Idulfitri identik dengan kebersamaan bersama keluarga, serta berbagai bentuk tradisi: makan opor dan ketupat, mengenakan pakaian terbaik dan bersilaturahmi bersama keluarga besar. Di Indonesia, Idulfitri bukan hanya sebuah hari besar agama tertentu, tetapi juga tradisi, yang dirayakan secara universal. Karena merupakan tradisi yang dirayakan tiap tahun, maka merayakan Idul Fitri dengan segala unsur festive-nya sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia.
Bagaimana dengan masyarakat Indonesia yang tinggal di luar negeri, di mana perayaan Idulfitri bukan menjadi bagian dari tradisi masyarakat tersebut, memaknai hari raya Idulfitri mereka? Rizkiya Ayu Maulida, Content Director UK dan Europe, membagikan pengalamannya merayakan Idulfitri di tanah rantau, pada saat menjalani perkuliahan di University of Leeds, UK.
***
Hai Sahabat Indonesia Mengglobal!
Nama saya Rizkiya Ayu Maulida, atau biasa dipanggil Kiky. Saya kebetulan sempat tinggal di Inggris—tepatnya di kota Leeds, West Yorskhire—saat menjalani kuliah S2 di School of Media and Communication di University of Leeds.
Dalam perjalanannya, tidak hanya pengalaman akademis yang saya dapatkan, tapi juga aspek-aspek lain berupa pengalaman hidup yang membangun karakter saya. Pengalaman saya merayakan Idulfitri di Leeds merupakan pengalaman pertama saya merayakan Idul Fitri di tanah rantau.
Tidak hanya sekadar tanah rantau, tapi di tempat tersebut tidak ada tradisi ber-lebaran seperti di Indonesia. Sekilas memang menyedihkan, tapi saya bersyukur karena melalui pengalaman tersebut, saya mendapatkan sebuah pelajaran yang tidak ternilai harganya.
Idul Fitri di Musim Panas
Tahun itu, di Inggris, Idulfitri jatuh pada bulan Juli, yaitu musim panas. Praktis, waktu malam menjadi lebih panjang daripada waktu siang. Sebulan sebelumnya, kami menjalankan puasa Ramadan sepanjang kurang lebih 19 jam, sambil mengerjakan disertasi (di Inggris, karena durasi waktu studi hanya 12 bulan, maka waktu musim panas digunakan untuk mengerjakan disertasi).
Saya teringat, malam sebelum hari pertama Idul Fitri, saya—berdua dengan roommate saya waktu itu—memasak opor ayam dengan bahan apa pun yang ada saat itu. Saya dan roommate saya—mahasiswi dari Indonesia—tinggal di sebuah flat yang berisi empat orang. Dua orang penghuni flat yang lain adalah dua orang British Pakistani—yang saat itu pulang ke rumah orang tuanya, yang berada di bagian lain dari Inggris.
Siang harinya, saya pun melakukan hal yang biasa saya lakukan—mengerjakan disertasi saya di perpustakaan. Sekilas tidak ada yang spesial di hari itu, sama seperti hari biasa. Ya, di Inggris, memang itu adalah hari biasa.
Keesokan harinya, saya berjalan kaki dengan roommate saya menuju Leeds Grand Mosque, tempat kami melaksanakan ibadah salat Ied. Jalanan ramai seperti biasanya karena hari tersebut adalah hari kerja. Tidak ada suara takbir bersahut-sahutan dengan khidmat.
Selepas sholat Ied, kami memang sempat kumpul-kumpul bersama dengan sesama masyarakat Indonesia. Akan tetapi, setelah itu, semua orang menjalani kehidupannya seperti hari-hari biasa. Ada yang hari itu kembali ke kampus untuk melanjutkan eksperimen lab-nya, ada yang bertemu dengan profesor. Tidak ada yang istimewa di hari itu.
Anehnya, saya justru merasa tenang. Merasa cukup. Terpenuhi. Tidak merasa kurang apa pun.
Memaknai Kembali Idul Fitri
Jika membicarakan perayaan Idulfitri, tentu tidak lepas dari pelaksanaan ibadah Ramadan sebulan sebelumnya.
Jika di tanah air, sulit membayangkan rasanya, meminum sebotol air pada siang hari di tempat keramaian di tengah bulan Ramadan. Bahkan, yang tidak berkewajiban untuk berpuasa pun segan untuk melakukannya. Ada sistem sosial yang mengontrol itu, sehingga kalau pun kita tidak ingin melakukan ibadah puasa, akan ada rasa segan untuk terang-terangan mengakui bahwa kita tidak berpuasa.
Di Inggris, tidak ada yang peduli dengan itu. Tidak ada yang peduli dengan apakah kita melaksanakan ibadah puasa tidak di bulan Ramadhan, bahkan jika kita tidak mau melaksanakannya pun tidak akan ada yang mempermasalahkannya.
Dari pengalaman itu, saya belajar bahwa ibadah sejatinya adalah hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa. Yang mana, ketika kita berada pada norma sosial yang tidak mengenal budaya berpuasa, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab kita sendiri: apakah berpuasa atau tidak.
Begitu juga dengan perayaan Idul Fitri. Merayakan Idulfitri di luar tanah air, dengan kondisi hilang dari unsur tradisi yang ada selama ini, termasuk iklan sirup Marjan dan kue nastar, membuat saya bertanya-tanya: apa sih yang saya cari selama ini dari perayaan Idulfitri tiap tahunnya?
Yang saya ingat, saat merayakan Hari Raya Idulfitri di Indonesia, pikiran saya akan dipenuhi dengan hal-hal yang sebenarnya jauh dari esensi dari hari raya itu sendiri, seperti menu makanan apa yang akan disiapkan di rumah, baju apa yang akan digunakan untuk berkunjung ke rumah sanak saudara, berapa dana yang harus disiapkan untuk THR keponakan, dan sebagainya.
Saat merayakan Lebaran di Inggris, saya mendadak terbebas dari itu semua. Saya menjadi terfokus pada makna dari Idulfitri itu sendiri: kembali suci, setelah selama satu bulan membersihkan diri melalui ibadah puasa.
Sahabat Indonesia Mengglobal, merayakan Idulfitri—atau hari raya lain—tanpa keluarga merupakan salah satu hal yang akan dialami oleh mahasiswa Indonesia di tanah rantau. Tidak perlu bersedih karena dari pengalaman tersebut kita justru dapat melihat sesuatu dengan perspektif yang berbeda.
Berada di luar negeri memang sedikit memaksa kita untuk terbuka dengan pengalaman apapun yang harus kita lewati—seringkali tidak menyenangkan, tetapi pada akhirnya pengalaman tersebut yang memperkaya jiwa kita.
Bagi saya, salah satunya adalah pengalaman merayakan Idulfitri di Inggris. Makna atau esensi dari perayaan Idulfitri sebenarnya sudah sering saya dengar di berbagai ceramah agama atau pengajian. Akan tetapi, baru saat berada di Inggris, saya mampu menyelami makna itu, bukan di negara saya sendiri yang saya bisa mendengar suara adzan lima kali sehari.
Dan, ya, itu merupakan salah satu paradoks terbesar dalam hidup saya.
***