Tentang Syukur: Refleksi Perjalanan Menuju Selandia Baru Sebagai Perempuan Muslim

0
892
Road trip bersama postgraduate students di Mount Ruapehu, Tongariro National Park, Selandia Baru

Perjalanan ke luar negeri terkadang penuh dengan tantangan dan kejutan. Berikut kisah menarik Dewi Anggraeni yang penuh tantangan dan kejutan saat studi di Negeri Kiwi.

  • Awal Mula
  • Di tahun pertama sebagai ko-asisten (koas) di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), aku mengalami kegalauan mengenai jalur kehidupan yang akan aku tempuh setelah lulus menjadi dokter umum. Aku tertarik untuk mengejar karier dan lanjut studi di kedokteran untuk menebar manfaat lebih luas, tapi aku juga ingin hadir dalam perjalanan tumbuh kembang anak-anakku. Banyak sekali cita-citaku hingga aku tidak yakin apakah aku dapat adil menjalani seluruh peran. Muncul pertanyaan dalam diriku, bagaimana sesungguhnya agama yang aku anut, Islam, mengatur hal ini? 

    Qadarullah, aku menemukan hadits yang menjawab segala kegalauan tentang peran perempuan dalam kehidupan berdasarkan sudut pandang Islam ketika membaca buku “Wanita Berkarir Surga” oleh Felix Y. Siauw dan Tim Dakwah @hijabalila.

    “Setiap kalian adalah orang yang bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai pertanggung-jawabannya. … Seorang wanita bertanggung jawab terhadap urusan di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung-jawabannya” (HR. Bukhari 893, Muslim 1829).

    “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)

    Tentang Syukur: Refleksi Perjalanan Menuju Selandia Baru Sebagai Perempuan Muslim
    Orientation Day di Faculty of Medical and Health Sciences. Sumber: Dokumentasi pribadi

    Hadits ini tidak menyebutkan bahwa sebagai perempuan, aku hanya boleh mengurus rumah tangga. Tetapi, perempuan justru dituntut untuk dapat memaksimalkan potensi dirinya dengan tidak melupakan kewajiban utamanya (terutama setelah menikah), yaitu mengurus rumah tangga. Ada banyak wanita-wanita Muslim terdahulu yang aktif bermasyarakat selagi memenuhi kewajibannya mengurus rumah tangga, seperti Khadijah ra. yang terkenal sebagai pebisnis handal, Aisyah ra. yang terus mengajarkan hadits, dan Fatimah Al-Fihri yang mendirikan salah satu universitas tertua di dunia.

    Satu hal yang perlu digarisbawahi dari hadits dan sosok-sosok hebat di atas adalah: mereka semua terus menerus menimba ilmu dan cerdas. Menyadari hal ini, aku merasa perlu melanjutkan studi ke jenjang berikutnya. Sekolah bukan hanya perihal menambah ilmu, tetapi mengasah kemampuan menganalisis dan menyelesaikan masalah, serta manajemen waktu. Sekolah membantuku untuk menjadi sosok perempuan yang cerdas, kreatif, dan bermanfaat untuk agama dan masyarakat. Namun, pertanyaan selanjutnya adalah aku harus belajar apa?

    Tentang Syukur: Refleksi Perjalanan Menuju Selandia Baru Sebagai Perempuan Muslim
    Road trip di Lake Taupō, Taupō, Selandia Baru Sumber: Dokumentasi Pribadi

    Merefleksikan semua hal di atas, aku belajar bahwa ketika menyusun rencana studi lanjut, selain minat, aku harus mempertimbangkan apakah ilmu yang akan kupelajari itu menambah keimananku, membantu memenuhi kewajibanku sebagai anak, istri, dan ibu di masa depan, serta mendorongku untuk menyebar manfaat lebih luas ke masyarakat. Sebagai seorang dokter yang tertarik dengan pendidikan, aku melihat bidang Ilmu Pendidikan Kedokteran mengakomodasi semua hal tersebut. Di bidang Ilmu Pendidikan Kedokteran, aku belajar bagaimana menyusun kurikulum, menyusun kegiatan belajar-mengajar, rencana asesmen, dan penelitian di pendidikan kedokteran agar melahirkan dokter-dokter terbaik bangsa. Ilmu ini juga bukan hanya bermanfaat dalam mendidik calon dokter, tetapi juga untuk mendidik anak-anakku kelak. Oleh karena semua hal ini, aku mantap melanjutkan studi di bidang Ilmu Pendidikan Kedokteran.

    • Kuliah S2 di Selandia Baru

    Setelah riset sana-sini, hatiku terpaut untuk S2 di Selandia Baru, negara yang terkenal aman, ramah, dan inklusif. Selain mata kuliah yang sesuai dengan minatku, Master of Clinical Education di University of Auckland, Selandia Baru menawarkan kesempatan bertemu dan berdiskusi dengan para ahli di bidang Ilmu Pendidikan Kedokteran. Aku pun mulai memproses pendaftaran universitas dan beasiswa. Alhamdulillah, aku mendapat kesempatan untuk studi di Selandia Baru hingga 2024 akhir nanti menggunakan beasiswa LPDP.

    Tentang Syukur: Refleksi Perjalanan Menuju Selandia Baru Sebagai Perempuan Muslim
    Road trip bersama postgraduate students saat winter break di Lake Taupō, Taupō, Selandia Baru
    Sumber: Dokumentasi Pribadi

    Setelah riset sana-sini, hatiku terpaut untuk S2 di Selandia Baru, negara yang terkenal aman, ramah, dan inklusif. Selain mata kuliah yang sesuai dengan minatku, Master of Clinical Education di University of Auckland, Selandia Baru menawarkan kesempatan bertemu dan berdiskusi dengan para ahli di bidang Ilmu Pendidikan Kedokteran. Aku pun mulai memproses pendaftaran universitas dan beasiswa. Alhamdulillah, aku mendapat kesempatan untuk studi di Selandia Baru hingga 2024 akhir nanti menggunakan beasiswa LPDP.

    Saat persiapan kepindahan ke Selandia Baru, aku banyak membaca artikel dari mahasiswa-mahasiswa yang telah lebih dahulu tinggal di negeri kiwi ini. Ada banyak sekali tulisan yang menceritakan bahwa negara ini sangat indah dan nyaman ditinggali sehingga membuatku tidak sabar untuk segera menjalani kehidupan di Selandia Baru.

    Selang satu-dua bulan tinggal di Selandia Baru, ternyata ada beberapa hal yang berbeda dengan ekspektasi. Aku merasa sebagian besar artikel yang ku baca hanya fokus pada kelebihan tinggal di negara ini, padahal ada juga hal-hal yang membuatku kurang nyaman. Hal yang paling kecil saja misalnya toilet di sini menggunakan tisu, sedangkan aku terbiasa menggunakan jet shower. Ketika berbelanja di toko, aku menghabiskan banyak waktu untuk memeriksa komposisi makanan karena jarang sekali ada produk yang menyantumkan label halal di kemasannya. Toko-toko di Selandia Baru biasanya sudah tutup pukul 6 sore, berbeda sekali dengan toko-toko di Indonesia yang biasanya setelah pukul 6 sore baru ramai.

    Tentang Syukur: Refleksi Perjalanan Menuju Selandia Baru Sebagai Perempuan Muslim
    Road trip bersama flatmates dan beberapa international students saat winter break di Egmont National Park, Selandia Baru. Sumber: Dokumentasi Pribadi

    Hal lain yang paling terasa tidak nyaman untukku adalah jauh dari suami dan keluarga. Saat awal pindah ke Selandia Baru, usia pernikahanku baru sembilan bulan. Menjalani Long Distance Marriage (LDM) di usia seumur jagung menghadirkan berbagai tantangan, terutama miskomunikasi. Aku dan suami berusaha untuk bertukar kabar setiap harinya melalui video call dan chat, namun beberapa kali menemukan perbedaan pendapat. Rasa rindu yang terus terbendung terkadang memperunyam konflik yang ada.

    Ketika rindu mendera, saya sempat berkonsultasi dengan orang tua kami dan muthawif (pemandu) saat umrah Januari 2023 lalu. Islam mengajarkan bahwa suami-istri sebaiknya tidak berpisah lebih dari enam bulan agar hak suami-istri, seperti nafkah batin, masing-masing terpenuhi dan menjauhkan dari keburukan (Kasyaf al-Qana’, 5/193). Setelah mengetahui hal ini, kami berusaha untuk mengunjungi satu sama lain bila ada rezeki dan waktunya. Kami juga berusaha agar lebih intens berkomunikasi serta tidak mengasumsikan pikiran satu sama lain. Tak lupa, kami juga berusaha untuk fokus pada hal-hal positif agar lebih banyak bersyukur, misalnya mengucap syukur karena memiliki kuota internet dan gawai yang memungkinkan untuk video call, daripada berfokus pada jauhnya jarak Indonesia-Selandia Baru yang hanya menambah rasa sedih.

    Tentang Syukur: Refleksi Perjalanan Menuju Selandia Baru Sebagai Perempuan Muslim
    Dinner date dengan suami di Chamate, restoran chinese food halal di Auckland ketika suami berkunjung ke Auckland. Sumber: Dokumentasi pribadi
    • Kehidupan di Selandia Baru sebagai Perempuan Muslim

    Terlepas dari segala ketidaknyamanan tinggal di Aotearoa (bahasa Maori untuk Selandia Baru, artinya “Tanah Berawan Putih Panjang”), aku sangat bersyukur memilih negara ini dan University of Auckland (UoA) sebagai tujuan studi S2. Hal pertama yang paling ku syukuri adalah universitas yang sangat menerima muslim. Tempat shalat atau prayer room disediakan secara layak oleh universitas dan lokasinya terjangkau dari area kampus. Di fakultasku, Faculty of Medical and Health Science (FMHS), tempat shalatnya berada di satu bangunan sendiri sehingga area shalatnya sangat luas dan nyaman.

    Selama studi, aku tinggal di UoA student dorm bersama tiga mahasiswa perempuan non-muslim, non-Indonesia. Mereka sangat menghargai kebutuhanku sebagai Muslim, seperti keinginanku  menaruh peralatan masak dan makanku di tempat terpisah serta pakaianku yang hampir selalu gamis tertutup dan kerudung panjang. Mereka juga tak ragu untuk bertanya tentang Islam karena belum paham dan ingin memahami kebutuhanku lebih jauh, seperti “mengapa kamu harus memakai kerudung?”, “mengapa kamu shalat lima waktu?”, dan “mengapa kamu hanya makan-makanan yang halal?”. Pertanyaan-pertanyaan kritis ini lah yang mendorongku untuk memahami lebih jauh tentang Islam dan makna ibadah yang selama ini kukerjakan.

    Tentang Syukur: Refleksi Perjalanan Menuju Selandia Baru Sebagai Perempuan Muslim
    Prayer room di FMHS, Grafton, Auckland, NZ. Sumber: Dokumentasi pribadi

    Satu hal yang paling membuatku tersentuh hidup di Auckland sebagai perempuan muslim berkerudung adalah banyak orang yang tiba-tiba tersenyum atau menganggukkan kepala dan mengucapkan salam (“Assalamu’alaykum”, artinya “semoga keselamatan terlimpah kepadamu”) kepadaku ketika di tempat umum, seperti di kereta, di supermarket, atau di jalan menuju kampus. Aku baru memahami makna QS. Al Ahzab 59, yaitu perempuan muslim diperintah oleh Allah swt. untuk memakai kerudung agar mudah dikenali dan tidak diganggu. Orang lain yang melihatku memakai kerudung langsung mengetahui bahwa aku adalah seorang Muslim dan segera mendoakan kebaikanku dengan mengucap salam.

    • Sehijau Apapun Tanah Rantau, yang Dirindu Tanah Air Jua

    Terlepas dari hal-hal positif yang dirasa selama di Selandia Baru, aku tetap merindukan beberapa aspek kehidupan di Indonesia. Aku merindukan suami dan keluargaku di Indonesia. Rasanya hidup tak lengkap bila tak berbagi kenangan dan menghabiskan waktu bersama. Aku juga merindukan ramahnya orang-orang Indonesia. Orang-orang yang mengucapkan terima kasih dengan senyuman dan anggukan sedikit, menunjukkan kerendah-hatian masyarakat Indonesia. Aku merindukan menu tradisional yang kaya rasa dan penuh bumbu. Aku merindukan betapa mudahnya online shopping di Indonesia. Barang pesanan bisa sampai hanya selang satu hari dari waktu pemesanan. Aku merindukan suara adzan yang terdengar setiap lima waktu.

    Tentang Syukur: Refleksi Perjalanan Menuju Selandia Baru Sebagai Perempuan Muslim
    Puncak Mt Ruapehu, NZ – Winter Break. Sumber : Dokumentasi Pribadi

    Yang paling aku rindukan dari semuanya adalah kemudahan untuk shalat ketika berjalan-jalan karena tempat shalat yang mudah dijangkau. Aku merasa kemudahan menjalankan agama Islam di Indonesia adalah suatu hal yang sangat taken for granted. Rasanya dulu aku sering kurang bersyukur ketika dapat shalat di pusat perbelanjaan. Setelah aku tinggal di Auckland, aku merasakan sekali bahwa itu adalah nikmat yang sangat besar, untuk dapat berjalan-jalan tanpa perlu mengkhawatirkan tempat shalat.

    • Epilog

    Pada akhirnya, mau di mana pun kaki berpijak, syukur harus banyak diungkapkan. Tidak ada tempat yang sempurna di dunia ini, pasti aku akan selalu menemukan sisi positif dan negatifnya, kelebihan dan kelemahannya. Oleh karena itu, penting sekali untuk memupuk rasa syukur di mana pun dan apa pun rezeki yang diperoleh. Penting sekali untuk banyak berdoa dan meluruskan niat sekolah agar apa yang dicita-citakan tidak hanya memberi manfaat di dunia, tapi juga menjadi bekal untuk kehidupan yang kekal di akhirat.


    Profil Dewi Anggraeni

    Dewi Anggraeni Kusumoningrum adalah seorang dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia angkatan 2014. Perempuan kelahiran Bogor ini memiliki hobi membaca dan menggambar. Saat ini Dewi tengah menyelesaikan study Master of Clinical Education di University of Auckland, Selandia Baru dengan beasiswa LPDP.


    Editor: Nurhamsi Deswila | Indonesia Mengglobal & Rili | Indonesia Mengglobal

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here