Sempat mengalami kegagalan dalam memenuhi persyaratan beasiswa S2 hingga akhirnya Fadhila Inas Pratiwi, kontributor Indonesia Mengglobal, berhasil lolos mendapatkan beasiswa yang diidam–idamkannya, tidak membuatnya kemudian berleha-leha. Dhila sempat mengalami kesulitan beradaptasi di kampusnya, University of Birmingham, Inggris, hingga mengalami berbagai macam kegagalan dalam studinya. Namun, tantangan-tantangan yang bertubi-tubi itu tidak membuatnya menyerah. Dhila terus berusaha memperbaiki kesalahannya hingga akhirnya ia berhasil lulus S2 dengan segudang prestasi yang diraihnya. Dalam artikel ini, Dhila berbagi inspirasi bagaimana ia bangkit dari kegagalan sehingga mampu meraih cita-citanya.
Menempuh studi lanjut S2 di luar negeri tidaklah mudah, apalagi dengan beasiswa yang membutuhkan banyak persiapan. Dari persiapan bahasa Inggris dengan nilai International English Language Testing System (IELTS) minimal 6.5, mendapatkan Letter of Acceptance (LoA) dari universitas yang dituju dengan berbagai macam persyaratan, serta mengumpulkan surat rekomendasi dari dosen. Bagi saya, untuk dapat IELTS 6.5 tidaklah mudah. Saya harus mengikuti kursus dan melakukan tes IELTS dua kali karena tes yang pertama gagal untuk mendapatkan nilai minimal tersebut. Namun, saya tidak mudah menyerah. Saya tetap berusaha belajar IELTS dan alhamdulillah pada saat hasil tes diumumkan, nilai saya bahkan melebihi target, yaitu 7.0.
Pada saat perjalanan melamar beasiswa juga tidak mudah, seluruh rangkaian tes harus dijalani dengan sungguh-sungguh, bahkan saya juga melakukan latihan wawancara dengan sesama teman pelamar beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Alhamdulillah pada saat pengumuman saya dinyatakan lolos sebagai penerima beasiswa LPDP untuk menempuh studi lanjut S2 di University of Birmingham, Inggris dengan jurusan International Relations (Security). Sesampainya di Birmingham, saya harus bisa beradaptasi, terutama dengan cuaca yang selalu dingin dan gloomy. Selain itu, saya juga cukup kaget dengan standar nilai yang begitu tinggi.
Dalam keseharian, saya mengikuti perkuliahan dengan baik dan mengumpulkan tugas yang sudah diberikan oleh dosen. Adapun kesulitan yang paling saya ingat sampai sekarang adalah saya dipanggil oleh komite plagiarisme kampus karena tulisan esai saya terindikasi plagiat. Pada saat saya menghadiri pertemuan dengan komite plagiarisme untuk dicek kembali naskah saya, ternyata kesalahan saya sangat sepele, yaitu saya lupa membubuhkan tanda petik ketika saya mengutip kalimat dalam esai saya. Akhirnya, saya hanya diberi peringatan tanpa ada sanksi, mereka menulis catatan bahwa saya memiliki kemampuan menulis akademik yang lemah (poor academic writing). Pada saat itu saya benar-benar sedih dan merasa bodoh. Namun, sekali lagi saya harus bangkit dan harus banyak belajar dari kesalahan yang telah saya perbuat. Setelah kejadian itu, ketika mengerjakan esai, saya mengecek berulang kali untuk memastikan jika saya sudah menggunakan tanda petik pada saat mengutip kutipan dalam tulisan saya.
Saya berusaha untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin, terutama dalam kegiatan akademis. Saya mengikuti kegiatan seminar, konferensi, diskusi dengan teman sekelas. Saya juga melamar “Postgraduate Taught Bursary Awards” untuk mendapatkan bantuan dana dalam mengikuti kegiatan konferensi. Saya dinyatakan diterima untuk mendapatkan awards tersebut dan saya juga berhasil mengikuti General Conference European Consortium for Political Research (ECPR) di University of Oslo, Norwegia. Pencapaian saya ini juga dimasukkan dalam situs University of Birmingham.
Selain berhasil dalam mendapatkan awards dan mengikuti konferensi bergengsi untuk ilmuwan politik, saya juga berkesempatan untuk menjadi volunteer sebagai asisten peneliti di think tank kampus yang bernama Institute for Conflict, Cooperation, and Security (ICCS) di bawah arahan Dr. Nicholas D. Wright, seorang peneliti tentang neurosains yang diaplikasikan dalam pengambilan keputusan dalam hal kebijakan luar negeri. Suatu kehormatan bagi saya bisa bekerja di bawah arahan beliau. Beliau juga merupakan Non-resident Associate di Carnegie Endowment for International Peace, think tank terkemuka di Amerika Serikat. Pengalaman yang menarik pada saat saya bekerja di bawah naungan beliau adalah beliau merupakan sosok yang sangat tepat waktu. Ketika jam bekerja dimulai pukul 10.00, saya segera ditelepon pada saat itu juga untuk diberi arahan apa saja yang harus saya kerjakan. Selain itu, saya pernah diajak untuk mendengarkan rapat beliau melalui teleconference dengan orang-orang dari Department of Defense, Pentagon, Amerika Serikat. Hal yang cukup berkesan adalah ketika beliau berkata, “Membosankan ya mendengarkan rapat ini”, dan saya pun tertawa mendengar komentar beliau.
Selain terlibat dalam kegiatan akademis, saya terlibat dalam kegiatan non-akademis. Seperti bergabung dalam PPI-MIB (Persatuan Pelajar Indonesia-Masyarakat Indonesia Birmingham) yang pada saat itu berkesempatan mengoordinasi turnamen “All England” yang diadakan di Birmingham pada tahun 2017. Saya mendapatkan banyak kesempatan untuk berfoto dengan atlet-atlet badminton Indonesia seperti Gideon, Kevin Sanjaya, Susi Susanti, Greysia Polii, dan atlet-atlet lainnya.
Perjalanan S2 saya yang begitu menakjubkan tidak akan terjadi apabila saya menyerah untuk mendapatkan IELTS dengan nilai yang memadai, tidak akan terjadi apabila saya tidak mau berjuang untuk mempersiapkan diri untuk mendapatkan beasiswa dan memenuhi seluruh syarat-syarat yang diajukan, tidak akan terjadi apabila saya menyerah pada keadaan. Saya bersyukur pada kegagalan-kegagalan yang saya hadapi pada saat itu, menjadikan diri saya lebih kuat dalam menghadapi segala tantangan yang ada. Karena memang menempuh S2 yang hanya dalam setahun memerlukan ketangguhan diri untuk dapat menyelesaikannya dengan tepat waktu. Saya juga sangat bersyukur kepada keluarga saya terutama ibu saya yang selalu mendukung apapun yang ingin saya capai. Beliau juga memotivasi dan percaya pada kemampuan saya bahwa saya bisa melanjutkan studi S2 di luar negeri dengan beasiswa penuh. Saya juga berterima kasih kepada yang saat ini menjadi suami saya — dulu ketika kami masih berpacaran, tidak pernah menghalangi saya dalam mencapai mimpi saya, dan justru mendukung seluruh upaya saya dalam mencapai keinginan saya untuk dapat belajar S2 di luar negeri.
Untuk teman-teman yang sedang berjuang dalam meraih mimpi, percayalah bahwa dengan kerja keras, pantang menyerah, memaksimalkan ikhtiar, berdoa, dan tawakal maka mimpi-mimpimu satu per satu akan bisa menjadi kenyataan. Lakukanlah yang terbaik di mana pun teman-teman berada, di posisi apapun yang saat ini teman-teman tempati karena kita tidak tahu rezeki atau jalan hidup mana yang akan terbuka untuk kita nantinya. Yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha dan berdoa semaksimal mungkin untuk mimpi-mimpi yang kita inginkan. Alhamdulillah, saya bisa menyelesaikan studi S2 saya dalam waktu satu tahun dan saya juga telah mendapat berbagai macam pengalaman, baik yang manis, pahit, asam, yang insyaallah semakin menempa kepribadian saya menjadi pribadi yang tangguh, semangat dan pantang menyerah.
Saat ini, alhamdulillah saya menjadi Dosen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Surabaya dan menjabat sebagai Sekretaris Departemen Hubungan Internasional. Semoga apa yang saya tulis ini dapat memberikan semangat dan motivasi kepada teman-teman semua yang saat ini sedang berikhtiar untuk mencapai cita-cita.
*All photos are provided by the author