hard skill (akademis) dan soft skill (nonakademis).
Dari sisi akademis, tantangannya sangat luar biasa. Sistem belajarnya sama sekali berbeda dengan S1 saya dulu. Saya terkejut saat pertama kali disuruh membuat “xiao lunwen” (skripsi kecil/ paper/ makalah), yaitu saat melihat mahasiswa saling berdebat mempertahankan pendapat akademisnya masing-masing, melihat mahasiswa yang dengan berani bertanya bahkan membantah pendapat profesor atau dosen yang sedang mengajar.
Saya juga terkagum-kagum mendengar pemikiran teman-teman lokal (kebetulan jurusan saya melakukan pembagian terhadap mahasiswa internasional dan mahasiswa lokal Tiongkok), pemikiran mereka kritis, pertanyaan mereka to the point, cara mereka mengajukan pendapat jelas, bahasa mereka mudah dimengerti namun mengandung pemikiran yang mendalam. Belum pernah saya melihat kondisi belajar mengajar atau proses diskusi seperti ini selama 4 tahun pembelajaran saya di Indonesia.
Dari sini, pola pikir saya menjadi terlatih, pemikiran saya menjadi sedikit lebih tajam, saya menjadi lebih kritis dan lebih thoughtful. Ketika dihadapkan dengan masalah yang memerlukan pemecahan, pertimbangan saya menjadi lebih menyeluruh. Saya pikir, semua ini merupakan kristalisasi dari penyelesaian tugas-tugas yang diberikan, setiap halaman tesis yang saya selesaikan, diskusi demi diskusi yang pernah saya ikuti, pengamatan terhadap gaya bicara, pola pikir, dan pembahasan akademis dari berbagai dosen dan profesor terkemuka di Peking University.
Dari sisi nonakademis, ini juga merupakan sebuah tantangan yang baru bagi saya. Selain segi diet, saya juga ditantang untuk menjadi lebih pintar dalam pembawaan diri. Apa yang harus dilakukan saat pertama kali bertemu dengan orang baru? Bagaimana cara memulai pembicaraan? Apa yang harus kita lakukan saat orang lain mengundang kita ke kamarnya untuk makan malam (kebetulan mahasiswa internasional tinggal di gedung asrama yang berdekatan)? Apa yang harus kita bawa? Bagaimana kita harus bersikap agar tidak terkesan sombong padahal sebenarnya kita malu memulai pembicaraan? Atau tidak terkesan kepo padahal kita ingin menunjukkan perhatian dan empati kita? Apa yang harus dilakukan saat terjadi konflik atau perbedaan pendapat saat kita sedang menyelesaikan tugas kelompok? Bagaimana kalau homesick? Rindu orang tua, rendang, dadar Padang, sate kacang atau rujak? Ke dalam, saya dituntut untuk bisa lebih memahami diri sendiri, mengontrol emosi diri sendiri, melengkapi kebutuhan dan menjaga keamanan diri sendiri. Ke luar, saya harus beradaptasi dengan lingkungan baru, teman baru, perbedaan kebudayaan, bahasa, gaya hidup, bahkan lelucon yang kadang tidak nyambung?
Selain kesulitan-kesulitan rill yang saya hadapi selama dua tahun di Beijing, seperti: kurus 10 kg karena makanan yang tidak cocok (atau karena lebih aktif berjalan karena modal transportasi hanya sepasang kaki dan MRT saja di sana); stres berat saat menentukan judul penelitian thesis; target literature review yang harus saya balap dalam sehari; tugas kecil dan ujian setiap mata kuliah serta berbagai kesulitan lainnya, sebenarnya saya cukup enjoy dengan perjalanan S2 saya selama 2 tahun di Beijing.
Seperti yang saya ceritakan di atas, pemikiran saya menjadi lebih kritis, saya menjadi lebih pintar membawa diri dan beradaptasi, dan yang paling penting adalah, jiwa petualangan saya bisa dilampiaskan sepuas-puasnya. Tidak puas juga sih, yah… lumayan lah. Setidaknya dalam dua tahun saya bisa pergi ke “gunung utama dari 5 gunung terkenal” Tai Shan (Gunung Tai) di kota Shandong, ke kota Tianjin yang menurut saya adalah “mini Eropa”-nya China, ke Datong untuk mengagumi ukiran Buddha setinggi puluhan meter di dinding goa, ke Inner Mongolia untuk merasakan pengalaman menaiki unta dan bermain pasir sepuasnya, ke Shanghai, Suzhou, dan Hangzhou sebagai perjalanan kelulusan saya dengan orang tua saya (dan juga perjalanan terakhir saya sampai saat ini), ini belum termasuk tempat-tempat menarik di dalam kota Beijing yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu! Dan saya sering mengatakan, dari pengalaman dua tahun kuliah, hal paling berharga yang saya dapatkan adalah… persahabatan!
Yup, tidak salah! Satu kata “persahabatan” cukup bisa mewakili kepuasan pribadi saya selama dua tahun di Beijing. Saya bisa berkenalan dan menjalin hubungan dengan berbagai orang yang hebat dari seluruh dunia (tidak selebay itu sih, cuma beberapa negara saja sebenarnya, tapi kemungkinannya memang tidak terbatas!).
Mulai dari teman sekamar saya anak jurusan hukum yang mengajarkan saya pola pikir super kritis dan analitis, teman-teman dari Indonesia yang kocak-kocak dan bisa diajak curhat saat sedang ingin celoteh dalam Bahasa Indonesia (bisa rindu ngomong Bahasa Indonesia lho kalau udah kelamaan di sana!), ada teman Jepang yang terkena culture shock saat pertama kali bertemu dengan saya, ada teman dari Norwegia yang super kocak orangnya, ada teman dari Amerika yang pernah mengunjungi saya di Medan! Ada teman dari Korea yang mengajarkan kepada saya kalau panggilan oppa ternyata hanya boleh diucapkan oleh wanita saja, teman Korea yang lain mengajarkan bagaimana tampil rendah hati meskipun cakep (untung saya sempat membuat sebuah video Youtube dengannya), ada juga teman-teman dari Malaysia dengan berbagai kepribadian. Karena kesukaan saya dengan budaya dan bahasa Jepang, tidak lupa juga saya memanfaatkan kesempatan ini untuk “berguru” dengan salah satu teman Jepang saya (sementara dia belajar Bahasa Mandarin dari saya).
Saya rasa semua persahabatan ini tidak ternilai harganya, dan menurut saya, mereka-merekalah yang membuat saya berkembang hingga hari ini, saya belajar banyak dari mereka, tentang apa saja, mulai dari: hidup, financing, kehidupan setelah menikah, perceraian, konflik rumah tangga, pekerjaan, geografi, bahasa, semuanya deh!
Oh ya, sebenarnya awal mula saya memiliki channel Youtube itu juga karena judul tesis saya lho. Kebetulan tesis saya adalah berupa hasil karya video pembelajaran singkat tentang perbedaan kata dalam Bahasa Mandarin, dan saya seperti menemukan hobi baru saya. Lalu jadilah channel Youtube saya! Sebenarnya tujuan saya buat channel itu sederhana sih, saya ingin memberikan informasi kepada teman-teman tentang kehidupan (belajar) di Tiongkok. Setidaknya, dengan beberapa video yang saya buat, teman-teman memiliki sedikit gambaran tentang proses mendaftar beasiswa, lingkungan kehidupan dan belajar di Tiongkok dan sebagainya. Tentu saja, untuk info lebih lengkapnya, teman-teman harus pintar mencari informasi dari sumber yang bisa dipercaya ya!
Pesan untuk kalian? Kenali dirimu dengan baik, tahu jelas tujuan dirimu sendiri, cari informasi dari sumber terpercaya, jangan takut untuk mencoba, dan… jangan lupa iseng! Buat kamu-kamu yang sedang berada di zona nyaman sekarang, boleh saja sih enjoy untuk sementara waktu, tapi jangan sampai keterusan yah! Mumpung masih muda. Oh ya, saya sekarang sedang bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bagian gaming dengan posisi content localization (bahasa keren dari translator!) di Tiongkok. Kebetulan saat kecil dulu, saya suka bermain gim, pas cari lowongan pekerjaan, ketemu perusahaan game, iseng-iseng lamar, eh… diterima dan betah juga sih pekerjannya. Jadi, sebenarnya bisa dikatakan, semua ini bermula dari “keisengan” saya ingin jalan-jalan gratis 21 hari dengan modal 1 juta saja! Lumayan kan?
*Semua foto dari penulis.