Kuliah di luar negeri merupakan kesempatan yang sangat berharga seumur hidup. Tidak hanya menjadi kesempatan untuk meningkatkan kemampuan akademik, namun juga menjadi kesempatan untuk meningkatkan life skill yang tentunya akan berguna di kehidupan sehari-hari. Di artikel ini, Dessy Nur Amelia (Content Director of Australia, New Zealand, and Pacific Islands), membagikan pengalamannya untuk menghemat living allowance selama berkuliah di Australia.
***
Salah satu kemampuan hidup yang saya pelajari sebagai mahasiswa S2 di luar negeri adalah kemampuan dalam mengelola keuangan pribadi. Sebagai informasi, biaya hidup yang saya terima sebagai mahasiswa sponsor disesuaikan dengan UMR kota tempat saya belajar, yaitu Kota Melbourne. Walaupun ketika dikonversi nilai tersebut jumlahnya besar dalam standar Rupiah, tentunya diperlukan strategi agar living allowance yang saya terima cukup untuk kehidupan sehari-hari mengingat biaya hidup yang tinggi di Kota Melbourne. Berikut hal-hal yang saya lakukan agar living allowance yang saya terima cukup untuk kebutuhan sehari-hari, bahkan dapat tersisa untuk ditabung.
- Cook Your Own Food
Memasak makanan sendiri tentunya sudah ‘terkenal’ sebagai salah satu strategi dalam menghemat uang. Hal yang saya amati ketika berbelanja kebutuhan sehari-hari adalah terdapatnya gap antara biaya yang dikeluarkan ketika membelanjakan makanan jadi dengan membeli bahan makanan yang masih harus diolah. Saya mempunyai dugaan bahwa di Australia, apa pun yang ‘tersentuh’ oleh tangan manusia (dalam hal ini biaya yang dikenakan untuk membayar upah memasak), maka harga dari barang atau jasa tersebut akan meningkat (but CMIIW!).
Sebagai contoh, A$50 cukup untuk membeli bahan memasak untuk satu orang selama seminggu. Sebagai perbandingan, dengan nilai uang yang sama, A$50 hanya cukup untuk membeli sekitar 2 – 5 porsi makanan. Maka dari itu, memasak makanan sendiri dapat menjadi opsi untuk menghemat living allowance, selain dengan pertimbangan untuk menjamin makanan agar lebih sehat, serta terpantau kehalalannya bagi yang beragama Islam.
2. Consider paperless.
Menjadi mahasiswa identik dengan banyaknya bacaaan yang harus dibaca. Di awal-awal perkuliahan, saya lebih banyak mencetak jurnal-jurnal yang saya baca. Setelah satu semester, saya sadar bahwa pada akhirnya saya memiliki banyak tumpukan kertas yang memenuhi kamar saya. Selain tidak ramah lingkungan, tanpa saya sadari saya juga telah menghabiskan cukup banyak uang untuk printing yang pada akrhinya, jurnal-jurnal tersebut hanya beberapa kali saya baca. Pengalaman tersebut mengajarkan saya untuk lebih bijak dalam ‘membaca’.
Di semester selanjutnya, saya membiasakan diri untuk membaca di laptop, atau mencari bahan bacaan di perpustakaan kampus. Saya ingat di semester tiga, ada satu buku yang wajib kami baca, dengan harga sekitar A$100. Saya segera mencari buku tersebut di perpustakaan untuk dipinjam selama satu semester ke depan, sebelum dipinjam oleh mahasiswa lainnya. Selain itu, untuk buku bacaan lainnya, saya memilih menggunakan Kindle. Walaupun mahal pada awalnya dengan harga sekitar A$200, namun Kindle saya pertimbangkan sebagai salah satu bentuk investasi untuk kegiatan membaca. Kindle memiliki keuntungan karena selain mudah dibawa kemana-mana, daya Kindle terkenal tahan lama untuk digunakan selama berminggu-minggu.
3. Menggunakan Transportasi Publik dan Jalan Kaki
Menggunakan transportasi publik juga menjadi salah satu pilihan terkenal untuk menghemat uang walaupun terdapat pilihan untuk membeli kendaraan sendiri selama masa kuliah. Di beberapa negara bagian atau negara-negara lainnya, status mahasiswa dapat menjadi syarat untuk mendapat potongan harga ketika menggunakan transportasi publik. Namun sayang, hanya mahasiswa S1 yang mendapatkan privilese tersebut di Kota Melbourne.
Selain dengan menggunakan transportasi publik, berjalan kaki atau menggunakan sepeda dapat menjadi pilihan apabila jarak tempuh ke lokasi tujuan tidak terlalu jauh. Saya sering mengkonversi jarak tempuh dengan apa yang bisa saya dapatkan apabila saya berjalan kaki. Sebagai contoh, jarak antara tempat tinggal saya dan kampus adalah dua bus stop dengan biaya sekitar A$3. Menariknya dengan jumlah uang yang sama, saya bisa membeli enam butir telur untuk saya konsumsi sehari-hari. Oleh karena itu, saya memilih untuk berjalan kaki dari tempat saya tinggal menuju kampus. Dalam satu pilihan, saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi lebih sehat dengan jalan kaki, sekaligus kesempatan untuk menghemat uang untuk dibelanjakan bahan makanan sehari-hari. Menarik, bukan?
6. Thrifting
Sebagai anak tropis sejati, pindah ke negara dengan empat musim membutuhkan suatu proses adaptasi. Selain saya harus rajin-rajin mengecek app tentang cuaca, saya juga harus mempersiapkan pakaian-pakaian yang sesuai dengan musimnya. Untuk pakaian musim dingin yang tentunya tidak banyak saya miliki di Indonesia, saya memilih untuk berbelanja di toko-toko secondhand, untuk menyesuaikan dengan budget. Ternyata, berbelanja di toko-toko tersebut sangatlah menyenangkan. Selain saya mendapatkan barang dengan harga yang murah, barang-barang yang dijual pun tidak kalah bagus dengan barang-barang baru. Diperlukan kejelian dan ketelitian dalam memilih barang, yang tentunya menjadi suatu kegiatan yang asyik untuk dilakukan. Saya pernah mendapatkan coat seharga A$15, yang apabila sebagai barang baru, coat tersebut bisa berharga sekitar A$60- A$100. Selain menjual pakaian, toko-toko secondhand juga menjual berbagai macam barang menarik, seperti peralatan dapur, buku, sepatu dan juga mainan-mainan dengan kualitas yang masih baik.
7. Sharing is caring
Dalam rangka menghemat uang, saya suka menggunakan istilah sharing is caring sebagai istilah fancy, yang sebenarnya adalah kegiatan patungan bersama teman. Di Australia, saya beranggapan bahwa porsi makan termasuk banyak untuk satu porsinya apabila dibandingkan dengan satu porsi makanan di Indonesia. Selain opsi untuk membagi makan tersebut untuk dua atau tiga kali makan sendiri, patungan dengan teman bisa menjadi salah satu opsi untuk menghabiskan makanan tersebut.
Tidak hanya patungan untuk membeli makanan. Patungan juga bisa diterapkan di hal-hal lain seperti membeli bensin dan menyewa mobil ketika bertamasya ke luar kota, dan juga ketika membeli buku pelajaran bersama untuk menghemat biaya kirim. Saya juga pernah patungan untuk membeli bahan makanan, yang ketika dihitung-hitung sangat jauh lebih murah dibandingkan dengan patungan membeli makanan jadi.
8. Menanti Lungsuran
Salah satu hal yang menarik yang saya perhatikan ketika pindah ke Australia adalah budaya untuk melungsurkan barang-barang yang sudah tidak digunakan, oleh pelajar Indonesia yang telah menyelesaikan studinya kepada rekan-rekan yang baru tiba atau sedang menempuh studi. Barang-barang keperluan sehari-hari seperti seterikaan, hanger, alat masak, bahkan selimut akan dengan mudahnya kita jumpai di tempat tinggal baru kita, dengan kondisi yang sangat layak pakai.
Selain itu, di hari-hari tertentu kita bisa menemukan dumping day, di mana penduduk Australia dibolehkan untuk membuang barang yang sudah tidak digunakakan di depan rumah masing-masing yang boleh diadopsi oleh orang lain, atau akan diangkut oleh petugas kebersihan setempat. Rekan saya pernah menemukan mesin kopi yang masih berfungsi sangat baik, serta mainan anak yang masih layak. Ada anekdot yang saya dan teman-teman lontarkan mengenai kegiatan dumping day ini. “Pergilah ke daerah orang kaya, siapa tahu menemukan barang-barang mahal untuk dipungut”
9. Facebook Marketplace
Ketika kuliah di Australia, saya sering menggunakan waktu luang saya untuk berselancar di Facebook Marketplace, untuk mencari barang-barang yang yang sekiranya menarik dengan harga murah. Selain itu, saya juga menggunakan Facebook Marketplace untuk menjual barang-barang yang tidak saya butuhkan. Sebagai contoh, saya menjual digital piano dan gitar saya di Facebook Marketplace, beberapa bulan sebelum kepulangan saya ke Indonesia.
Salah satu tips dari saya, rawatlah barang-barang kita dengan apik, agar ketika kita jual kembali, harganya tidak terlalu jauh dari harga awal kita membeli barang tersbut. Sebagai contoh, saya menjual gitar saya seharga 50% dari harga belinya, namun menurut saya harga itu wajar karena saya pernah menempelkan sticker serta belum mengganti kawat gitar yang sudah mulai sedikit berkarat. Untuk digital piano, saya menjual dengan harga persis ketika saya beli, dikarenakan di tahun kedua saya kuliah, harga digital piano mengalami kelonjakan sebanyak sekitar 100 AUD dari tahun sebelumnya. Saya menjual digital piano saya dengan senang hati, dikarenakan saya merasa tidak dirugikan, sekaligus dipermudah untuk menyingkirkan barang-barang yang saya rasa tidak perlu saya bawa pulang ke Indonesia.
–
Begitulah tips-tips dari saya yang mungkin dapat dicontoh untuk menghemat living allowance selama di luar negeri. Di akhir perkuliahan saya, saya akhirnya memiliki tabungan yang lumayan cukup sebagai pegangan sebelum saya mulai kembali bekerja. Bagaimana menurut teman-teman? Adakah ide lainnya yang dapat dibagikan dalam menghemat living allowance selama berkuliah di luar negeri? Bila ada, boleh dibagikan di kolom komentar, ya! Good luck!