Perkenalkan saya Fajri Ahmad, saat ini bekerja sebagai seorang dosen di UIN Bukittinggi, Sumatera Barat. Dalam tulisan ini saya ingin membagikan kisah perjalanan jihad fil ilmi selama di Melbourne, Australia.
Menggapai Sarjana
Jujur menjalani kehidupan di Australia tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bahkan tak pernah ada dalam target hidup saya untuk pergi ke luar negeri. Sejak sekolah dasar cita-cita saya hanya untuk kuliah dan menjadi sarjana.
September 2012 saya resmi menyandang gelar sarjana dari sebuah Perguruan Tinggi Islam di Kota Padang Sumatera Barat. Setelah tamat kuliah S1, saya langsung ditawari untuk bekerja di perusahaan logistik di teluk Bayur Kota Padang. Alhamdulilah diterima, namun karena sesuatu lain hal saya hanya bekerja selama 4 bulan disana.
Setelah itu, saya memutuskan untuk melanjutkan study S2 di kampus UIN Imam Bonjol Padang dengan tekad dapat membiayai kuliah mandiri. Hal ini sebab sejak awal kuliah saya tinggal di masjid dan mushala di Kota Padang. Menjalani profesi sebagai gharim masjid yang bertugas sebagai imam, muazin, mengajar anak-anak membaca al-qur’an serta membersihkan seluruh area masjid. Dari pekerjaan itu saya dapat mengasah kemandirian hidup. Saya sangat bersyukur meningkatkan kualitas ibadah dengan belajar untuk memperbaiki diri, sebab hari-hari saya dipenuhi kegiatan keagamaan. Pada September 2016, berkat kerja keras, motivasi dan doa berhasil menuntaskan studi Magister.
Tak lama setelah lulus S2, saya ditawari pekerjaan sebagai seorang asisten dosen oleh pembimbing tesis saya. Terharu dan sangat senang diberi kesempatan untuk berproses menjadi dosen, sebab mendekatkan saya menuju cita-cita saya.
Berangkat ke Asutralia
Setelah menikah, istri saya langsung melanjutkan kuliah magister bahasa Inggris di Monash University Melbourne, Australia. Ini adalah nikmat yang harus disyukuri karena studi di luar negeri merupakan impian istri saya sejak kecil. Namun, momentum keberangkatan yang sangat dekat cukup berat bagi kami. Istri saya harus berangkat ke Australia persis sepekan setelah hari pernikahan kami. Pada saat itu, mengalah ialah solusi terbaik. Saya harus mengijinkan istri saya meraih mimpinya. Tentu sebagai suami, sudah kewajiban saya menjaga dan melindunginya. Sebab itu, memilih untuk tidak melanjutkan pekerjaan saya sebagai asisten dosen untuk menyusul istri adalah pilihan yang wajib dijalani. Berat bagi saya meninggalkan jalan cita-cita saya dan menyusul ke Australia, negeri entah berantah yang tidak pernah saya pikirkan. Tapi harus ada yang di korbankan demi sebuah kebersamaan.
Akhirnya, saya pamit kepada kampus, dosen beserta mahasiswa, namun saya diberikan surat pengalaman kerja dari kampus sebagai seorang dosen yang pernah mengajar di perguruan tinggi. Dalam hati dan do’a saya berdoa semoga suatu saat bisa melanjutkan cita-cita menjadi seorang dosen di perguruan tinggi.
Dengan bimbingan istri, saya mengurus segala kepentingan administrasi pengurusan visa spouse (pasangan) ke Australia. Saat itu istri sudah mulai menjalani perkuliahannya. Harap-harap cemas memang karena takut visa saya ditolak. Setelah menikah saya sudah langsung berpisah dengan istri, kalau visa tidak lolos maka berpisahnya akan menjadi lama.
Setelah visa saya terbit, saya berpamitan kepada jamaah masjid, maklum setelah menikah saya tetap tinggal di masjid. Sedih memang kalau bicara perpisahan tapi apa boleh buat, karena setiap kehidupan ini Allah ciptakan berpasang-pasangan. Ada siang ada malam ada masalah ada solusi ada perpisahan ada pertemuan.
Dari Indonesia berangkat ke Australia dimulai dari Padang ke Kuala Lumpur kemudian dilanjutkan ke Melbourne. Ini pengalaman pertama naik pesawat yang saya jalani selama 13 jam lamanya. Namun, perjalanan 13 jam tersebut tidak terasa lama karena rindu dan ingin berjumpa dengan istri. Di pesawat tersebut sudah terasa aura Australia nya, mulai dari komunikasi menggunakan bahasa inggris dan banyak penumpang asal Australia di sana, hanya beberapa saja yang berwajah Asia
Bekerja di Australia
Pendaratan di bandara Tullamarine akan menjadi hal tak terlupakan bagi saya, sebab sempat di tahan oleh pihak imigrasi Australia karena masalah membawa makanan dari Indonesia. Saya salah memahami pertanyaan petugas ketika itu sehingga koper saya di buka paksa untuk mencari “chillychicken”. Padahal saya hanya membawa kerupuk sanjai cemilan khas orang minang alias crackers. Tapi kepanikan membuat saya mengiyakan semua pertanyaan petugas.
Saya bersyukur akhirnya dapat bertemu istri, namun tantangan baru pun di mulai. Beasiswa istri saya tidak menanggung pasangan, maka solusinya saya harus segera bekerja agar kami bisa hidup layak di benua kangguru itu.
Meskipun saya mengalami keterbatasan dalam bahasa Inggris, saya tetap mencari kerja melalui kawan dan kenalan. Dimulai dengan pekerjaan menyebar iklan dari rumah ke rumah, pekerja kebersihan, pembantu pedagang di pasar sampai bekerja shift malam di pabrik roti. Ternyata persoalan utama saya bukanlah bahasa, tapi menjalankan ibadah. Pekerjaan di Australia memang banyak, tapi tak semuanya memudahkan untuk saya menjalankan shalat lima waktu dan shalat jumat. Terlebih waktu shalat yang tidak tetap mengikuti perubahan musim. Hal ini sangat sulit dibanding kendala bahasa yang kadang kadang bisa diganti dengan bahasa isyarat.
Suatu hari, sahabat sekaligus senior kami, memperkenalkan saya kepada imam masjid Indonesia di Melbourne. Sejak itu saya merasa menemukan keluarga dekat. Sebab komunitas muslim asal Sumatera Barat, Minang Saiyo, ternyata sangat serius mengelola kegiatan masjid. Saya bisa berinteraksi dengan masyarakat Minang di negeri asing itu sekaligus mulai diajak mengisi kajian dakwah. Hal ini sangat menyenangkan bagi saya, sebab dakwah adalah jurusan kuliah saya. Dari persaudaraan di pengajian dan komunitas muslim saya ditawarkan pekerjaan tetap di sebuah pabrik cat besi. Pekerjaan yang berat, tapi disana sebagian besar pekerjanya beragama Islam dari berbagai negara. Saya bisa shalat lima waktu dan tetap rutin menjalankan shalat jumat tanpa harus meminta ijin atau cuti pada hari jumat.
Dakwah di Australia
Selain Minang Saiyo, organisasi masyarakat asal Sumatera Barat lainnya adalah Sulit Air Sepakat (SAS). Komunitas SAS juga rutin melaksanakan pertemuan pekanan untuk pengajian dan silaturrahim komunitas muslim. Saya sering diberi kesempatan berbagi ilmu dan pengalaman melalui kajian-kajian yang dilaksanakan. Saya juga dipercaya menyalurkan dana bantuan anak yatim dari warga Minang di Australia ke anak-anak yatim di wilayah Agam dan Solok Selatan. Program ini sudah berjalan cukup lama, bahkan sampai sekarang amanah ini masih kami jalankan.
Secara rutin saya juga diberi kesempatan menjadi khatib dan imam shalat jumat setiap bulan di Masjid Westall Indonesia. Pengajian shubuh pun tak jarang menjadi semangat bagi saya untuk berbagi dan bersilaturrahim dengan komunitas Indonesia di Melbourne. Menariknya, setiap pengajian Subuh, ibu-ibu Westall akan menyiapkan masakan Indonesia untuk disantap bersama di hari minggu pagi. Hal ini menjadi momen pelepas rindu baik pelajar maupun masyarakat Indonesia yang tinggal di Melbourne.
Tambahan lagi, program Tahsin For Kids juga menjadi sarana mengajar agama di Melbourne. saya menjadi relawan untuk mengajar membaca Al-qur’an dan ilmu dasar agama bagi anak-anak Indonesia di Melbourne. Uniknya, untuk menjadi relawan yang berinteraksi dengan anak-anak, kita harus memiliki bukti legal bahwa kita layak. ada sertifikasi khusus bagi relawan yang disediakan pemerintah setempat. Tahsin For Kids ini memberi saya kesempatan untuk belajar bagaimana anak-anak Indonesia beradaptasi dengan kebudayaan, pendidikan dan iklim di negeri empat musim itu. Pun sebaliknya, saya memperhatikan bagaimana orang tua berusaha agar anak-anak mereka tidak kehilangan identitas agama dan kebangsaannya, sekalipun tumbuh di tengah masyarakat dengan kebudayaan barat.
Program kajian pekanan dengan bapak-bapak sesama pekerja di Australia juga menjadi media dakwah yang penting untuk kesehatan mental saya. Berkumpul bersama kawan-kawan sesama spouse, menjadi kegiatan rutin menambah ilmu agama. Sekalipun tak pernah mendengar adzan, adanya kegiatan kegiatan dakwah ini menjadi penyejuk bagi kami kaum minoritas disini.
Kembali ke tanah air dan menjadi seorang dosen
Alhamdulillah, setelah studi istri selesai, kami kembali ke Indonesia. Sekalipun tawaran dan berbagai godaan untuk menetap di Australia sangat kuat. Kami tetap pulang ke tanah air, menyadari bahwa beasiswa yang diperoleh istri berasal dari negara. Sangat wajib bagi kami untuk bermanfaat bagi orang-orang di sekitar kami di tanah kelahiran. Sekalipun mungkin hanya kebaikan kecil yang dapat kami lakukan.
Persis di tahun kepulangan kami, terbuka peluang tes PNS formasi dosen. Saya kembali memburu cita-cita saya. Menyiapkan diri belajar semaksimal mungkin serta mengumpulkan dokumen pengalaman yang dibutuhkan. Sungguh tak pernah terpikirkan, sekalipun proses CPNS memakan waktu lama karena di hantam pandemi COVID-19, saya lulus di posisi pertama. Hal ini karena semua pengalaman saya di Australia menjadi nilai tambah yang sesuai dengan jurusan saya di kampus. Mungkin itulah jalan Yang Maha Kuasa, sebelum ke Australia saya sudah mengikuti bermacam-macam tes dosen namun belum berhasil. Kini, persis setelah kembali dari tugas mendampingi istri, Allah mewujudkan cita cita saya. Sungguh kuasa Allah segala-galannya.
Profil Narasumber
Fajri Ahmad, biasa di panggil Fajri, kelahiran Kamang Mudiak Kabupaten Agam, memulai sekolah dasar di SDN 45 Halalang dan menengah di MTI Tarusan. Ia melanjutkan pendidikan tinggi Strata 1 dan 2 di UIN Imam Bonjol Padang pada Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam dan Pengembangan Masyarakat Islam. Selain aktif dalam kegiatan dakwah, bapak dua anak ini juga giat melaksanakan tugas adat dalam sukunya dengan gelar adat Datuak Tan Tujuah. Saat ini beliau menjadi dosen di Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah UIN Bukittinggi.
Editor: Rili | Indonesia Mengglobal