Bagi sebagian besar orang, studi arkeologi mungkin terdengar kurang familiar, dan bertanya-tanya, “Apa sih yang dipelajari di bidang arkeologi? Apa iya masih relevan dengan dunia saat ini?” Jawabannya tentu iya! Sejarah dan budaya masa lampau membentuk identitas suatu bangsa dan negara saat ini, dan tentu dalam menganalisanya ilmu arkeologi sangat diperlukan. Kali ini Ivone (Columnist UK & Europe) berkesempatan untuk mendengarkan penjelasan menarik dari koleganya, Eugenius Olafianto Drespriputra Wisnuwardhana, atau akrab disapa Olaf, mengenai studi magister arkeologi yang sedang dilakukannya di salah satu program EMJMD yaitu IMQP (The International Master in Quaternary and Prehistory).
Bermula dari Keingintahuan dan Tantangan yang Diberikan oleh Tantenya
Ketertarikan Olaf akan dunia arkeologi diinisiasi dari keinginannya untuk menjadi Romo saat Ia masih duduk di bangku SMP. Seiring berjalannya waktu, keinginannya berubah menjadi rasa ingin tahu akan kejadian apa yang terjadi di masa lalu yang belum terkuak berdasarkan bukti literatur. Ia akhirnya mencari jurusan yang mempelajari kejadian masa lampau yang menggunakan metode yang ilmiah dan menemukan jurusan arkeologi.
Sempat diterima di dua program studi sarjana, yaitu Arkeologi UGM dan Akuntansi Sanata Dharma, Olaf akhirnya memutuskan untuk melanjutkan studi di Program S1 Arkeologi UGM. Alih-alih, salah satunya karena ditantang oleh tantenya yang berlatar belakang bidang arkeologi juga.
“Iya, jadi dulu tanteku menyarankan untuk melanjutkan studi di Akuntansi Sanata Dharma karena menurutnya aku bukan anak lapangan yang cocok bekerja di bidang arkeologi. Merasa tertantang dengan statement ini, jadi aku memutuskan untuk mengambil jurusan arkeologi.”
Mempelajari Apa Saja Arkeologi?
Menurut Olaf, ilmu arkeologi merupakan ilmu yang mempelajari kejadian masa lampau berdasarkan hasil ilmiah penemuan peninggalan sejarah yang dari hal tersebut diinterpretasikan menjadi sebuah tinggalan budaya yang terjadi di masa tersebut.
Mungkin orang awam memandang bahwasanya peninggalan sejarah terlihat biasa saja atau membosankan. Namun sebaliknya, peninggalan sejarah seperti arca, tulang manusia/hewan, batu, sedimentasi, dan lain-lain bisa menguak berbagai informasi kejadian di masa lampau seperti iklim, cara berburu, lingkungan hingga paleodiet/dietary manusia di masa itu yang tentu mempengaruhi munculnya suatu kebudayaan yang baru atau terjadinya perubahan kebudayaan akibat dari faktor alam dan pola tingkah laku manusia itu sendiri
Ilmu arkeologi sangat luas karena mempelajari kejadian masa lampau yang terjadi di bumi sejak masa quaternary atau periode di mana hominin (bahasa ilmiah dari manusia) mulai ditemukan hingga 50 tahun dari sekarang (UU Cagar Budaya No. 10 Tahun 2011). Sehingga, bidang ini memiliki beberapa fokus konsentrasi, setidaknya ada enam, yaitu Arkeologi Prasejarah (quatenery/pre-historic), Arkeologi Klasik (masa hindu-budha), Arkeologi Kolonial, Arkeologi Konservasi, Arkeologi Underwater (maritim), dan CRM (Cultural Resource Management).
Ilmu arkeologi sendiri melibatkan pembelajaran dari bidang ilmu lainnya seperti kimia, fisika, klimatologi, biologi, geologi, geografi, paleoantropologi, paleobotani, dan lain-lain.
“Iya, banyak cabang ilmu lain yang kita butuhkan sebagai arkeolog untuk melakukan interpretasi bedasarkan artefak dan ekofak yang kita temukan di lapangan. Semisal ketika kita sedang melakukan pencarian dan ekskavasi situs, kita membutuhkan seorang geolog untuk dapat mengetahui struktur lapisan tanah (stratigraphy). Dan juga menganalisa hasil peninggalan sejarah seperti tulang atau alat batu, tanah, kita memerlukan ilmu traceology, taphonomy, dll. Sehingga untuk dapat menginterpretasikan hasil temuannya, kita terkadang juga membutuhkan ilmu bantu lainnya seperti menginterpretasikan bentuk fisik dan antropologi untuk mengetahui perilaku dan budaya dari manusia/hewan tersebut,” jelas Olaf.
Belajar di Dua Negara di Eropa dengan Beasiswa Penuh
Saat ini, Olaf sedang menjalani studi magisternya di salah satu program Erasmus (EMJMD) bernama IMQP (The International Master in Quaternary and Prehistory) dengan beasiswa penuh Erasmus+.
Program ini merupakan program magister yang berfokus mempelajari sejarah dari manusia dengan menggunakan metode scientific yang berfokus pada masa quaternary. Seperti program Erasmus lain yang memiliki mobility scheme, di program ini Olaf belajar di dua universitas di dua kampus yang berbeda, yaitu Muséum National d’Histoire naturelle, Prancis dan Universitat Rovira i Virgili, Spanyol.
Selain kedua universitas tersebut, program ini juga melibatkan konsorsium dari Università degli Studi di Ferrara, Italia dan Instituto Politecnico of Tomar, Portugal. Untuk informasi lebih lanjut mengenai program IMQP, dapat dicek di tautan berikut ini. Dan tentu periksa laman berikut ini untuk mengetahui bagaimana cara mendaftar beasiswa Erasmus+.
Dari Pencarian Peninggalan Jejak Hingga Interpretasi Kejadian Masa Lampau
Mempelajari sejarah di SMA dari buku pelajaran adalah satu hal yang sangat praktis yang mungkin kita tidak pernah sadari sebelumnya. Jauh sebelum itu, tahap yang sangat panjang perlu dilakukan untuk menguak kejadian masa lampau dan menginterpretasikannya menjadi suatu budaya atau kejadian sejarah.
Olaf menjelaskan penelitian arkeologis terdiri dari beberapa tahap, yaitu survei, penggalian (ekskavasi), pengambilan sampel dan proses analisa sampel/data mentah, analisa data, dan interpretasi data. Mengejutkannya, proses ini membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang comprehensive sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Menurut Olaf, survei dan penggalian situs merupakan tahapan yang cukup menantang. Biasanya pencarian situs bisa didasarkan dari beberapa hal, seperti laporan warga sekitar yang menemukan artefak atau tinggalan sejarah, dan juga dapat menggunakan hasil penelitian sebelumnya. Dalam pencarian situs dan proses ekskavasi sendiri melibatkan berbagai ahli seperti archaeologist, zooarchaeologist, geologist, paleoanthropologist, palaeobotanist, sedimentologist, dan lain-lain tergantung dari data apa yang menjadi fokus penelitian.
Yang menarik adalah ketika sampling sudah dilakukan dan data mentah diperoleh, banyak hal yang bisa diketahui dari penemuan tersebut. Data mentah dapat berupa fosil dari hewan (animal remain) atau manusia (human remain), sedimentasi, polen, alat batu, keramik, dan lain-lain.
“Semisal dari sediment, dan polen, kita bisa mengetahui environment dari suatu daerah (paleoenvironment). Kita bisa juga mengetahui teknologi dan kemampuan manusia yang berkembang pada masa tersebut dengan mengamati teknologi pada alat batu, morphology dari keramik, dan lain-lain,” tutur Olaf.
Tantangan dan Lapangan Pekerjaan
Olaf menjelaskan, ilmu arkeologi ini bisa dibilang ilmu yang mengasikkan dan menantang, karena manusia yang memproduksi tinggalan kebudayaan tersebut sudah tidak ada atau sudah punah dan tidak dapat diwawancara sehingga kita perlu beberapa data pendukung untuk dapat melakukan interpretasi (dalam kasus prasejarah-masa colonial).
Selain itu, walaupun didasarkan dari metode ilmiah untuk analisa sampel yang diperoleh, hasil intrepertasi dari data mentah tersebut adalah budaya/kultur yang termasuk abstrak, mengingat perbedaan sudut pandang atau interpretasi akan menghasilkan hasil budaya yang berbeda juga, dan tidak ada justifikasi kebenaran absolut. Berbagai hal yang masih menjadi misteri di kalangan arkeolog seperti awal mula dari evolusi manusia, proses perkembangan teknologi dari manusia menggunakan alat batu atau alat tulang hingga sekarang, dan tantangan lainya adalah bagaimana agar tinggalan budaya tersebut tetap lestari sehingga bisa dapat digunakan sebagai objek pembelajaran di masa depan.
Lapangan pekerjaan dari lulusan arkeologi juga luas, dari peneliti, akademisi, LSM, ke pemerintahan, media (NatGeo contohnya), hingga perusahaan konsultan konservasi budaya. Hal yang sedikit disayangkan dari Olaf adalah bahwa di Indonesia rasa kesadaran akan perlunya mengetahui sejarah bangsa masih kurang terbangun dengan baik dan belum menjadi prioritas dari pemerintah. Berbeda halnya dengan beberapa negara Eropa yang sudah memiliki awareness terhadap sejarah mereka sehingga konservasi sejarah dapat dilakukan dengan lebih baik atau optimum.
———–
Artikel ini ditulis oleh Ivone Marselina Nugraha, Columnist IM Europe & UK dan merupakan hasil wawancara dengan Eugenius Olafianto Drespriputra Wisnuwardhana, S.Ark. dengan profil:
Eugenius Olafianto Drespriputra Wisnuwardhana, S.Ark. merupakan penerima Beasiswa Erasmus Mundus Joint Master Degree di program The International Master in Quaternary and Prehistory (IMQP) tahun 2020-2022. Saat ini, Ia sedang melanjutkan pendidikan Master of Science di dua universitas di Eropa (Muséum National d’Histoire naturelle, Prancis dan Universitat Rovira i Virgili, Spanyol) dan akan menyelesaikan studinya pada tahun 2022. Setelah menyelesaikan studi sarjananya di jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2018, Olaf bekerja sebagai staf di Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran selama 2 tahun. Di masa studi sarjananya, Olaf terlibat di proyek ekskavasi dan penelitian kolaborasi antara Tokai University, Jepang dan pusat penelitian arkeologi nasional (Puslit Arkenas) dan beberapa proyek penelitian lainnya.
———–
*Semua foto disediakan oleh narasumber.
**Editor: Haryanto