Reclaiming Yourself after Motherhood: Ketika Mama Mencari Dirinya

0
1929
Pratiwi Utami saat wisuda S2 di Monash University Australia. Sumber: Dokumentasi pribadi
Pratiwi Utami saat wisuda S2 di Monash University Australia. Sumber: Dokumentasi pribadi

“Menjadi seorang ibu adalah salah satu momen terbesar dalam hidup seorang wanita. Namun demikian, bagi sebagian wanita, peran baru tersebut seringkali mengikis jati diri yang mereka miliki sebelum menjadi seorang ibu.”

“Dalam artikel ini, Pratiwi Utami, mahasiswa PhD in Film, Media, and Communications di Monash University Australia, mengajak kaum wanita untuk menemukan kembali jati diri mereka saat baru mengemban peran sebagai ibu.”

***

Ketika anak pertama saya lahir, saya memutuskan untuk berhenti bekerja dan sepenuhnya merawat dan mengasuh anak saya. Rasanya saya tidak tega menyerahkan pengasuhan buah hati tercinta ke tangan pengasuh. Selain itu, sekalipun ingin menitipkan anak ke keluarga, kondisi saya tidak memungkinkan. Saya dan suami tinggal di Yogyakarta, sementara orangtua kami masing-masing berada di provinsi berbeda. Maka, secara sadar saya menyerahkan waktu, tenaga, dan pikiran saya hanya untuk anak.

Tidak ada yang salah dengan keputusan itu, dan saya sangat mencintai peran sebagai ibu. Hanya saja, tanpa saya sadari, pengabdian total kepada anak membuat saya kehilangan diri saya sendiri. Hidup saya berputar di sekitar anak; segala keputusan dan rencana yang saya buat harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi anak ketika itu. Saya tidak lagi menjadi faktor. Apa yang saya inginkan tidak lagi menjadi pertimbangan dalam membuat keputusan: busana yang ingin dipakai, rumah makan yang ingin dikunjungi ketika jalan-jalan, apalagi keinginan untuk bekerja dan beraktivitas di luar rumah.

Dahulu, saya punya kehidupan sosial yang sibuk. Saya suka jalan-jalan dan hangout bersama banyak teman, kontributif di pekerjaan lama, rajin menulis, dan hafal lagu terbaru sekaligus nama musisinya. Sejak mendedikasikan seluruh hidup saya untuk anak, saya tidak lagi memiliki kebebasan untuk melakukan semua itu. Di satu titik, saya merasa lelah dan tidak berguna.

Saat anak sulung saya berusia 1,5 tahun, suami menawari saya untuk kembali bekerja di kantor. Suami saya sendiri tidak pernah memaksa saya untuk berhenti bekerja – keputusan itu sepenuhnya berasal dari diri saya sendiri. Namun, tampaknya ia mengenali diri saya lebih dari yang saya kira: dia tahu saya suka berada di ruang publik. Mungkin, ia sadar bahwa berdiam di rumah bukan pilihan yang tepat untuk saya – juga tidak sehat untuk keharmonisan keluarga kami.

Di depan Matheson Library saat Tiwi baru memulai studi S3 dan sedang hamil anak kedua. Sumber: Dokumentasi pribadi
Di depan perpustakaan kampus saat Tiwi baru memulai studi S3 dan sedang hamil anak kedua. Sumber: Dokumentasi pribadi

Maka saya mencoba berbagai jenis pekerjaan, diawali dengan kerja casual dan part-time. Pada akhirnya saya menemukan pekerjaan yang saya nikmati, yang membuat pengetahuan dan keterampilan saya dapat digunakan, melebarkan jejaring kawan, serta pendapatan yang lumayan. Pendek kata, pekerjaan ini membuat Saya merasa berguna. Kembali ke diri saya yang suka aktif berkegiatan di luar urusan bayi, ternyata menjadikan saya ibu yang lebih baik. Dari sini, saya tiba di tempat saya berdiri sekarang: ibu dua anak sekaligus mahasiswa doktoral di Monash University, Australia.

Sebelum saya lanjutkan, saya ingin lebih dahulu meluruskan dua hal penting. Pertama, saya tidak bilang bahwa mendedikasikan diri sepenuhnya untuk keluarga itu buruk. Kedua, saya juga tidak bilang bahwa “bekerja di luar rumah” adalah satu-satunya solusi atas masalah kehilangan identitas ini.

Tulisan ini semata-mata ingin mengajak para ibu maupun orang-orang di sekitarnya untuk memahami bahwa ada konsekuensi yang muncul bersama lahirnya status baru sebagai ibu. Perempuan selalu diidentikkan dengan tugas merawat dan mengurus anak. Memang tidak sedikit laki-laki yang turun langsung, bahu-membahu merawat buah hati dan mengurus rumah tangga bersama istrinya. Akan tetapi, tanggung jawab sebagai primary carer alias pengurus keluarga yang utama kebanyakan ada di pundak para perempuan. Masalah kemudian bisa muncul ketika saat menjalankan tanggung jawab ini, perempuan lupa untuk peduli pada dirinya, pada suaranya.

Tidak semua perempuan yang menjadi ibu merasakan kehilangan ini, dan tidak semua pula merasa perlu untuk menemukan dirinya kembali. Namun demikian, jika saat ini Anda sedang merindukan diri Anda yang dahulu, percayalah bahwa Anda tidak sendiri. Izinkan saya berbagi beberapa hal yang dapat membantu Anda menemukan jati diri kembali, sebagaimana hal-hal tersebut telah membantu saya pula.

Tiwi beserta suami dan anak-anaknya. Sumber: Dokumentasi pribadi
Tiwi beserta suami dan anak-anaknya. Sumber: Dokumentasi pribadi

Sepanjang perjalanan menjadi ibu, sesekali Anda akan tetap merasa kehilangan jati diri, meski sudah melakukan hal-hal ini. Tetaplah dengarkan diri Anda dan jalani apa yang diperlukan, dengan penyesuaian-penyesuaian berdasar kebutuhan sebagai berikut:

  • Stop ComparingSaya tahu, sulit sekali untuk tidak membandingkan hidup Anda dengan orang lain. Anda bisa memandang iri pada ibu lain yang anaknya lebih gendut dan makannya banyak. Anda akan iri pada kawan seangkatan di SMA yang kariernya melesat. Daripada buang waktu membanding-bandingkan, fokuslah pada yang ada di hadapan Anda sekarang. Apapun keputusan yang sudah dibuat di masa lalu, saat ini buah hati Anda sehat dan bahagia, dan ingatlah pula bahwa setiap orang memiliki ujiannya masing-masing. Anda tidak pernah tahu “pertarungan” seperti apa yang sudah dilalui teman Anda di balik apa yang terlihat di depan mata.
  • Find something else to do. Lakukan kegiatan yang Anda suka, di luar urusan bayi. Menekuni hobi, kembali bekerja, memulai bisnis dari rumah, terlibat dalam kegiatan sosial sukarela, dan sebagainya. Anda bisa memilih aktivitas apa pun yang memungkinkan Anda menggunakan suara Anda tidak sebagai ibu, tetapi sebagai diri Anda sendiri: Saya sebagai faktor.
  • Build your tribe. Lingkungi diri Anda dengan orang-orang yang mendukung nilai yang Anda pegang serta bisa memvalidasi – alih-alih menyepelekan – perasaan Anda. Mereka bisa ditemukan di dalam keluarga (suami, saudara, orangtua, keluarga besar), lingkungan pertemanan, bahkan influencer Instagram. Keberadaan support group ini sangat membantu saat Anda merasa sedang berada di titik terendah.
  • Menemani putra sulungnya pentas di sekolah di Melbourne Australia. Sumber: Dokumentasi pribadi
    Menemani putra sulungnya pentas di sekolah di Melbourne, Australia. Sumber: Dokumentasi pribadi

    Take care of yourself. Perhatikan dan hargai “suara” dari dalam diri Anda. Mungkin Anda perlu istirahat, tidur sedikit lebih lama di siang hari? Mungkin Anda perlu pergi perawatan, beli baju baru, atau makan enak untuk mengapresiasi diri yang sudah bersusah-susah setiap hari? Mungkin hari ini, hari ini saja, Anda ingin mengutamakan keinginan Anda di atas urusan anak dan rumah tangga.

  • Reach out. Ketika “suara-suara” itu sudah terlalu bising dan Anda mulai kewalahan, mintalah bantuan pada siapapun yang Anda percaya dan pendapatnya Anda dengarkan. Anda tidak harus menghadapi ini semua sendiri, jadi jangan segan curhat atau mendiskusikan masalah yang Anda hadapi kepada orang yang tepat. Berkonsultasilah ke psikolog atau psikiater profesional bila perlu.

Buat saya, menjadi ibu adalah anugerah. Saya mencintai anak-anak saya dan mensyukuri peran sebagai ibu dengan sepenuh hati. Akan tetapi, bukan berarti saya tidak boleh mencintai, mementingkan, dan memprioritaskan diri saya sendiri.

Selamat Hari Ibu! 

 

*Editor: Yogi Saputra Mahmud

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here