Tidak banyak pelajar yang baru lulus SMA berani merantau ke negara orang. Iman adalah salah satu dari mereka yang berani untuk melanjutkan pendidikan tingginya ke luar negeri, tepatnya ke negeri sakura – Jepang. Melalui artikel ini, Iman menceritakan bagaimana ia mempersiapkan diri dan menjalani pendidikan tingginya di tiga kota di Jepang: Tokyo, Toyama, dan Kanazawa.
Kisah saya berjuang untuk bisa berkuliah di Jepang dimulai sejak SMA. Saya bersekolah di MAN Insan Cendekia (MAN IC) Serpong, sebuah madrasah yang diharapkan bisa mencetak siswa siswi yang memiliki kompetensi yang mumpuni dan seimbang dalam ilmu pengetahuan sains maupun ilmu agamanya. Saat bersekolah di MAN IC, saya melihat banyak kakak kelas saya yang bisa kuliah ke luar negeri, terutama Jepang dan Singapura. Dari situlah keinginan saya untuk sekolah ke luar negeri menguat dan membuat saya mulai mencari beasiswa ke luar negeri.
Setelah mencari berbagai jenis beasiswa kuliah ke luar negeri melalui internet dan konsultasi dengan guru bimbingan konseling, saya mencoba banyak tes masuk universitas di luar negeri dan beasiswanya. Setelah melalui proses yang panjang, pada akhirnya saya lulus sebagai penerima beasiswa Monbukagakusho (Kementrian Pendidikan Jepang) untuk program Kosen yang setara D3.
Kemudian, saya berangkat ke Jepang pada April 2014 dan memulai belajar di sekolah persiapan bahasa Jepang di Shinjuku, Tokyo. Setiap hari saya belajar bahasa Jepang dari pagi hingga sore hari, juga belajar pelajaran IPA seperti matematika, fisika, kimia dalam bahasa Jepang. Di sekolah tersebut, kami bahkan belajar pelajaran bahasa Inggris menggunakan pengantar bahasa Jepang. Targetnya supaya tidak ada hambatan bahasa Jepang saat kuliah nanti di program D3. Akhirnya, setelah satu tahun belajar bahasa Jepang di Tokyo, saya mengantongi sertifikat kemampuan bahasa Jepang atau biasa disebut JLPT level N2.
Akhir Maret 2015, saya kemudian pindah ke tempat kuliah saya sebagai mahasiswa D3 Teknik Mesin di Toyama National College of Technology (Toyama Kosen). Saat pertama kali menginjakan kaki di Toyama, saya merasakan culture shock, karena daerahnya sepi dan asri seperti pedesaan, berbanding terbalik dengan kehidupan saya di Shinjuku, Tokyo yang merupakan daerah kota metropolitan. Pertama kali mengikuti kuliah di Toyama Kosen, saya gugup sekali, karena saya sedikit susah memahami pelajaran dan pembicaraan teman-teman, karena perbedaan dialek bahasa Jepang. Akan tetapi, saya diberikan tutor orang Jepang teman sekelas dan seasrama yang membantu saya untuk beradaptasi kuliah dan tinggal di Toyama.
Kehidupan sehari-hari di Toyama Kosen cukup menarik. D3 atau Kosen di Jepang, adalah sistem pendidikan yang menyatukan pelajaran SMA dan kuliah digabung menjadi satu. Untuk orang Jepang, mereka masuk setelah lulus SMP kemudian sekolah selama 5 tahun menggunakan sistem kredit SKS. Pada 3 tahun pertama, mereka diperlakukan seperti anak SMA di mana mereka menjalani sekolah dengan menggunakan seragam. Sementara, pada 2 tahun berikutnya, mereka diperlakukan seperti mahasiswa menggunakan baju bebas dan sistem mengajar yang lebih mengutamakan kemandirian belajar. Untuk orang asing seperti saya, saya harus memasuki Kosen/D3 dari tahun ketiga atau setara kelas 3 SMA, karena dari tingkat itulah mulai diajarkan mata kuliah khusus Teknik Mesin dan karena saya sudah menyelesaikan pendidikan SMA selama 3 tahun.
Banyak suka dan duka yang saya alami selama kuliah di Kosen. Karena saya tinggal di asrama dalam kampus, maka saya harus mengikuti setiap peraturan yang ada di asrama tersebut. Salah satunya adalah absen pagi dan malam tiap hari. Kehidupan saya sehari-hari di Kosen dimulai dengan absen jam tujuh pagi. Setiap anak harus berada di depan pintu kamar masing-masing, kemudian Sensei yang bertugas jaga akan memutari Gedung untuk mengabsen satu-satu siswanya. Setelah itu, semua siswa kumpul di depan gedung asrama dan dilanjut dengan senam pagi ala Jepang yang menjadi budaya masyarakat Jepang. Lagu senam tersebut memang diperdengarkan setiap harinya lewat radio di Jepang.
Kemudian, para siswa makan pagi di kafetaria asrama, akan tetapi untuk yang muslim seperti saya yang makan makanan halal diperbolehkan untuk tidak memesan makanan yang disiapkan kafetaria dan disediakan dapur di dalam asrama untuk memasak sendiri. Oh ya, saat saya kuliah di Toyama Kosen, satu angkatan saya hanya ada 3 orang asing, saya dan dua orang Malaysia. Untuk keseluruhan siswa asing berjumlah sekitar 10 orang, yang berasal dari Indonesia, Malaysia, Thailand, Mongolia, dan Laos. Saya satu-satunya siswa asal Indonesia di kampus tersebut. Setelah makan dan persiapan pagi, kami pergi ke kampus dan memulai kuliah pada pukul 8.50. Untuk sholat 5 waktu biasanya saya melaksanakannya di kamar sendiri, atau di ruang ganti baju di kampus. Biasanya kuliah selesai sekitar pukul 16.30.
Sistem pengajaran di kampus D3 Teknik Mesin di Jepang mengutamakan keterampilan dan ilmu eksak yang mumpuni. Di kampus memang disediakan berbagai macam alat dan mesin yang canggih dan mahal untuk menunjang proses pembelajaran. Pada tahun terakhir pun kami harus memilih laboratorium yang kita minati dan melakukan riset selama satu tahun dengan bimbingan Sensei. Saat itu saya memilih Laboratorium Material Engineering yang fokus kepada pengembangan semikonduktor oksida untuk diaplikasikan pada panel surya.
Setelah waktu berlalu selama 3 tahun lamanya berkuliah di Toyama Kosen, akhirnya pada Maret 2018 saya lulus D3 Teknik Mesin. Dalam satu angkatan Teknik Mesin yang terdiri dari 33 siswa, setengahnya memutuskan untuk langsung kerja di perusahaan dan setengahnya lagi memutuskan lanjut sebagai transfer student ke Universitas untuk melanjutkan belajar di S1. Saya pun mengambil opsi yang kedua dan melanjutkan studi S1 Teknik Mesin di Universitas Kanazawa Bersama 2 teman lainnya. Di Jepang, mahasiswa D3 akan langsung masuk ke tahun tiga universitas dan menyelesaikan studi S1 nya selama 2 tahun.
Setelah merasakan 6 bulan berkuliah di S1 Teknik Mesin Universitas Kanazawa, saya merasakan perbedaan dengan belajar di Kosen/D3. S1 Teknik Mesin Universitas Kanazawa memiliki banyak mahasiswa dalam satu angkatan. Angkatan saya saja terdiri dari 160 orang. Berbeda sekali dengan dulu saat saya di D3 hanya 33 orang. Di Kampus S1, mahasiswa lebih merasa bebas dan Sensei pun tidak bisa memperhatikan satu persatu mahasiswanya. Kalau dari segi pendidikannya, D3 Jepang memang menyiapkan mahasiswanya untuk terbiasa bersentuhan dengan mesin-mesin pabrik, berbeda dengan S1 yang lebih mendalami teori dan studi literatur di perpustakaan. Sekian cerita saya berkuliah di Jepang! Kuliah di D3/S1 di Jepang, Why not?!