Tinggal bersama sebuah keluarga di luar negeri tentu menjadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Hal tersebut bisa juga menjadi salah satu alternatif dalam mempelajari budaya dan norma yang ada di sebuah negara. Melalui program yang diadakan oleh Gerakan Mari Berbagi (GMB), Diana Pramesti, kontributor Indonesia Mengglobal, membagikan pengalamannya tinggal bersama sebuah keluarga di Belanda selama sebulan. Selama itu, Diana mendapatkan banyak sekali wawasan baru mengenai Belanda. Mari kita simak kisahnya!
Mengingat kembali dan menuliskan pengalaman saya sewaktu mengikuti Youth Leadership The Netherlands Homestay Program 2018 yang diselenggarakan oleh Gerakan Mari Berbagi (GMB), seperti sudah lama sekali terjadi. Padahal itu terjadi tiga tahun lalu,terasa satu dekade telah berlalu. Pandemi membuat saya tersesat dalam lini masa waktu.
Pengalaman ini sangat personal dan berkesan buat saya. Tinggal sebulan bersama keluarga Belanda dan melakukan kegiatan di institusi atau organisasi di beberapa kota di Belanda. Setiap tempat, orang-orang baru, dan kegiatan yang saya lakukan di sana telah memberikan perspektif yang menarik tentang Belanda.
Mengenal Belanda dengan Living Experience Secara Langsung
Buat saya, pengalaman immersion yang paling efektif adalah dengan tinggal bersama warga lokal. Selama program, kami tinggal di keluarga angkat masing-masing. Kebetulan keluarga kami tinggal berdekatan di kota bernama Breukelen, tepatnya di Barat Laut Utrecht.
Saya dan tiga teman homestayer lainnya berangkat dari Indonesia pada 27 Maret 2018. Sampai di Schiphol Airport Amsterdam dua hari kemudian, kami dijemput oleh ayah angkat salah satu dari kami dan langsung menuju rumah kami masing-masing di Breukelen. Saya ingat, begitu sampai di rumah keluarga angkat saya, mereka mengantar saya ke kamar yang letaknya di loteng. Unik sekali! Hari pertama di rumah keluarga angkat, mereka sekalu mengatakan, “It’s your home, Diana. Feel free to help yourself.”
Di rumah, hanya ada ayah dan mama angkat. Ayah angkat adalah seorang pensiunan pegawai teknik sipil pemerintahan, dan mama angkat masih sesekali mengajar kelas gymnastic tidak jauh dari rumah. Kadang-kadang saya mengunjungi anak, menantu, dan cucu-cucu orangtua angkat saya yang tinggal di daerah yang sama.
Selama tinggal dengan mereka, waktu kami biasa menghabiskan waktu bersama adalah sarapan dan makan malam saat Senin sampai Jumat, serta akhir pekan jika kami tidak memiliki kegiatan program. Biasanya saat sarapan, kami menyajikan makanan yang simple seperti roti, crackers, buah, dan selalu yang tidak pernah absen adalah keju. Sarapan biasanya tak berlangsung lama. Selain karena mereka paham kami memiliki jadwal kegiatan harian, mereka pun memiliki kesibukan.
Hal yang selalu saya nantikan adalah makan malam. Makanan, buat saya adalah pengalaman budaya yang paling menyenangkan. Banyak makanan khas Belanda yang sempat saya makan bersama keluarga angkat saya, di antaranya; boerenkool, patat, asparagus yang disandingkan dengan baby potato dan ham saat musimnya di bulan April, dan sup dari kaldu sayur yang kami makan saat suhu sedang dingin sekali. Di antara semuanya, kesukaan saya adalah boerenkool. Makanan ini terdiri dari kale, kentang yang ditumbuk halus, dan sosis (di Breukelen keluarga angkat saya langganan sosis segar di toko daging lokal). Ada protein, karbohidrat, juga serat yang rasanya enak ketika menjadi satu kesatuan makanan.
Makan malam di Breukelen selalu saya nantikan. Saya ingat, kita pernah menghabiskan makan malam dari persiapan pukul 5 sore hingga 12 siang. Selama itu kami akan betah mengobrol tentang perbedaan budaya Indonesia dan Belanda, hal-hal menarik tentang keseharian kami di Belanda yang sering kami konfirmasi dengan keluarga angkat kami, dan cerita tentang masa muda orangtua angkat saya. Saya bersyukur, di sela-sela jadwal program yang padat, kami memiliki kesempatan untuk mengenal keluarga angkat kami sekaligus mengenal Belanda dari perspektif mereka.
Makan malam juga mengenalkan kami dengan para tetangga dan sahabat dari orangtua angkat saya, yang kebetulan beberapa dari mereka memiliki ikatan darah dengan Indonesia. Sekali waktu, saya pernah hadir untuk makan malam di rumah tetangga yang ibunya berasal dari Indonesia. Ia menyuguhkan kami rendang, opor ayam, dan sayur kacang panjang terenak yang pernah saya makan! Di lain kesempatan, kami juga berkunjung ke rumah tetangga orangtua angkat saya yang ayah dan ibunya berasal dari Maluku. Kami karaoke lagu-lagu jadul Indonesia dan makan soto dan tempe penyet dengan senang hingga larut malam.
Kegiatan lain yang tak saya lewatkan dengan orangtua angkat dan para tetangga mereka di lingkungan Breukelen adalah bersepeda, sailing di kanal sekitar Loenen, dan mengunjungi pabrik keju keluarga di Loenderveen. Sebagaimana banyak orang mengenal Belanda dengan kegiatan bersepeda dalam keseharian mereka, saya juga tidak melewatkan waktu terbaik bersepeda dengan orangtua angkat sembari mengenal lingkungan dan tempat wisata underrated di Breukelen. Sebagai orang yang menghabiskan waktu cukup lama di Breukelen, orangtua angkat saya sangat fasih menjelaskan budaya, kebiasaan, dan bahkan kenangan mereka di kota kecil ini.
Saat hari cerah, kami sailing di sepanjang kanal dekat Breukelen. Tak jauh berbeda dengan negara dengan empat musim, warga Belanda tak bisa menyembunyikan kegembiraannya begitu langit cerah dan hangat. Kami bersama bapak-bapak komplek termasuk ayah angkat saya melantunkan The Beatles sepanjang kanal sambil menyaksikan orang-orang keluar rumah untuk berenang dan berjemur.
Tidak mungkin melewatkan keju di Belanda, kan? Meskipun saya tidak suka keju, tapi saya sangat antusias ikut melihat proses pembuatannya, mencicipi berbagai jenis keju dari berbagai usia, hingga dilema penerus pabrik keluarga dan hal-hal tradisional yang masih ingin dipertahankan dari proses pembuatan keju. Tentang keju, orangtua angkat saya menghadiahi saya pisau keju yang masih saya simpan sampai sekarang!
Pengalaman lain yang tak terlupakan saat kami mengantar salah satu teman saya yang kristiani untuk beribadah Minggu Paskah di Gereja Pauluskerk, sebuah gereja yang terbuka untuk umat Katolik ataupun Protestan, dan pada dasarnya, untuk siapa saja. Kami diantar dan ditemani oleh mama angkat saya yang mengakui dirinya tidak lagi memeluk agama. Tidak ada yang berbeda, kami hanya merayakan Minggu Paskah dengan hati riang dan hangat walaupun saat itu dingin sekali.
The Netherlands at a Glance
Tentu waktu sebulan tidak cukup untuk mengenal Belanda dengan baik. Tapi mungkin saja waktu sebulan cukup untuk buat saya ingin kembali ke Belanda—entah untuk belajar atau mengunjungi teman dan keluarga angkat di sini nanti.
Proses untuk bisa menjalankan program sebulan di Belanda, oleh GMB sebagai panitia penyelenggara disiapkan selama setahun. Ada In-country Coordinator yang membantu mengelola program di Belanda, mulai dari perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Begitu pula persiapan selama di Indonesia, ada dua mentor yang mendampingi kami. Karenanya, setiap waktu bisa berarti selama program ini berlangsung.
Di Leiden kami mengunjungi kantor pemerintah lokal atau yang akrab disebut municipality di sana, mendengar langsung bagaimana Leiden merancang program untuk anak-anak muda, khususnya yang berkaitan dengan olahraga. Sebagai bonus, kami berkeliling kanal (lagi!) sembari mendengarkan sejarah tentang gedung-gedung yang kami lewati.
Utrecht termasuk sering kami kunjungi, karena Breukelen dekat sekali dengan Kota Utrecht. Selama program, kami berkegiatan dengan Utrecht University; mulai dari orientasi dengan berkeliling kampus, mengunjungi Botanical Garden, mendengarkan praktik sustainability di kampus Utrecht, dan sit-in di kelas pitching sustainability projects, hingga mengikuti borrel bersama mahasiswa Utrecht lainnya.
Mendekati Koningsdag atau King’s Day kami menghabiskan seminggu di Groningen—tempat di mana raja giliran merayakan ulang tahunnya pada tahun kami di sana. Selain itu, kami juga berpartisipasi dalam Groenscup 2018 sebagai panitia yang turut membantu Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Groningen sebagai penyelenggara.
Selain tiga kota di atas, kami juga mengunjungi Den Haag dan tak sengaja melihat demo, Wageningen untuk bersepeda dan bermain di arboretum Wageningen University & Research yang luas sekali, dan Rotterdam dengan desain kota yang sangat kontemporer dan modern.
Di antara program yang padat ini, bertemu jejaring baru di Belanda mulai dari universitas, kantor pemerintah lokal, hingga beberapa organisasi yang bergerak di bidang sustainability dan sport membuat perjalanan homestay ini kaya. Setiap tempat yang kami kunjungi akan mengingatkan pada orang-orang yang kami temui, yang hingga kini beberapa dari mereka masih berkontak dengan kami, meski sesekali.
Buat saya, pengalaman seperti homestay ini adalah momen penting untuk keluar sejenak dari tempat nyaman dan melihat segala sesuatunya sebagai kelompok kecil di tengah mayoritas. Banyak sekali perbedaan kami dengan keluarga angkat di Breukelen, tapi itulah yang membuat pembicaraan di meja makan bisa awet berjam-jam. Kita juga bisa mengenal satu sama lain dengan lebih baik karena saling mendengar dan menyerap ilmu baru yang sebelumnya tak pernah kita tau kalau tidak mengalami sendiri. Saya pikir GMB berhasil mengajarkan kami nilai pentingnya; sharing in diversity dan living beyond yourself.
Pandemi membuat program ini tak bisa berjalan untuk beberapa saat, sehingga 2018 menjadi tahun terakhir penyelenggaraannya sebelum pandemi. Saya menantikan hari-hari di mana perjalanan lintas negara dan benua lebih aman untuk kita lakukan. Sampai hari itu tiba, sehat-sehatlah dan selamat tahun baru 2022!
*All photos are provided by the author